Cermin ada dimana-mana, Kawan. Tinggal kita yang memutuskan apakah mau melihat dan menyimak bayangan yang ada di sekitar kita, atau mengabaikannya. Saya ingat seorang teman pernah menanyakan makna 'Omnia ab Uno'. Setelah googling dan researching, saya tahu bahwa kalimat bahasa Latin ini berarti 'everything comes from one source.' Segala sesuatunya berasal dari satu sumber yang sama. Dan kalimat ini seringkali ditambah dengan 'omnia nodes arcana connexa' ('everything is connected to everything else')--segala sesuatu terhubung dengan segala hal lain. Saat saya membaca hal ini, secara otomatis otak saya menghubungkannya--lewat konsep intertextuality--dengan pemikiran Mohandas Gandhi, yang percaya bahwa semesta terbentuk dari hubungan antar segala sesuatu didalamnya. Kedua konsep diatas juga ada dalam berbagai kebijaksanaan lokal di berbagai daerah di seluruh dunia. Jika kalian mengira saya membicarakan tentang agama dan keyakinan, maka kalian benar. Tapi tidak itu saja, kedua pemikiran filosofis mengenai asal usul segala sesuatu dan saling keterkaitan antara mereka memang ada dalam ajaran hampir semua agama, tapi juga disebutkan (dan diyakini) di berbagai bidang lain (misalnya matematika, kungfu, ilmu pengobatan, biologi, dan sebagainya). Pertanyaan yang mungkin mulai muncul di pikiran kawan-kawan sekalian saat ini adalah: 'Kenapa tulisan ini berjudul Obrolan Angkot, sementara isinya membahas filsafat saling keterkaitan?' :)
Tenang, ini baru pengantar. Saya hanya ingin memberitahu bahwa saya meyakini kedua konsep diatas. Dan sebab saya meyakini bahwa segala sesuatu di semesta ini saling berhubungan (dengan cara yang mungkin tidak atau belum saya pahami), maka judul tulisan ini menjadi relevan dengan isinya.
Tenang, ini baru pengantar. Saya hanya ingin memberitahu bahwa saya meyakini kedua konsep diatas. Dan sebab saya meyakini bahwa segala sesuatu di semesta ini saling berhubungan (dengan cara yang mungkin tidak atau belum saya pahami), maka judul tulisan ini menjadi relevan dengan isinya.
Salah satu kegiatan favorit saya adalah mengamati manusia, terutama dari aspek perilaku dan interaksinya. Dari hasil refleksi, saya menyadari bahwa ketertarikan awal saya terhadap manusia dan aspek psikologinya adalah dari novel Sherlock Holmes karangan Arthur Conan Doyle dan dari novel-novel Agatha Christie (terutama judul-judul dimana tokoh utamanya adalah Miss Jane Marple). Kisah-kisah Sherlock Holmes mengajari saya untuk selalu memperhatikan rincian-rincian, sekecil apapun, dan menghubung-hubungkan mereka hingga terbentuk suatu gambar yang bisa dipahami dan bisa diyakini (setelah diuji). Sementara kepercayaan Jane Marple bahwa manusia pada dasarnya adalah sama membuat saya terus menerus mempertanyakan dan ingin membuktikan kebenarannya. Dan memang, saat ini saya percaya bahwa manusia memiliki sifat-sifat dasar (building blocks) yang sama, hanya komposisinya yang berbeda.
Perbedaan komposisi tersebut, menurut saya, diakibatkan oleh hasil penafsiran dan penyaringan masing-masing manusia atas input yang mereka terima. Perbedaan hasil penafsiran itu sendiri dikarenakan oleh perbedaan filter yang digunakan untuk menyaring pengalaman dan peristiwa yang manusia temui, yang pada gilirannya dipengaruhi filter pertama dan pengalaman-pengalaman sebelumnya. (Jika ada waktu, tentang ini nanti akan saya bahas secara terpisah.)
Kembali lagi ke judul tulisan ini, angkot (angkutan kota) adalah sarana kendaraan umum yang banyak dijumpai di kota-kota besar Indonesia, dan angkot adalah salah satu tempat terbaik untuk mengamati manusia dan interaksinya. Bayangkan saja, dalam keadaan penuh, sebuah angkot akan berisi 13 orang manusia. Sekarang bayangkan sebuah kondisi ideal untuk pengamatan dimana ke-13 orang itu tidak saling mengenal satu sama lain. Bayangkan betapa uniknya interaksi yang terjadi di sebuah angkot penuh penumpang itu. Mereka memiliki asal dan tujuan yang (mungkin) berbeda, kalaupun tujuan mereka sama maksud dan motivasi yang menggerakkan mereka menuju tujuan tersebut pastilah berbeda. Namun, mereka dipersatukan oleh satu benang merah yang sama: sarana yang mereka gunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Mereka mungkin akan saling mengobrol, atau saling berdiam diri. Mereka mungkin akan sama-sama mencaci kemacetan jalan, atau memendam kesal ketika sopir memutuskan untuk menunggu penumpang hingga setengah jam. Sopir mungkin akan memancing obrolan tentang segala hal, mulai dari harga bahan bakar, sikap polisi dan pengendara urakan, sampai soal politik dan pendidikan anak-anaknya. Penumpang yang senang diskusi mungkin akan menimpali dan kemudian disambung lagi oleh penumpang lain. Penumpang yang sedang banyak pikiran mungkin tidak akan peduli dengan obrolan itu dan sibuk dengan pikirannya sendiri. Penumpang yang punya pendapat tapi malu mengutarakannya akan berdebat dengan dirinya sendiri apakah dia akan berbicara atau tidak sambil menanti kesempatan yang tepat untuk ikut serta. Penumpang lain mungkin hanya berpartisipasi dengan mengangguk dan tersenyum. Penumpang lain lagi mungkin sama sekali tidak peduli atau pura-pura tidak peduli karena dia merasa bahwa obrolan itu tidak relevan dan signifikan dengan perjalanan hidupnya.
Bagi saya, interaksi apapun yang terjadi (atau tidak terjadi) di dalam sebuah angkot adalah menarik untuk diamati. Sebab saya beranggapan bahwa interaksi sosial yang terjadi di dalam angkot tidak kurang nilainya dari interaksi sosial yang terjadi di tempat-tempat lain, misalnya rumah atau ruang kelas atau kantin atau pasar atau dimanapun. Apa yang terjadi di dalam angkot adalah cermin yang menggambarkan sepotong kecil dari gambar besar yang ada di semesta, kepingan puzzle kehidupan sosial manusia. Dengan memperhatikan interaksi (atau ketiadaan interaksi) tersebut, saya bisa merefleksi diri sendiri. Obrolan yang terjadi di dalam angkot mungkin memang tidak penting secara konten, tapi jika angkot dipandang sebagai sebuah konteks sosial dimana manusia berkesempatan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesamanya, maka ada banyak hal yang bisa saya pertanyakan pada diri saya sendiri: kenapa saya tidak ikut mengobrol? Apakah karena saya sombong atau justru karena saya rendah diri? Ketika tidak ada bahan obrolan, kenapa saya tidak berusaha memulai? (Takut tidak ditanggapi oleh orang lain adalah konyol sebab sopir akan selalu menyambut bahan obrolan apapun yang kita tawarkan. Coba saja kalau kawan tidak percaya.) Jika alasannya adalah karena saya malu sebab saya tidak mengenal rekan-rekan sesama penumpang, kenapa saya tidak berkenalan saja?
Intinya, angkot, bagi saya, adalah cermin untuk berkaca: sebaik atau seburuk apakah saya ketika ditempatkan di sebuah situasi sosial dan memiliki pilihan serta hak penuh untuk berinteraksi?
Demikianlah, tak ada hal yang terlalu sepele dan terlalu istimewa ketika kita percaya bahwa segala sesuatu di semesta ini saling berhubungan dan saling membangun, bahkan angkot sekalipun.
Kembali lagi ke judul tulisan ini, angkot (angkutan kota) adalah sarana kendaraan umum yang banyak dijumpai di kota-kota besar Indonesia, dan angkot adalah salah satu tempat terbaik untuk mengamati manusia dan interaksinya. Bayangkan saja, dalam keadaan penuh, sebuah angkot akan berisi 13 orang manusia. Sekarang bayangkan sebuah kondisi ideal untuk pengamatan dimana ke-13 orang itu tidak saling mengenal satu sama lain. Bayangkan betapa uniknya interaksi yang terjadi di sebuah angkot penuh penumpang itu. Mereka memiliki asal dan tujuan yang (mungkin) berbeda, kalaupun tujuan mereka sama maksud dan motivasi yang menggerakkan mereka menuju tujuan tersebut pastilah berbeda. Namun, mereka dipersatukan oleh satu benang merah yang sama: sarana yang mereka gunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Mereka mungkin akan saling mengobrol, atau saling berdiam diri. Mereka mungkin akan sama-sama mencaci kemacetan jalan, atau memendam kesal ketika sopir memutuskan untuk menunggu penumpang hingga setengah jam. Sopir mungkin akan memancing obrolan tentang segala hal, mulai dari harga bahan bakar, sikap polisi dan pengendara urakan, sampai soal politik dan pendidikan anak-anaknya. Penumpang yang senang diskusi mungkin akan menimpali dan kemudian disambung lagi oleh penumpang lain. Penumpang yang sedang banyak pikiran mungkin tidak akan peduli dengan obrolan itu dan sibuk dengan pikirannya sendiri. Penumpang yang punya pendapat tapi malu mengutarakannya akan berdebat dengan dirinya sendiri apakah dia akan berbicara atau tidak sambil menanti kesempatan yang tepat untuk ikut serta. Penumpang lain mungkin hanya berpartisipasi dengan mengangguk dan tersenyum. Penumpang lain lagi mungkin sama sekali tidak peduli atau pura-pura tidak peduli karena dia merasa bahwa obrolan itu tidak relevan dan signifikan dengan perjalanan hidupnya.
Bagi saya, interaksi apapun yang terjadi (atau tidak terjadi) di dalam sebuah angkot adalah menarik untuk diamati. Sebab saya beranggapan bahwa interaksi sosial yang terjadi di dalam angkot tidak kurang nilainya dari interaksi sosial yang terjadi di tempat-tempat lain, misalnya rumah atau ruang kelas atau kantin atau pasar atau dimanapun. Apa yang terjadi di dalam angkot adalah cermin yang menggambarkan sepotong kecil dari gambar besar yang ada di semesta, kepingan puzzle kehidupan sosial manusia. Dengan memperhatikan interaksi (atau ketiadaan interaksi) tersebut, saya bisa merefleksi diri sendiri. Obrolan yang terjadi di dalam angkot mungkin memang tidak penting secara konten, tapi jika angkot dipandang sebagai sebuah konteks sosial dimana manusia berkesempatan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesamanya, maka ada banyak hal yang bisa saya pertanyakan pada diri saya sendiri: kenapa saya tidak ikut mengobrol? Apakah karena saya sombong atau justru karena saya rendah diri? Ketika tidak ada bahan obrolan, kenapa saya tidak berusaha memulai? (Takut tidak ditanggapi oleh orang lain adalah konyol sebab sopir akan selalu menyambut bahan obrolan apapun yang kita tawarkan. Coba saja kalau kawan tidak percaya.) Jika alasannya adalah karena saya malu sebab saya tidak mengenal rekan-rekan sesama penumpang, kenapa saya tidak berkenalan saja?
Intinya, angkot, bagi saya, adalah cermin untuk berkaca: sebaik atau seburuk apakah saya ketika ditempatkan di sebuah situasi sosial dan memiliki pilihan serta hak penuh untuk berinteraksi?
Demikianlah, tak ada hal yang terlalu sepele dan terlalu istimewa ketika kita percaya bahwa segala sesuatu di semesta ini saling berhubungan dan saling membangun, bahkan angkot sekalipun.