Wednesday, January 7, 2015

Tentang Seratus (Lebih Satu)

Seratus (Lebih Satu) adalah judul (calon) buku ketiga saya.  Baru saja selesai disusun.  Sebelum saya bercerita, saya ingin mengklarifikasi satu hal dulu: buku ini adalah buku kumpulan puisi ketiga yang saya susun dan cetak sendiri (dalam arti tidak melalui penerbit); jadi jangan berpikir bahwa saya penulis hebat yang mampu menjebolkan manuskrip tulisannya di penerbit buku resmi.

Setelah itu diklarifikasi, sekarang saya ingin berbagi.  Bagi yang belum tahu, saya sudah menulis banyak puisi sejak SMA, sebagian besar sangat amatir tapi beberapa mulai cukup bagus (saya rasa, sebab meski belum teruji lewat penerbit atau kritikus puisi, ada beberapa orang yang punya kapabilitas menilai puisi-puisi saya cukup bagus) dalam beberapa tahun terakhir.  Puisi-puisi itu sudah dikumpulkan dalam dua antologi yang saya cetak dan jual sendiri ke orang-orang yang ingin membeli, entah karena mereka memang suka puisi atau karena mengasihani.  Saya tak tahu apakah tepat menyebutnya 'antologi', saya belum sempat memeriksa makna kata ini menurut KBBI.

Buku kumpulan puisi saya yang pertama berjudul Prologue-Epilogue, dirancang sebagai semacam rekaman episode-episode nuansa perasaan saya, atau orang-orang yang sempat saya amati.  Buku ini berisi hampir 190 puisi yang saya tulis dalam periode 2003-2006.  Buku kedua, saya juduli Topeng diatas Topeng, berisi 55 puisi dari periode 2006-2007, dan beberapa dari tahun-tahun sebelumnya.  Gambar sampul dan isi kedua buku ini didesain oleh sahabat saya, Arun, yang memang lebih ahli dari saya untuk soal desain dan gambar.

Sejak tahun 2007 itu, saya sudah berniat membuat buku kumpulan puisi lagi, minimal satu.  Namun, karena sejak 2007 saya bisa dikatakan telah mapan (dalam artian settle), kebanyakan keresahan yang menjadi percik awal dalam proses kreatif saya mulai menghilang.  Selain itu, saya mulai jarang memperhatikan manusia dan mendengar kisah-kisah mereka sejak saya tinggal di kost-an tahun 2008.  Bahan untuk menulis pun berkurang.  Kemudian saya menikah, menikmati hidup berumah tangga, dan mengurus anak.  Waktu luang untuk saya pribadi merenungi kata-kata semakin sedikit.  Untung saya sedikit punya gangguan tidur, tak bisa tidur sebelum pukul satu dini hari. Jadi saya masih bisa menyempat-nyempatkan diri untuk menggauli puisi diantara deadline terjemahan, mengikuti serial TV AS dan Inggris, dan variety show Korea yang diunduh secara ilegal, serta memanjakan istri.  Saya sempat vakum menulis puisi cukup lama, entah kenapa.  Pada periode 2010-2012 sedikit sekali puisi yang saya hasilkan.  Satu lagi alasan kenapa penyusunan buku ketiga ini makan waktu tujuh tahun.

Bulan Maret 2014, istri dan teman-teman saya memberikan sebuah kejutan.  Mereka menggabungkan (dikerjakan oleh Arun lagi) dua buku puisi saya dengan seperempat bahan puisi untuk buku ketiga dan mencetaknya dalam sebuah buku yang mereka juduli 3-Lo-G.  Ketika itulah saya membuat resolusi untuk menyelesaikan penyusunan buku ketiga sebelum tahun berganti.  Setelah mengganti konsep yang sudah saya canangkan sejak lama untuk buku ketiga ini, saya mulai menulis lagi.

Awalnya buku ini ingin saya juduli Janin Tak Lahir, dengan konsep dasar berisi puisi-puisi yang berhubungan dengan perilaku seksual remaja Indonesia modern, baik yang baik-baik maupun yang membuat jijik; termasuk didalamnya tentang aborsi, seks pra-nikah, dan semacamnya.  Tapi, sepertinya nama itu adalah do'a, setelah bertahun-tahun, Janin Tak Lahir tetap tak lahir.  Akhirnya, saya memutuskan untuk mengubah judul dan konsepnya sama sekali.  Saya juduli Seratus (Lebih Satu) karena buku ini berisi tepat 101 puisi.  

Kenapa seratus satu, tidak seratus saja?  Sebab seratus itu lengkap, penuh, sempurna.  Saya ingin setelah mencapai angka seratus, saya tidak merasa puas, menambah satu lagi untuk dijadikan titik awal menuju seratus berikutnya.  Kurang lebih begitulah buku ketiga ini.  Seratus satu puisi di dalamnya adalah seratus satu puisi tentang apa-apa yang saya rasa dan tentang nuansa-nuansa yang saya amati atau saya saring dari kisah-kisah yang sampai pada saya.  Sebagian mungkin pernah kalian baca di blog ini, atau pernah saya tunjukkan langsung. Kebanyakan masih tentang cinta, meski cukup banyak juga yang menyangkut keresahan pribadi saya tentang hidup, cara hidup, Ketuhanan, dan lainnya.

Masih banyak puisi dalam buku ini yang mungkin tak layak disebut puisi, tapi karena saya menyusun dan (akan) mencetaknya dengan niat untuk memuaskan diri sendiri, maka mereka bisa terjustifikasi.  Baru hari ini seratus satu puisi itu selesai dibuat dan disusun.  Akan segera saya cetak begitu Arun (yang sedang sibuk dengan perkuliahan S2 dan pekerjaannya) punya waktu untuk merancang covernya.  Bukan saya tak percaya pada teman-teman lain, tapi saya punya sentimen tersendiri terhadap Arun sebab ia sudah membantu saya sejak buku pertama.

Demikian.  Semoga Arun cepat punya waktu luang untuk membantu saya.

P.S. berikut adalah puisi ke seratus satu dalam buku ini:

Seratus (Lebih Satu)

Semua kisah disampaikan dari tengah, kau tahu?
Termasuk yang kita sebut sejarah itu;
Sebab tak ada yang ingat tentang titik mula-mula,
Kecuali Satu

Darinya semua berawal, lalu menyebar
Saling jalin, saling pilin, menjadi satu yang menyeribu
Kausalitas yang tak mampu kita urai ujung pangkalnya

Jadi, yang kita pakai untuk memulai kisah bukan awal yang benar-benar
Tapi awal sekedar; yang kita pilih untuk mempermudah cerita
Seratus yang kita jadikan satu

Demikianlah, aku membagi soal ini sebagai pengingat
Sebab aku sendiri tak ingin lupa
Bahwa yang ada tak benar-benar ada, selain yang kupilih sendiri
Dan realita adalah ilusi yang harus kita jalani
Sebelum kembali pada Satu
yang Sejati

About Me

My photo
seorang separuh autis yang memandang dunia dari balik kaca jendelanya. ia duduk diam mengamati,membaca dan menafsir tanda, mencari makna.