Nama-Nama Rahasia
Kita semua menyimpan nama-nama
Yang dirahasiakan dalam sandi-sandi
Untuk menandai masa lalu
Nama-nama yang kita simpan diam-diam
Sebab tak bermakna bagi siapa-siapa
Kecuali kita sendiri (dan mereka yang akhirnya dipilih)
Nama-nama yang kita rahasiakan
Sebab dunia hanya akan melihat luka pada kisahnya
Sementara kita tahu, kita tak mungkin ada tanpa nama-nama
Itu.
Rahasia Nama-Nama
Ia masih menyimpan nama-nama
Diabadikan sebagai kerangka inspirasi
Bentuk apresiasi atas memori
--begitu akunya--
Lalu, apakah namaku disimpannya?
Dimana?
Atau memori kami tak memenuhi kriteria
Untuk dibuat abadi?
Ini rahasia, tapi ia memberitahu:
Hanya yang hilang yang perlu dikenang.
Rasa Rahasia
Ada rahasia
Residu cerita
Cendera mata yang tak perlu dipajang
Dari masa yang tinggal kenang
Sebab sejarah kisah terpisah dari kini
Jangan dicari
Ada rasa
Sisa bintang, senja, purnama
Dulu tanda silang pada peta
Pada perjalanan yang tak tiba
Sebab jejak mengingat luka
Selipkan di relung lupa
Ada rasa yang tak boleh dibuka
Ada rahasia yang harus dilupa
Fiani R.
Februari 2015
Tuesday, February 24, 2015
Celana Pendek Jeans Hampir Abu-Abu
Saya punya sebuah celana jeans pendek. Awalnya celana itu adalah sebuah jeans panjang berwarna hitam. Hitamnya sangat kelam, seingat saya. Atau mungkin biasa saja dan ingatan saya yang menghiperbola? Entah. Tapi, lupakan saja. Tak penting sehitam apa warnanya sebab celana itu kini berwarna hampir abu-abu. Saya memiliki celana ini sejak SMA dan saya terhitung jarang mengenakannya. Kemudian, ketika saya bertambah tinggi beberapa senti, celana ini tak lagi mampu menjangkau mata kaki. Ketidaknyamanan ini saya akali. Celana jeans panjang itu saya potong sampai panjangnya hanya setengah betis. Kemudian, ujungnya saya lipat dan kelim sehingga resmilah ia menjadi celana pendek.
Sejak saya potong bertahun-tahun lalu, celana ini menjadi celana kesukaan saya. Bahan jeans yang keras itu telah melembut setelah beratus kali dicuci-jemur dan dipakai lagi. Nyaman yang saya rasakan ketika mengenakan celana ini tak tertandingi oleh celana-celana lain yang saya miliki. Tak peduli apa bahannya, berapa harganya, atau seperti apa modelnya, tak ada yang mampu menyaingi jeans pendek hampir abu-abu saya. Istri saya beberapa kali mengomentari, "Kok celana itu masih dipakai, ga ada celana lain ya?" Komentar istri saya itu didasari oleh rasa sayang, ia tak mau saya tampil di muka umum dengan keadaan yang tak rapi. Maka, lahirlah kompromi antara kami. Celana kesukaan ini hanya saya pakai di rumah. Hampir setiap hari. Saya absen memakainya hanya ketika ia dicuci dan dijemur, itu pun hanya sehari; dua hari kalau kebetulan musim hujan dan ia tak kering dijemur.
Meski warnanya sudah pudar (yang menurut istri saya sudah masuk kategori kuleuheu atau kumal), saya tetap memakai celana ini. Ini bukan masalah kepraktisan atau penampilan atau nostalgia berlebihan. Ini masalah kenyamanan. Kalau seandainya celana ini sobek di bagian pantat atau kelimannya sudah tak berbentuk atau sakunya sudah bolong-bolong atau resletingnya sudah macet, mungkin saya tak akan mengenakannya lagi. Tapi, selama ia masih layak pakai dan masih mampu memenuhi apa yang saya butuhkan dari sebuah celana, saya tak akan membuangnya.
Terserah apa yang ingin atau bisa kalian baca dari tulisan kali ini. Kalian mungkin ingin berfilosofi dan menyadari bahwa butuh waktu bertahun-tahun untuk mengubah sesuatu yang keras dan tak nyaman menjadi sesuatu yang sangat nyaman dan tak ingin dilepaskan, atau bahwa habituasi (pembiasaan) akan mengubah sudut pandang. Kalian mungkin jadi teringat dengan barang kesayangan kalian dan bernostalgia. Atau kalian mungkin merasa menyesal telah membuang waktu untuk membaca sesuatu yang percuma. Tak apa, saya hanya ingin berbagi saja. Menuliskan tentang sesuatu yang berarti bagi saya, meski tidak bagi orang lain.
Terima kasih. Selamat sore
Sejak saya potong bertahun-tahun lalu, celana ini menjadi celana kesukaan saya. Bahan jeans yang keras itu telah melembut setelah beratus kali dicuci-jemur dan dipakai lagi. Nyaman yang saya rasakan ketika mengenakan celana ini tak tertandingi oleh celana-celana lain yang saya miliki. Tak peduli apa bahannya, berapa harganya, atau seperti apa modelnya, tak ada yang mampu menyaingi jeans pendek hampir abu-abu saya. Istri saya beberapa kali mengomentari, "Kok celana itu masih dipakai, ga ada celana lain ya?" Komentar istri saya itu didasari oleh rasa sayang, ia tak mau saya tampil di muka umum dengan keadaan yang tak rapi. Maka, lahirlah kompromi antara kami. Celana kesukaan ini hanya saya pakai di rumah. Hampir setiap hari. Saya absen memakainya hanya ketika ia dicuci dan dijemur, itu pun hanya sehari; dua hari kalau kebetulan musim hujan dan ia tak kering dijemur.
Meski warnanya sudah pudar (yang menurut istri saya sudah masuk kategori kuleuheu atau kumal), saya tetap memakai celana ini. Ini bukan masalah kepraktisan atau penampilan atau nostalgia berlebihan. Ini masalah kenyamanan. Kalau seandainya celana ini sobek di bagian pantat atau kelimannya sudah tak berbentuk atau sakunya sudah bolong-bolong atau resletingnya sudah macet, mungkin saya tak akan mengenakannya lagi. Tapi, selama ia masih layak pakai dan masih mampu memenuhi apa yang saya butuhkan dari sebuah celana, saya tak akan membuangnya.
Terserah apa yang ingin atau bisa kalian baca dari tulisan kali ini. Kalian mungkin ingin berfilosofi dan menyadari bahwa butuh waktu bertahun-tahun untuk mengubah sesuatu yang keras dan tak nyaman menjadi sesuatu yang sangat nyaman dan tak ingin dilepaskan, atau bahwa habituasi (pembiasaan) akan mengubah sudut pandang. Kalian mungkin jadi teringat dengan barang kesayangan kalian dan bernostalgia. Atau kalian mungkin merasa menyesal telah membuang waktu untuk membaca sesuatu yang percuma. Tak apa, saya hanya ingin berbagi saja. Menuliskan tentang sesuatu yang berarti bagi saya, meski tidak bagi orang lain.
Terima kasih. Selamat sore
Monday, February 23, 2015
Sore Sempurna
Hampir senja.
Kurasa aku masih ingat resepmu:
Sesendok coklat (sebab air bening tak boleh diminum); secangkir hangat;
Tambah sebongkah rasa.
Ditaburi rintik hujan dan dia.
Resepku, lebih sederhana:
Sepiring lamunan
Ditumbuk halus dengan bayang dan kenang (kau tahu tentang siapa);
Disajikan dengan cahaya menjelang senja.
Atau, kalau tak ada bahan, sekeping buku saja.
Voila!
Soreku sudah jadi.
Mari, selamat menikmati.
Kurasa aku masih ingat resepmu:
Sesendok coklat (sebab air bening tak boleh diminum); secangkir hangat;
Tambah sebongkah rasa.
Ditaburi rintik hujan dan dia.
Resepku, lebih sederhana:
Sepiring lamunan
Ditumbuk halus dengan bayang dan kenang (kau tahu tentang siapa);
Disajikan dengan cahaya menjelang senja.
Atau, kalau tak ada bahan, sekeping buku saja.
Voila!
Soreku sudah jadi.
Mari, selamat menikmati.
Tuesday, February 10, 2015
Offline
Mari mengobrol. Di luar layar. Aku bosan melihat avatar;
Wajahnya datar.
Aku mau bicara tatap muka. Biar bisa kukagumi bola mata dan
Apa yang disiratkan sorotnya.
Aku mau mendengar suara tanpa perantara (kecuali udara)
Sebab ada yang tak bisa disampaikan oleh simbol-simbol dan
Tanda baca.
Aku mau menikmati ekspresi. Perubahan samar pada raut yang
Tak mungkin diwakili.
Aku mau menyampaikan langsung. Komunikasi tanpa tergantung
Sinyal atau koneksi.
Mari. Kau dan aku. Hati ke hati.
Matikan komputermu, kujemput sebentar lagi.
Berani?
Wajahnya datar.
Aku mau bicara tatap muka. Biar bisa kukagumi bola mata dan
Apa yang disiratkan sorotnya.
Aku mau mendengar suara tanpa perantara (kecuali udara)
Sebab ada yang tak bisa disampaikan oleh simbol-simbol dan
Tanda baca.
Aku mau menikmati ekspresi. Perubahan samar pada raut yang
Tak mungkin diwakili.
Aku mau menyampaikan langsung. Komunikasi tanpa tergantung
Sinyal atau koneksi.
Mari. Kau dan aku. Hati ke hati.
Matikan komputermu, kujemput sebentar lagi.
Berani?
Monday, February 9, 2015
Selimut
Suhu dua digit dibawah nol. Bahkan hati paling pencemburu akan beku. Tapi matamu malah makin menyala. Secangkir coklat, wajah dalam kamera, dan kata-kata. Kalian lima jam lebih mengobrol. Bahkan hati paling murni akan iri. Tapi dingin tak mampu membuatmu berhenti. Seulas senyum, cinta dalam pigura, dan kata-kata. Sampai tiba waktu tidur. Ia melambaikan tangan, menjelma jadi selimut. Yang kau tarik sampai memeluk. Sampai esok pagi.
Sunday, February 8, 2015
Diskusi Usang
Kita seperti menjebak diri dalam lingkaran
Aku menulis, kau membaca apa yang ada antara garis
Kata-kata tak berarti apa-apa untukmu
Sementara aku tak menempatkan maksud apa-apa, selain bercerita
Dimana letak salahnya?
Kau ingin mengenalku; baca saja!
Kenapa lalu kau bengkokkan dengan imajinasimu hingga kisah jadi baru,
Jadi lain dari yang kumau?
Aku tak mau berhenti menulis hanya karena kau disleksia, sulit mengeja
Aku juga tak mau kau berhenti membaca
Aku cuma mau kau membaca tanpa praduga,
Aku menyelipkan makna dan cinta pada kata-kata, bukan pada celah diantaranya
Mungkin ini kenapa mereka bilang penulis harus mati setelah berkata-kata
Menghadapi pembaca kadang adalah siksa
Aku menulis, kau membaca apa yang ada antara garis
Kata-kata tak berarti apa-apa untukmu
Sementara aku tak menempatkan maksud apa-apa, selain bercerita
Dimana letak salahnya?
Kau ingin mengenalku; baca saja!
Kenapa lalu kau bengkokkan dengan imajinasimu hingga kisah jadi baru,
Jadi lain dari yang kumau?
Aku tak mau berhenti menulis hanya karena kau disleksia, sulit mengeja
Aku juga tak mau kau berhenti membaca
Aku cuma mau kau membaca tanpa praduga,
Aku menyelipkan makna dan cinta pada kata-kata, bukan pada celah diantaranya
Mungkin ini kenapa mereka bilang penulis harus mati setelah berkata-kata
Menghadapi pembaca kadang adalah siksa
Bangkai Pemuisi
Kurasa pemuisi dalam diri sudah mati
Sebab kata bau bangkai
Dan puisi sama sekali tak segar lagi
Kurasa aku cukup yakin kali ini
Ia bukan mati suri atau hibernasi untuk kemudian kembali
Denyutnya sudah tak terasa pada nadi hari
Tinggal dua yang harus dilakukan:
Mencari tahu sebab kematian
Dan mengundang orang-orang untuk menangis di pemakaman
Sebab ia sepertiku; tak benar-benar berkawan
Sebab kata bau bangkai
Dan puisi sama sekali tak segar lagi
Kurasa aku cukup yakin kali ini
Ia bukan mati suri atau hibernasi untuk kemudian kembali
Denyutnya sudah tak terasa pada nadi hari
Tinggal dua yang harus dilakukan:
Mencari tahu sebab kematian
Dan mengundang orang-orang untuk menangis di pemakaman
Sebab ia sepertiku; tak benar-benar berkawan
Tuesday, February 3, 2015
menyebalkan
Apa yang menyebalkan, kali ini? Kata-kata yang terus mengiang di telinga tapi tak disertai konteks cerita.
Sudah dua atau tiga minggu ini saya tak menulis puisi. Tak apa sebenarnya; saya tak pernah memaksa atau menargetkan penulisan. Saya hanya menulis ketika gagasan itu tiba. Biasanya, ia berupa sepenggal kalimat, sepotong frase, atau sebuah kata. Lalu benak saya akan mencoba merangkainya dengan kata, frase, atau kalimat lain untuk menyampaikan sebuah nuansa suasana (konteks cerita). Yang menyebalkan bagi saya adalah ketika penggalan, potongan, atau buah itu tiba tanpa bisa saya rangkai atau cari pasangan pelengkapnya.
Dalam tiga minggu terakhir ini, setidaknya ada tiga gagasan yang muncul di kepala saya. Yang pertama, tentang topeng-topeng (harfiah maupun figuratif) yang ada dalam kisah Rurouni Kenshin (Samurai X). Saya ingin menulis tentang itu, tapi yang muncul di krpala saya hanya "Himura! Himura! Kyoto membara!" Saya tak bisa mengaitkannya dengan gagasan yang ingin saya tulis. Yang kedua, terinspirasi dari gambar seekor singa betina yang memandangi kupu-kupu yang sedang terbang. Muncul satu bait di benak saya, tapi itu saja. Tak ada lanjutannya. Yang ketiga, sebuah kisah tentang seorang yang pola pikirnya begitu berbeda sehingga tak ada yang mampu memahaminya; dan ia tak punya tempat bercerita. Kalaupun ia menceritakan kisah atau perasaannya, para pendengar akan salah memahami dan menafsirkan apa yang ingin ia katakan.
Ketiga gagasan itu saya biarkan mengendap di bawah sadar sampai nanti muncul sesuatu yang bisa mematangkannya. Barulah akan saya tulis jadi puisi. Sialnya, proses fermentasi kali ini tidak terjadi dalam diam. Seolah saya tidak menutup rapat bejana tempat menyimpan gagasan-gagasan itu, aroma fermentasinya terus menguar dan mengganggu. Tiap hari, saya mendengar suara di kepala saya berteriak, "Himura! Himura! Kyoto membara!" Tapi saya masih tak menemukan bentuk untuk menuliskannya. Sudah saya coba, tapi hasilnya benar-benar tidak memuaskan. Seperti singkong kurang ragi, tapai tak menjadi. Ini yang menyebalkan! Saya tak bisa tenang sebelum suara di kepala saya diam. Tapi ia akan terus berteriak sampai ia diutuhkan. Dan saya tak jua menemukan bentuk yang melengkapinya.
Memparafrase seorang teman, "Andai ada alat untuk merekam hati, tentu tak sesulit ini." Andai emosi bisa keluar tanpa dikeluarkan, tentu hati tak sepenuh dan sesesak ini.
Selamat malam.
Sudah dua atau tiga minggu ini saya tak menulis puisi. Tak apa sebenarnya; saya tak pernah memaksa atau menargetkan penulisan. Saya hanya menulis ketika gagasan itu tiba. Biasanya, ia berupa sepenggal kalimat, sepotong frase, atau sebuah kata. Lalu benak saya akan mencoba merangkainya dengan kata, frase, atau kalimat lain untuk menyampaikan sebuah nuansa suasana (konteks cerita). Yang menyebalkan bagi saya adalah ketika penggalan, potongan, atau buah itu tiba tanpa bisa saya rangkai atau cari pasangan pelengkapnya.
Dalam tiga minggu terakhir ini, setidaknya ada tiga gagasan yang muncul di kepala saya. Yang pertama, tentang topeng-topeng (harfiah maupun figuratif) yang ada dalam kisah Rurouni Kenshin (Samurai X). Saya ingin menulis tentang itu, tapi yang muncul di krpala saya hanya "Himura! Himura! Kyoto membara!" Saya tak bisa mengaitkannya dengan gagasan yang ingin saya tulis. Yang kedua, terinspirasi dari gambar seekor singa betina yang memandangi kupu-kupu yang sedang terbang. Muncul satu bait di benak saya, tapi itu saja. Tak ada lanjutannya. Yang ketiga, sebuah kisah tentang seorang yang pola pikirnya begitu berbeda sehingga tak ada yang mampu memahaminya; dan ia tak punya tempat bercerita. Kalaupun ia menceritakan kisah atau perasaannya, para pendengar akan salah memahami dan menafsirkan apa yang ingin ia katakan.
Ketiga gagasan itu saya biarkan mengendap di bawah sadar sampai nanti muncul sesuatu yang bisa mematangkannya. Barulah akan saya tulis jadi puisi. Sialnya, proses fermentasi kali ini tidak terjadi dalam diam. Seolah saya tidak menutup rapat bejana tempat menyimpan gagasan-gagasan itu, aroma fermentasinya terus menguar dan mengganggu. Tiap hari, saya mendengar suara di kepala saya berteriak, "Himura! Himura! Kyoto membara!" Tapi saya masih tak menemukan bentuk untuk menuliskannya. Sudah saya coba, tapi hasilnya benar-benar tidak memuaskan. Seperti singkong kurang ragi, tapai tak menjadi. Ini yang menyebalkan! Saya tak bisa tenang sebelum suara di kepala saya diam. Tapi ia akan terus berteriak sampai ia diutuhkan. Dan saya tak jua menemukan bentuk yang melengkapinya.
Memparafrase seorang teman, "Andai ada alat untuk merekam hati, tentu tak sesulit ini." Andai emosi bisa keluar tanpa dikeluarkan, tentu hati tak sepenuh dan sesesak ini.
Selamat malam.
ocehan warung kopi. lagi.
Saya sedang di sebuah warung kopi (inisialnya gbx) di daerah taman pramuka. Sendiri. Kok sendiri? Bukannya saya ga suka sendirian di tempat umum yang bukan zona nyaman saya? Saya sendiri karena teman saya sudah pergi dan istri saya belum datang.
Tadi, teman saya yang bekerja di daerah sekitar sini menunggu waktu kerjanya sendirian di warung kopi ini. Ia lalu menghubungi kami (teman-temannya) untuk menemani. Hanya saya yang bisa (yang lain bersedia, tapi tidak bisa). Datanglah saya kesini. Istri saya yang masih dalam perjalanan pulang dari tempat kerjanya bilang ia akan menyusul kesini. Baru mengobrol beberapa menit, ternyata teman saya salah ingat jadwal. Ia harus bekerja pukul tiga, bukan pukul empat. Jadilah ia buru-buru beranjak dan giliran saya yang sendiri disini. Menunggu istri ditemani kopi.
Bicara soal kopi, saya termasuk pecandu kafein. Dan memang seringkali saya dan teman-teman nongkrong di warung kopi. Mereka mungkin memesan minuman apa saja, tapi saya selalu memesan kopi. Selain kafein, saya juga pecandu nikotin. Sudah sejak lama. Pembuluh darah saya serasa sangat sempit (yang mengakibatkan pusing) jika saya tidak bertemu salah satu atau keduanya. Ini kebodohan saya. Menjebak diri sendiri sampai tak bisa lepas lagi. Bisa sebenarnya, tapi proses detoksifikasi akan makan waktu dan sangat sakit. Saya tahu sebab saya pernah mencoba. Selain itu, saya menyaksikan sendiri betapa sakitnya proses detoksifikasi itu pada seorang teman saya (satu-satunya orang yang saya kenal yang bisa berhenti merokok secara total).
Tapi saya berencana berhenti. Segera. Dan ini bukan karena saya mau, tapi karena saya harus. Ada banyak alasan yang bisa dipilih. Tapi ada dua pendorong utama yang mendasari keputusan saya ini: dua celetukan tak sengaja dari dua orang dalam hidup saya.
Yang pertama, Zia, yang suatu hari bertanya, "Ayah, Zia boleh ngerokok, ga?"
Saya jawab, "Ga boleh dong."
"Kalo pura-pura aja, boleh ga, Yah?"
Saya tahu bahwa saya harus berhenti merokok saat itu juga. Sebab banyak hal yang dilakukan Zia ditirunya dari saya. Dan saya tak mau jadi orangtua yang berstandar ganda. Kalau saya tidak memperbolehkannya merokok, saya juga harus tidak memperbolehkan diri saya merokok. Apapun caranya.
Yang kedua, seorang teman yang pada suatu obrolan lewat BBM menulis, "I don't think you're a good dad." (Saya memparafrase). Ujaran itu tidak kami bahas. Sama sekali. Tapi efeknya adalah bola salju refleksi dalam kepala saya. Cermin yang ia sodorkan memaksa saya melihat wajah (dan hati) saya sendiri, dan betapa jeleknya wajah itu...
Inti dari ocehan saya ini adalah, sometimes we have to do things not because we want to, but because we have to. And if we have to do it, anyway, it's better to enjoy it.
Selamat sore.
Tadi, teman saya yang bekerja di daerah sekitar sini menunggu waktu kerjanya sendirian di warung kopi ini. Ia lalu menghubungi kami (teman-temannya) untuk menemani. Hanya saya yang bisa (yang lain bersedia, tapi tidak bisa). Datanglah saya kesini. Istri saya yang masih dalam perjalanan pulang dari tempat kerjanya bilang ia akan menyusul kesini. Baru mengobrol beberapa menit, ternyata teman saya salah ingat jadwal. Ia harus bekerja pukul tiga, bukan pukul empat. Jadilah ia buru-buru beranjak dan giliran saya yang sendiri disini. Menunggu istri ditemani kopi.
Bicara soal kopi, saya termasuk pecandu kafein. Dan memang seringkali saya dan teman-teman nongkrong di warung kopi. Mereka mungkin memesan minuman apa saja, tapi saya selalu memesan kopi. Selain kafein, saya juga pecandu nikotin. Sudah sejak lama. Pembuluh darah saya serasa sangat sempit (yang mengakibatkan pusing) jika saya tidak bertemu salah satu atau keduanya. Ini kebodohan saya. Menjebak diri sendiri sampai tak bisa lepas lagi. Bisa sebenarnya, tapi proses detoksifikasi akan makan waktu dan sangat sakit. Saya tahu sebab saya pernah mencoba. Selain itu, saya menyaksikan sendiri betapa sakitnya proses detoksifikasi itu pada seorang teman saya (satu-satunya orang yang saya kenal yang bisa berhenti merokok secara total).
Tapi saya berencana berhenti. Segera. Dan ini bukan karena saya mau, tapi karena saya harus. Ada banyak alasan yang bisa dipilih. Tapi ada dua pendorong utama yang mendasari keputusan saya ini: dua celetukan tak sengaja dari dua orang dalam hidup saya.
Yang pertama, Zia, yang suatu hari bertanya, "Ayah, Zia boleh ngerokok, ga?"
Saya jawab, "Ga boleh dong."
"Kalo pura-pura aja, boleh ga, Yah?"
Saya tahu bahwa saya harus berhenti merokok saat itu juga. Sebab banyak hal yang dilakukan Zia ditirunya dari saya. Dan saya tak mau jadi orangtua yang berstandar ganda. Kalau saya tidak memperbolehkannya merokok, saya juga harus tidak memperbolehkan diri saya merokok. Apapun caranya.
Yang kedua, seorang teman yang pada suatu obrolan lewat BBM menulis, "I don't think you're a good dad." (Saya memparafrase). Ujaran itu tidak kami bahas. Sama sekali. Tapi efeknya adalah bola salju refleksi dalam kepala saya. Cermin yang ia sodorkan memaksa saya melihat wajah (dan hati) saya sendiri, dan betapa jeleknya wajah itu...
Inti dari ocehan saya ini adalah, sometimes we have to do things not because we want to, but because we have to. And if we have to do it, anyway, it's better to enjoy it.
Selamat sore.
Subscribe to:
Posts (Atom)
About Me

- Verly Hyde
- seorang separuh autis yang memandang dunia dari balik kaca jendelanya. ia duduk diam mengamati,membaca dan menafsir tanda, mencari makna.