Thursday, May 28, 2015

Sindrom Entah-Apa-Namanya

Ini sindrom yang aneh, tapi umum.  Orang-orang yang sering (dan suka) menulis kadang mengalaminya.  Gejala sindrom ini adalah ide menghampirimu ketika kau sedang tidak bisa (atau tidak sempat) menulis, dan hilang ketika kau sudah benar-benar siap,  Dan tak ada yang lebih menyebalkan dari itu; dari ketika kau sangat ingin menulis tapi ide meninggalkan kepalamu sekosong-kosongnya.

Kalau ada yang tahu nama sindrom ini, tolong beritahu saya.

Terima kasih.

Sunday, May 17, 2015

Apa yang Kubutuhkan untuk Menulis?

Apa yang kau butuhkan untuk menulis?  Pertanyaan ini pernah saya baca di salah satu blog milik salah seorang dosen saya.  Di tulisannya itu, beliau memaparkan apa-apa yang beliau butuhkan untuk menulis, baik yang memang berhubungan erat dengan kepenulisan maupun yang hanya sekedar pelengkap.  Di akhir tulisannya, beliau mengajukan pertanyaan (yang sepertinya retoris) kepada pembaca tentang apa yang mereka butuhkan untuk menulis.

Akhir-akhir ini, saya sendiri mempertanyakan hal yang sama.  Apakah yang kurang sehingga saya susah menulis?  Apa yang perlu dibenahi agar saya bisa memaparkan pemikiran saya dengan lugas sekaligus lincah?  Apa yang saya butuhkan untuk membuat tulisan saya menyenangkan untuk dibaca?  Dan saya masih belum menemukan jawabannya.

Ada beberapa jawaban yang sudah saya pertimbangkan sebenarnya.  Yang pertama adalah waktu.  Waktu untuk berlatih (mengembangkan kemampuan dan keahlian) menulis serta waktu pribadi untuk menuliskan gagasan.  Sejauh ini, saya merasa kemampuan kepenulisan saya masih sangat jauh dari kategori sempurna (atau minimalnya 'sangat bagus').  Bekerja sebagai penerjemah tidak lantas membuat saya jadi ahli menulis.  Saya memang menyerap banyak pelajaran dari bahan-bahan yang saya terjemahkan, termasuk berbagai struktur dan gaya penulisan yang baik.  Tapi itu belum benar-benar terinternalisasi dalam diri saya sehingga produk akhir tulisan saya tetap kurang baik.  Untuk urusan teknis seperti tanda baca dan ejaan, bolehlah saya sedikit merasa yakin.  Untuk urusan pemaparan gagasan, lain lagi ceritanya.   Seperti saya katakan tadi, saya butuh waktu lebih banyak untuk berlatih menyusun tulisan.  Waktu yang (meski sebenarnya bisa saja saya usahakan), sayangnya, terasa sulit disediakan.

Tiga buku tentang kepenulisan yang ada di rak buku saya (Pokoknya Menulis dari Chaedar dan Senny Alwasilah, Mengarang Itu Gampang dari Arswendo Atmowiloto, dan Stephen King on Writing dari Stephen King) mengemukakan satu hal yang sama: hampir tak ada cara lain untuk menjadi penulis selain menulis.  Proses pengembangan kemampuan lewat pembelajaran (kuliah, seminar, membaca buku dan artikel, menerjemahkan) memang memiliki dampak terhadap kepenulisan seseorang, namun dampak tersebut hanya pada level pengetahuan, bukan level praktek.  Untuk bisa menjadi penulis yang mumpuni, pengetahuan-pengetahuan ini harus diinternalisasi lewat praktek menulis sesering mungkin.  Dan untuk sering menulis, saya harus bisa menyediakan waktu.  Jam kerja yang menghabiskan sepanjang hari saya jelas tidak memadai untuk menulis, oleh sebab itu saya biasanya hanya mencatat ide-ide yang terlintas saja ketika jam kerja.  Sore hari adalah jatah Zia, ini mutlak tak bisa diganggu-gugat.  Saya tak mau ikatan kami kendor hanya karena waktu kebersamaan kami berkurang.  Malam hari barulah saya bisa sedikit-sedikit menyusun tulisan di kepala saya dan mengetiknya.  Tapi itupun tak selalu, sebab seringkali otak saya terlalu lelah untuk diajak melakukan perjalanan penelusuran labirin gagasan. Intinya, saya harus bisa memaksakan diri menyediakan waktu untuk menulis.

Yang kedua, yang saya butuhkan untuk menulis adalah 'percik semangat' ('spark') yang bisa membangunkan jiwa penulis yang tertidur dalam diri saya.  Ketika di SMA, saya banyak menulis puisi (meski kualitasnya sangat standar puisi remaja yang baru belajar menulis).  Kebanyakan tulisan itu berasal dari apa yang saya rasakan sendiri dan dari apa yang saya rumuskan dari cerita yang teramati oleh saya.  Di masa SMA, jiwa remaja saya banyak melakukan pengamatan dan penelusuran yang berhubungan dengan identitas.  Pengamatan dan penelusuran itulah yang menjadi 'percik' awal yang membuat saya menulis.  Saya, ketika itu, menulis untuk lebih memahami apa yang  saya amati, sama seperti seorang siswa yang mencatat penjelasan gurunya untuk lebih mengerti apa yang ia pelajari.  Di masa kuliah, saya masih menulis puisi.  Beberapa kali mencoba menulis cerpen dengan hasil yang tidak memuaskan.  Kebanyakan cerpen saya tidak selesai.  Hanya ada dua cerpen yang cukup bisa saya banggakan, keduanya memberikan saya nilai A untuk mata kuliah Writing.  'Percik' semangat dari dosen dan kebutuhan akan nilai serta gengsi pribadi membuat saya bisa menghasilkan dua kisah yang bagus.  Dua cerpen itu menyadarkan saya bahwa sebenarnya saya bisa menulis cerpen, jika saya benar-benar memaksakan diri.  Tapi, setelah itu, saya tidak pernah lagi bisa menulis cerita pendek yang baik, meski ada beberapa gagasan yang menurut saya cukup bagus untuk di-cerpen-kan.  Saya kehilangan 'spark' untuk menulis.

Hal ketiga yang saya rasa saya butuhkan untuk menghasilkan tulisan yang baik adalah keresahan dan kegelisahan.  Salah seorang teman saya yang tulisan-tulisannya sudah berkali-kali dimuat media pernah mengomentari sejumlah puisi terbaru saya.  Isi komentarnya kurang lebih menyatakan bahwa ia lebih suka puisi-puisi saya semasa kuliah dulu; "lebih bernyawa," katanya.  Komentar itu dilanjutkan dengan pendapatnya bahwa "kamu mungkin sudah terlalu mapan sekarang, tulisanmu tidak lagi menguarkan kegelisahan," sehingga terkesan datar.  Menurutnya, harusnya kemapanan saya termanifestasi dalam bentuk kematangan puisi.  Kalau memang saya tak lagi bisa membuat puisi yang 'jahil', 'nakal', atau menyentil emosi, itu harusnya karena puisi saya sudah lebih matang, lebih dewasa, bukan malah jadi selongsong kosong yang biasa-biasa saja. Saya rasa pendapat teman saya itu memang benar.  Saya butuh keresahan untuk bisa menyelipkan emosi dalam tulisan saya sehingga karya itu bisa menggugah emosi pembaca.  Dan jabatan sebagai kepala rumah tangga membuat saya secara aktif menghindari keresahan dan kegelisahan, sebab keresahan akan membuat saya goyah.  Saya harus belajar membelah diri agar keresahan yang saya butuhkan untuk menulis tidak menjadi keresahan personal, tidak mewujud dalam kehidupan keseharian saya.  Faktor inilah yang paling sulit saya olah.

Jadi, agar saya bisa menghasilkan tulisan yang baik lagi, saya harus menggali keresahan (sekaligus mengkotakkannya dalam kerangka yang tepat), menjadikan keresahan itu sebagai 'percik' untuk menulis, dan menyediakan waktu untuk berlatih menulis.

Itu saya.  Kalau Anda, bagaimana?  Apa yang Anda butuhkan untuk menulis?

Friday, May 1, 2015

Banyak

Banyak yang terlewat
ketika waktu menjadi benang yang meregang tegang
ketat
tak cukup panjang
melewatkan dirinya pada lubang-lubang hariku
liang-liang hatiku yang tak sempat menjadi cukup cepat
untuk tak hilang

Banyak...
semoga tak lagi kurang

apa kabar?

About Me

My photo
seorang separuh autis yang memandang dunia dari balik kaca jendelanya. ia duduk diam mengamati,membaca dan menafsir tanda, mencari makna.