Saturday, June 27, 2015

Bayang Bulan di Muka Sungai

Beku di sungai itu
Mencermin bulan

Cahaya menjadi tanya:
Apa yang dilihat mata sebenarnya?

Di muka sungai ada bayang bulan.
Di langit ada cahaya bulan.
Dimana bulan?
Ilusikah bulan?

Matamu memantulkan sungai beku.
Sungai memantulkan yang kau sebut bayang bulan.
Bulan sendiri cermin yang memantulkan matahari.
Jadi apa yang dilihat mata sebenarnya, pantulan ilusi?

Bulan beku di sungai beku.
Tak di atas, tak di dalam.
Di mukanya membayang.
Di matamu menggenang.
Kenang.

Bulan Pucat

Kukira bulan bukan pengecut.
Mungkin ia takut ketika fajar tiba
Sebab selalu kulihat ia memucat.
Tapi tak pernah ia lari ke balik cakrawala,
Sembunyi dari pagi.
Ia tetap di langit sana, pucat
Semata karena kalah cahaya.

Bulan bukan pengecut;
Tak terang, memang,
Tapi tak hilang
Tak seperti bintang pada siang.

Sunday, June 7, 2015

Solitaire

cahaya pada cermin
menghidupkan iring-iringan angka di atas meja
seolah mereka memang barisan pengiring raja

tapi lembar-lembar kartu adalah bisu
yang meneriakkan kesendirian
keramaian itu cuma usaha untuk menghabiskan waktu
agar hari tak terasa terlalu sepi

cahaya pada cermin
menghidupkan arak-arakan warna di pangkuan
seolah mereka memang festival kebahagiaan

tapi lembar-lembar kartu adalah bisu
yang meneriakkan kesendirian
keceriaan itu cuma usaha untuk menipu diri
agar hati tak terlalu terasa sunyi

cahaya pada cermin
menghidupkan lompatan-lompatan badut pelawak
seolah ia memang penghibur yang diundang

tapi lembar kartu adalah bisu
yang meneriakkan kesendirian

kesendirian mata yang menatap cermin
yang hampir buta karena cahaya.

Saturday, June 6, 2015

Purnama Tembaga

Purnama tembaga
malu pada pucuk-pucuk jambu
menyapa, "Apa kabarmu?"
 
    Pemuda itu bersiap jadi pemuja
    mengirim harap lewat asap
    semoga ia ingat

Purnama tembaga
menguning di puncak kepala
mengajak kenang naik ke permukaan

   Pemuja itu menyiapkan kisah
   merapal do'a purna
   semoga ia tak hilang

--Lalu malam jadi kabut, mengundang embun.
   Puja pemuda itu terjebak antara do'a dan dosa
   Antara dulu dan nanti, menjelang dini
   Matahari mata hati--

Purnama tembaga
diselimut kabut dini hari
menyelip senyum pada fajar hujan,
"Sampai jumpa lagi."

    Pemuda pemuja itu jadi tua
    jadi kenang yang terselip dibalik kata-kata
    pagi melupa malam.



Suara Pita

Ketika pita hilang suara
semoga kata-katanya tetap ada
dan makna masih terjaga meski tak sepenuhnya
sama

Ketika pita hilang suara
semoga kisahnya tetap diingat
dan pelajaran masih dikaji meski tak sepenuhnya
dipahami

Ketika pita hilang suara
semoga kita tetap ada di benaknya
dan kenangan masih tersimpan meski tak sepenuhnya
terang

Ketika pita hilang suara
semoga kita tak jadi tuli juga

What the Hell Happened to You?

What the hell happened to you?
You with your keen mind and progressive thoughts
have always fought hardest to survive.
And you did thrive, without too many bruises on your chest if I may add.
But what the hell happened to you?
Have all your sacrifices finally taken their toll on you
that you now have to put a mask of bravado and the falsest smile just to face the mirror?
What the hell happened that changed your mind?
What could possibly convinced you that your struggle will not earn you anything?
What the hell happened to you that you can no longer wait another day to give up and give in?
What the hell happened to you that put out your brightest spark of faith?

What the hell, man?
What the hell happened
that you now trod the path I walked on, the path whose end you already know,
that you used to sneered at?
What the hell happened to you that you choose to repeat my mistakes?
What the hell happened that made you forget the lessons we learned?

What the hell happened to you, man?
I can't stop asking because I just can't accept who you are now.
For I adore who you were, whom I aspire to be.

But, what the hell.
I guess even the mightiest can fall and fail.

Friday, June 5, 2015

Daydream

Purnama berwarna tembaga. Itu yang aku lihat tiga hari lalu.  Warnanya campuran antara merah dan jingga, dengan komposisi yang sulit ditentukan.  Di bawah purnama itu, aku bermain 'bagaimana kalau.'  Aku berandai-andai tentang perbedaan makna dalam benak manusia.  Tersusunlah sebuah cerita di kepalaku, malam itu.  Cerita tanpa rincian, hanya garis besar.

Bagaimana seandainya ada seorang anak yang diperkenalkan pada Purnama oleh Ayahnya.  Bagi sang ayah, yang adalah seorang pelaut, Purnama menandakan siklus pasang surut.  Makna Purnama baginya selalu berhubungan dengan kegiatan pemancingan di laut lepas.  Tentang gelombang pasang, tentang angin kencang, tentang susahnya menangkap ikan.  Bukan tentang romantisme remaja seperti dalam novel-novel yang dibaca anaknya.  Setiap bulan, selama bertahun-tahun, si Ayah bercerita kepada anaknya di bawah purnama (kecuali jika sedang hujan).  Ceritanya beragam, tapi semua berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan yang diyakini oleh si Ayah.

Lalu, ketika si Anak beranjak dewasa, dan membentuk nilainya sendiri, ia memaknai Purnama dengan berbeda.  Baginya Purnama bukanlah tentang pasang surut laut, tapi tentang kasih sayang dan kisah-kisah.  Purnama dimaknainya sebagai penanda bahwa Ayahnya selalu bisa menyempatkan diri dan meluangkan waktu untuk mengajarinya lewat cerita, setiap bulan tanpa alpa.  Itulah sebabnya, ketika ia bertemu dengan seorang wanita yang sangat menginspirasi, wanita itu dijulukinya Purnama.  Diantara beragam hal lain yang mempengaruhi dan menentukan pola pikirnya, dua pengalaman yang (dalam pikirannya) diidentikkan dengan purnama ini cukup besar pengaruhnya.  Purnama baginya lebih dari sekedar siklus bulan-matahari-bumi.  Purnama diartikannya sebagai sebuah pengalaman emosional yang sangat dekat dengan hati, sangat pribadi.

Demikianlah, bertahun-tahun sejak ia remaja sampai ia berkeluarga, si Anak menjalani hidupnya dengan menyelipkan Purnama di celah-celah perjalanannya.  Ia meneruskan tradisi duduk di bawah Purnama (kecuali jika hujan) dan merenungi nilai-nilai hidupnya.  Pun ketika ia telah memiliki seorang putri.  Ia memperkenalkan Purnama pada putrinya dan membagikan kisah-kisahnya tentang Purnama, dan kisah-kisah Ayahnya tentang Purnama.  Ia mengajarkan pada putrinya untuk memaknai sendiri Purnama dan pengalamannya.

Gadis kecil itu tumbuh dengan kekaguman terhadap alam.  Bukan hanya Purnama, ia juga mengagumi Bintang, Sabit, Hujan, Mendung, Matahari, Senja, Fajar, Debu, Kerikil, dan apapun yang ada di sekitarnya.  Suatu saat nanti, ia mungkin akan meneruskan tradisi ayah dan kakeknya bercerita di bawah Purnama, mungkin juga ia malah akan membuat tradisi sendiri atau justru melupakan tradisi itu.  Tak ada yang tahu.  Lamunanku pun tidak sampai menyelesaikan kisah si Gadis Kecil, sebab istriku memanggil dan menyuruh istirahat, "Sudah tengah malam," katanya.

Di bawah purnama berwarna tembaga itu, aku kembali diingatkan bahwa tiap orang memiliki pemahaman dan pemaknaan berbeda tentang satu hal yang sama.  Dan perbedaan itu menjadikan kita tidak bisa (tidak harusnya) menilai orang lain dengan standar nilai kita sendiri.  Dan bahwa identitas kita dipengaruhi oleh orangtua (entah kita menyepakati nilai mereka, menentang nilai mereka, atau mengkompromi nilai mereka dengan nilai kita).

Selamat pagi.

Tuesday, June 2, 2015

Nisbi

Tak ada yang benar-benar nyata dari indera
pun dari rasa
semua hanya makna yang kau konstruksi sendiri dalam kerangka
yang berbeda-beda

Jadi kalau kau pergi, tak ada apa-apa yang terbawa
tak ada apa-apa yang menjadi
kecuali makna baru dalam konstruksimu sendiri
yang beda

Kebenaran ada di luar sana
sementara bahagia ada dalam hatimu sendiri
yang tak pernah berhenti bertransformasi

About Me

My photo
seorang separuh autis yang memandang dunia dari balik kaca jendelanya. ia duduk diam mengamati,membaca dan menafsir tanda, mencari makna.