Monday, March 6, 2017

Setelah Sekian Lama (atau Sebentar)

Sepuluh bulan saya membiarkan blog ini hiatus tanpa menerbitkan post baru. Apakah saya berhenti menulis?  Tidak.  Dalam sepuluh bulan ini, saya justru lebih produktif (setidaknya secara kuantitas).  Dalam kurun 10 bulan (Februari-November 2016), saya menulis hampir 400 puisi.  Jika ditambah dengan puisi-puisi yang saya tulis antara Desember 2016 sampai bulan ini, jumlahnya tentu lebih banyak lagi. 

Saya masih melarikan diri dalam tulisan. Saya hanya tidak menulisi blog ini saja.  Alasannya sederhana: saya masih belum merasa cukup nyaman untuk melempar puisi ke sidang pembaca yang begitu buas di dunia maya yang serba ada sekaligus serba tak ada ini.  Ketidaknyamanan itu disebabkan oleh dua hal yang sebenarnya kontradiktif.  Kadang, saya sangat suka pada sebuah puisi yang saya tulis sehingga saya enggan memuatnya di sini sebab saya tidak ingin puisi itu 'dicuri' begitu saja sebelum sempat saya menerbitkannya secara resmi.  Namun, lebih sering lagi saya merasa puisi saya hanya 'selongsong kosong' (ah, saya rindu menggunakan istilah ini); puisi basa-basi tanpa isi yang bahkan kurang kadarnya untuk bisa dikategorikan sebagai ala kadarnya.  Manapun yang saya rasa, efeknya sama, saya tidak lagi ingin menunjukkan puisi saya di blog ini.

Lalu, bagaimana dengan kebutuhan saya akan audiens?  Sejak saya bergabung dengan sebuah (unofficial) official account di aplikasi obrolan L*** yang bergerak di bidang seputar tulis menulis, saya tidak kekurangan audiens; baik mereka yang menikmati puisi saya, maupun yang hobi mengkritik atau mencaci maki.  Ini juga yang membuat saya merasa tidak terlalu 'butuh' menulis di sini.

Saya bayangkan kalian sekarang bertanya, "Kenapa tidak menulis yang lain selain puisi untuk diterbitkan di sini?" (Terlepas dari apakah bayangan ini bisa dijustifikasi atau tidak, saya senang membayangkan kalian membaca tulisan ini dan seolah mendengar suara saya dalam kepala kalian.)
Jawabannya, sebab saya pemalas.  Saya menulis untuk melarikan diri sejenak dari hiruk pikuk isi kepala.  Setelah kebutuhan itu terpenuhi, biasanya saya berhenti menulis (sampai saya sesak lagi).  Jika tidak demikian, tulisan yang saya hasilkan hanya sekadar basa-basi, semacam susunan kata dan kalimat yang tak benar-benar saya pikirkan tujuan atau cara menulisnya.  Setahun terakhir ini, saya sangat aktif membuat corat coret (saya tak sampai hati menyebutnya puisi) sehingga apa-apa yang mungkin menjadi pemicu kebutuhan menulis tersalurkan sampai habis. Ini berarti, saya tidak lagi merasa 'kebutuhan' untuk menuliskan hal lain, atau hal yang sama dalam bentuk lain.  Ditambah lagi, aktivitas saya sebagai kepala keluarga benar-benar membutuhkan kemampuan manajemen waktu luar biasa (dan kalian perlu tahu bahwa manajemen bukanlah bidang yang benar-benar saya kuasai; baik manajemen waktu, finansial, atau lainnya) sehingga saya hampir tak bisa menyempatkan diri untuk menuangkan pemikiran-pemikiran konyol saya di sini.

Sekarang saatnya saya meminta maaf karena telah membiarkan kalian membaca sejauh ini tanpa menyampaikan sesuatu yang cukup berarti.  Ini dari racauan ini adalah: saya (mungkin) akan kembali menulis sesuatu di blog ini, meski hanya sesekali dan tidak akan rutin.  Iya, saya kangen kalian.

N.B. akun resmi (tapi tidak resmi) itu bernama Devils of Death; bisa kalian tambahkan sebagai teman jika kalian menggunakan aplikasi obrolan tersebut. silakan cari dengan l*ne id: ven2123a.

Monday, May 9, 2016

Langit

: kepada Tri

Langit itu, Tri, adalah ilusi
Seperti segala apa yang dicerna kepala
Sebab matamu dan mataku tak bisa memahami
Rahasia cerita yang dituliskan untuk kita

Pun begitu juga bintang-bintang yang kau telusuri
Dengan jari untuk dijadikan gambar rasi,
Serta purnama yang begitu kupuja,
Tak lebih dari usaha kita untuk mengejar makna

Inilah yang sebenarnya, (kurasa):
Kau dan aku manusia
Tugas kita hanya memilih jalan dan melangkah
Soal dimana nanti kita tiba, atau siapa saja yang
Sempat berbagi kisah sepanjang jalan,
Adalah urusan Tuhan, tak perlu terlalu kau pusingkan

Sampai tak sampai kau ke titik yang kau mau, bukan salahmu
Itu bagian dari rencana yang harus kau percaya
Sebab langit ada untuk dipandangi
Ilusi untuk dinikmati
Agar perjalananmu tak sepi
Agar kau tak merasa sendiri

Baiklah, selamat dini hari
Semoga kau membaca tulisan ini, Tri

Saturday, April 23, 2016

Purnama Malam Tadi

purnama malam tadi serupa gadis lugu
bercadar awan tipis, tersenyum malu-malu
entah siapa yang ia goda, entah siapa saja yang terpesona
selain para pemuda jatuh cinta

di antara desau angin,
aku dengar anjing menggonggong
serigala melolong;
burung hantu diam-diam membuka mata lebar-lebar
sementara separuh isi dunia lelap dalam lupa
mungkin itu isyarat rindu malu-malu yang hanya dipahami pemiliknya

disini, aku menulis surat cinta tanpa tahu bagaimana menyampaikannya
kecuali dengan duduk dan bercerita sampai bintang terkantuk dan angin ngamuk
bersegera mengantar fajar untuk mengusir rindu usilku ke bawah bantal
agar mimpi jadi puisi tentang purnama malam tadi.

Thursday, April 21, 2016

Jangan Dulu Mati

Kawan, kau ingat segelas kopi dan obrolan
Yang kau belikan untukku pada perpisahan itu?
Kau bilang, semesta punya rencana, dan kita
Tak boleh mati percuma.
Jadi, malam ini kuminta, jangan dulu mati.

Luka-luka pada kakimu yang tak henti berlari sejak dulu
Mungkin tak akan sembuh.
Liang-liang pada hatiku yang tak henti mencari sejak dulu
Mungkin tak akan utuh.
Tapi pencarian-pelarian kita adalah jatah peran dari semesta
Jadi, jangan dulu mati.

Aku tak tahu apa rasanya tak bisa lagi melangkah
Ketika makna hidup kau susun dari jejak,
Sebagaimana kau tak tahu rasanya mencinta dengan hati yang tak sampai separuh
Sementara cinta adalah nyawa.
Tapi, lukamu dan hampaku adalah sama, sebenarnya
Bukti bahwa kita sedang perang, sendiri-sendiri, melawan kematian tak bermakna
Jadi, jangan dulu mati.

Langit menyalakan matahari, lalu bintang dan purnama
Untuk jadi petunjuk jalan agar kita tak lupa mengemas luka dan menutup kekosongan
Lalu beranjak pulang,
Menemui ia yang jadi alasan kenapa kita masih ada.
Jadi, jangan dulu mati, kawan.
Jangan berhenti berjuang.
Aku masih berhutang segelas kopi dan sebuah obrolan
Pada pertemuan.


Kutulis untuk mereka yang merasa sendirian dan kelelahan dalam perjalanan; kau tak benar-benar sendiri, kawan.

Sunday, April 17, 2016

Facepainting (Kekasih Pelukis)

Jangan menangis, bukankah kau tahu aku pelukis?
Lihat cerminmu, kau tak lagi abu-abu. Tersenyumlah.

Bibir pucatmu kuberi merah paling cerah
Pipimu bersemu hijau-biru
Lalu mata itu, bukankah warnanya senada dengan ungu sepatumu?

Jangan menangis, tersenyumlah
Aku membuat cinta buta melihat warna-warni indah
Hanya untukmu, hanya padamu
Bersyukurlah.

Jangan menangis, kau harusnya bangga jadi kanvasku
Berapa banyak pelukis sepertiku yang kau tahu?
Yang fasih menggunakan meja dan tinju
Mewarnaimu.

Saturday, April 16, 2016

Daftar Putar

Ini akan jadi malam yang sama seperti malam-malam saya yang lain.  Malam tanpa tidur.  Tapi, setidaknya malam ini saya punya alasan bagus: menyelesaikan pekerjaan sebelum tenggat waktu berakhir.  Selama karir saya sebagai penerjemah, salah satu hal yang paling mempersulit pekerjaan adalah mengatasi kejenuhan.  Terlepas dari masalah teknis seperti tulisan yang kurang baik tata bahasanya (yang membuat saya harus ekstra berpikir untuk menemukan makna kalimatnya), istilah-istilah teknis yang belum saya kuasai (yang membutuhkan waktu dan kesabaran sedikit lebih banyak untuk mencari padanannya lewat berbagai sumber), dan klien yang menganggap penerjemah adalah Sangkuriang (mampu menyelesaikan pekerjaan dalam semalam), yang paling menghambat saya menyelesaikan sebuah terjemahan adalah kejenuhan.

Dalam kondisi prima, ketika otak dan badan saya bekerja sama dengan baik, saya mampu menyelesaikan sekitar 2-3 halaman terjemahan per jam.  Dalam kondisi ideal, ini berarti saya bisa menyelesaikan sampai 20-25 halaman per hari (dengan asumsi saya mampu bekerja 8-10 jam sehari).  Sayangnya, kondisi ini tidak setiap hari terjadi.  Sama seperti pada profesi lainnya, kejenuhan pasti akan menimpa setiap pekerja.  Bagi saya, yang setiap hari duduk di depan komputer selama berjam-jam, kejenuhan itu lebih cepat datang.

Salah satu trik saya untuk mengatasi kejenuhan adalah dengan menyetel daftar putar ketika bekerja.  Sementara otak dan tangan saya sibuk menerjemahkan dan mengetik, suara-suara di latar belakang itu menyediakan semacam pengalihan (distraction) agar pikiran saya tidak terlalu lelah karena fokus berlebihan.  Kecuali saya telah benar-benar jenuh, trik ini hampir selalu berhasil.

Saat ini, daftar putar yang menemani saya bekerja berisi lima album terakhir Eminem, album OST Ada Apa dengan Cinta dari Melly Goeslaw, album Rectoverso dari Dewi Lestari, dan dua album pertama Avril Lavigne. 

Eminem pasti masuk daftar putar saya sebab kelincahannya menyampaikan emosi lewat permainan kata dan irama sangat menginspirasi.  Album OST AADC saya masukkan ke daftar putar kali ini sebenarnya hanya karena saya baru menonton ulang filmnya, yang adalah salah satu film yang sangat mempengaruhi saya ketika remaja.  Album Rectoverso sebenarnya kurang cocok untuk saya pakai mengiringi bekerja, entah karena apa.  Tapi, saya terlalu malas untuk menghapusnya dari daftar putar ini.  Dan album Let Go dan Under My Skin Avril termasuk album favorit saya.  Mendengarkan lagu-lagu dalam dua album ini, dan lagu-lagu Eminem, selalu bisa membangkitkan semangat saya. Paling tidak, ketika otak saya lelah menerjemahkan, saya bisa ikut berteriak-teriak (dalam hati) mengikuti mereka bernyanyi.

Demikian, tulisan ini saya buat tanpa tujuan apa-apa; hanya sekedar karena saya butuh istirahat sebentar sebelum melanjutkan pekerjaan.  Dan saya ingin menulis sesuatu yang tak membutuhkan pemikiran panjang atau perenungan mendalam, sebab energi saya harus disimpan untuk menyelesaikan 50 halaman dalam 36 jam.

Selamat malam.

Friday, April 15, 2016

Surat untuk Entah Siapa

Teruntuk kamu,

Akhirnya akan seperti ini.  Kita menjadi tua.  
Tahun-tahun yang kita tandai dengan sobekan kalender akan memberitahu bahwa mimpi-mimpi masa muda tak bisa menjelma semua.  Aku masih perokok, masih minum kopi tujuh cangkir sehari.  Aku masih sering duduk di bawah langit tengah bulan untuk berusaha menikmati purnama, kecuali jika hujan, tanpa bisa mengingat wajah yang dulu membuatku mengawali kebiasaan ini.  Apakah kau sudah menyadari hal yang sama: Betapa waktu bisa membuat segalanya, cepat atau lambat, jadi tak penting pada akhirnya?

Aku menulis ini sambil duduk di beranda, dengan semangkuk bubur kacang di sebelah asbak dan cangkir kopi di atas meja kecil yang kubuat sendiri dari sisa-sisa rak buku yang hancur setelah ditabrak anakku dengan mobil mainannya.  Aku membayangkan suara yang kudengar dari dalam adalah suaramu; sibuk memasukkan semua yang diberi hari ke dalam kotak memori, untuk nanti dipilah, dipilih, dan dikonversi menjadi cerita pengantar tidur yang akan kau selipkan di kepala anakmu.  Tapi, suara yang kubayangkan adalah suaramu itu adalah suara pengisap debu.  Aku bahkan sudah lupa seperti apa suaramu sebenarnya.

Rumahku kecil, tapi halamannya luas.  Di halaman itu kami--aku, istri, dan anakku--menanam alpukat, jambu biji, lidah buaya, jeruk nipis, dan entah apa lagi.  Aku pernah mencoba menanam manggis (bukankah itu buah favoritmu?  Atau bukan?), tapi tak pernah tumbuh.  Di cabang pohon mangga, aku membuat sebuah rumah pohon sebagai markas untuk semua petualangan.  Di bawahnya, kugantung ayunan.  Tapi hujan kota ini tak pernah membiarkan kami berlama-lama bermain.

Aku ingat kotamu panas.  Rumahmu pasti rumah besar dengan banyak ruang tempat udara bisa keluar masuk dengan leluasa.  Di teras ada kursi kesayanganmu, yang sudah berkali-kali diperbaiki dan tak mau kau bagi dengan siapapun; termasuk suamimu.  Kursi dari kayu jati beralaskan bantal duduk yang setiap hari kau bersihkan dari debu.  Beberapa meter dari teras itu, ada pagar setinggi dada orang dewasa, untuk menghalangi orang-orang masuk seenaknya sekaligus memberimu kesempatan untuk melihat mereka berlalu-lalang; mengamati manusia.  Setidaknya, itu yang kubayangkan.  Aku sendiri tak yakin bayangan itu didasarkan pada pengetahuanku tentangmu atau tentang orang lain.  Mungkin ia cuma pengulangan adegan sebuah serial tv yang dulu sangat kusukai.

Sebenarnya, aku menulis surat ini hanya untuk menyampaikan satu hal: waktu telah berhasil memodifikasi segala sesuatu di kepalaku. Bukankah ini lucu?  Pada akhirnya semua pengalaman, semua cerita, semua adegan, semua episode hidup yang dulu kuanggap sangat bermakna atau sangat hebat atau sangat luar biasa berubah menjadi lembar-lembar yang terabaikan.  Rincian-rincian mengabur, meninggalkan sebuah kesadaran di tataran paling mendasar.  Dari semua pengalaman itu, tak lagi penting siapa tokohnya, bagaimana alur sebenarnya, atau siapa yang pergi, siapa yang ditinggalkan.  Yang tersisa hanya kerangka kisah untuk kita isi sendiri sampai jadi dongeng untuk mengajari anak-anak sesuatu tentang hidup.  Bahkan rasa paling kuat akan tak terasa lagi residunya pada titik ini.  Sebab akhirnya akan seperti ini, kita menjadi tua, sendiri-sendiri.

Salam,

Aku

About Me

My photo
seorang separuh autis yang memandang dunia dari balik kaca jendelanya. ia duduk diam mengamati,membaca dan menafsir tanda, mencari makna.