Monday, December 28, 2015

Di Puncak Rindu

Di puncak rindu,

rasaku candu dalam pembuluh
semakin kukasih, 
semakin ia meminta lebih.

ia seperti laut
semakin kutelan 
semakin menambah kehausan.
(Dan aku tak bisa berhenti menenggaknya sebab hanya itu yang kupunya)

Di puncak rindu,
rasaku menggumpal mengental
jadi palu yang mengetuk-ngetuk kepala;
ingin menghancurkan dada
(Sebab ia merasa terjebak di dalam sana)

rasaku jadi air mata
sebab itu satu-satunya cara ia bisa keluar
setelah kata-kata (dalam cerita, puisi, atau do'a) 
tak lagi bisa mengantar sabar

Di puncak rindu,
hanya ada satu yang akan menormalkanku
KAMU.
(Utuh tanpa syarat apa-apa lagi)

Monday, December 21, 2015

Birokrasi

Birokrasi adalah seperti ini:

Mereka menyulap udara jadi aturan
agar bisa menganggap kita menumpang.

Kemudian, mereka menempatkan kita di dua ruangan,
membiarkan pintu terpentang lebar,
dan berkata:

"Kau boleh kemana saja, kecuali ke pelukannya
  Ia bisa menunggu di mana saja, kecuali di jarak rengkuhmu."

Padahal mereka tahu,
Kita adalah satu.

Saturday, December 19, 2015

A Boy Lost

I've been to Neverland
Flown with Peter Pan
Filled my tummy with imaginations and
Gone to countless wars

(It was during that worst
 Moments when I was lost
 In my deepest love and foolish hopes
 For you)

Now I have come back
To this world of growing old
That bittersweet time of missing what I'd never owned
Lingers in the dark

(You know that place, just behind my eyelids,
 The gate through which you always visit
 Every night, every day, every time I have them closed)

I am a Lost Boy, expelled from Neverland
Trapped in this body of a man
Still secretly missing what I left behind

Note : This is supposed to be about what I sometimes feel; that somehow there's a little kid inside me, a part that never grows.  Whether or not this piece represents what I intended, I do not know.  I just need to write it.

Saturday, November 21, 2015

Dalam Kepalaku

: hZ

Waktu dalam kepalaku, selalu, maju lebih lama
dari dunia di luar sana
seolah ada yang sesekali menekan tombol jeda

Itu sebabnya sembilan tahun pernah tak terasa ada
itu pula kenapa Mia, dalam kepalaku, masih gadis yang menangis di sudut tangga
meski ia telah lama didewasakan dunia

Dan tentangmu, Hafshah Zi, waktu dalam kepalaku dijeda di titik ini
--meski di luar sana ia tak berhenti

Kau akan tetap gadis kecilku, meski kau telah memberiku tiga cucu
Kau akan selalu mencariku ketika waktu
menyisipkan mimpi buruk di kepalamu
Dan aku akan selalu menjawab semua keingintahuanmu

Kau akan terus belajar dari kisah-kisahku
dan aku akan tetap menyimak ceritamu,

Sebab waktu dalam kepala bisa dijeda,
kau gadis kecilku, selalu,
dalam kepalaku
dalam hatiku.

Friday, November 13, 2015

Hujan dan Payung

Aku suka hujan.  Aku menikmati hujan bukan dengan duduk di balik selimut di balik kaca jendela ruang tamu dan ditemani secangkir coklat hangat dan sebuah buku.  Aku akan berada di luar sana menyambutnya.

Hujan selalu membawakanku sebuah suasana syahdu; bukan suasana penuh sedih dan pilu, tapi lebih seperti ketika kau sedang merasakan rindu.  Tirai air yang turun itu serupa helai-helai tabir yang memisahkanku dari orang-orang lain; menjadi semacam kelambu waktu yang memisahkanku dari mereka.  Seolah kami ada di ruang yang sama, tapi di dimensi berbeda.  Hujan selalu memindahkanku ke dimensi nostalgia dimana yang ada adalah kenangan (dan sisa-sisa rasa yang tak kuingat lagi sumbernya).  Dalam kepompong itu, aku berlari-lari mengejar puisi di padang ilalang setinggi mata kaki, melompat-lompat agar genangan air menciprat ke bunga-bunga liar yang selalu tiba-tiba mekar.  Hanya di dimensi ini aku bisa menghirup aroma hijau, menikmati gelak daun-daun yang kegirangan, dan merasakan debar kelabu yang perlahan memudar.  Hanya dalam hujan aku bisa menjadi kanak-kanak lagi; menjadi mata yang penuh kekaguman dan tanda tanya.

Dan payung adalah serupa logika yang menyuruhku berhenti dan berteduh; berusaha menghalangi tetes hujan mencumbui wajahku sebab ia tahu bahwa dingin akan membuatku sakit.  Tentu saja ia mungkin benar, tapi, aku lebih memilih menikmati hujan dengan merengkuhnya, atau membiarkannya memelukku.  Sakit adalah bagian dari nanti, bukan bagian dari ketika ini.  Di sini, di ruang yang diantarkan hujan, tak ada sakit, tak ada luka, tak ada perih pedih, tak ada segala apa yang membuat menderita.  Maka, aku tak suka menggunakan payung.  Payung dengan ujungnya yang serupa pedang akan menyobek tirai hujanku; dan kepompong yang koyak tak bisa ditambal.  Ruang kenangku akan bocor; realita akan mengalir membanjir ke dalamnya; dan aku takkan bisa menikmati suasana syahdu itu sebagaimana adanya.  Itu sebabnya payung itu selalu kubiarkan tertutup.  Biarlah nanti aku menemui kenyataan lagi; setelah aku kembali dari sini; setelah tirai itu berhenti turun dan membaurkanku kembali dengan orang-orang.  Sehabis hujan. 

Saturday, October 24, 2015

A Note to Self

Good morning.

With this writing, I will waste your time.  So, if you think your time is too precious, or if you feel you only have so little time to live your life, I strongly suggest you not to read this. 


image source: www.koreaittimes.com

 Have you decided what mask will you wear today?  Which facade will you display?  Whichever you decided to put on, please look at that face in the mirror first.  Ask him how he is today.  Talk to him for a while before you bury him under the pretentious smiles and hollow laughs you will show people all day.  If it's still possible for him to be happy, ask him to join you when you laugh, so that it won't be too empty.  Talk to him about despair and desperation, about the burdens that wear his strengths off.  Tell him that you will take care of everything outside and that he only need to worry about what's inside.  Tell him that today, like any other day before this, both of you will pull through.

It is always easy to pretend, to hide behind the masks.  It may be even a necessity that enables you to survive and function in this crazy times.  But, it's even easier to get used to it; and when you do, you will forget what you keep behind the masks.  My dear friend, believe me, you are not utterly doomed until you truly forget who you are.  So, once again, I urge you to talk to the man in your mirror.  The tired man who's barely able to move his limbs, let alone pulling himself together.  The man who's almost constantly living in autopilot mode. The man that is you.

At night, when the day's over and nobody's around; when you finally can take off the mask, have another conversation with him.  Have a hearty conversation about mistakes and consequences, about that dark pit and possible ways to escape.  Don't talk about the whys, however.  It is just no use to do so.  Talking about what caused all this will only drag him deeper to the inescapable abyss of desperation.  Talk about what is and what will be, instead, not what was and what have been.  Tell him that while you're presently able to let him stay inside to wallow in his misery, you will not be able to keep it up forever.  Tell him that you need him to get up and help you face the mess of the world.  Tell him that some things won't be over unless he ends it himself.  Tell him that if he forces you to wear the masks for too long, they will eventually become you.  And when that happens, he will lose his chance to present himself to the world again.  He will be forgotten.  Tell him that although he may think that that might be a good idea, it is not.

Now, go on, put on your mask.  Practice those fake smiles so you can fool people to think they're genuine.  Practice those laughs until they sound right to you.  When you're all neat and ready, just before you walk out the door, pray that tonight you will still be able to take the mask off and see yourself, the real you, in the mirror.

Have a nice day.

Tuesday, October 20, 2015

Kenanglah Aku

Kenanglah, kenanglah aku
pada antara reguk kopimu
sebab aku ingin dikenang.

Disini, tak ada sesiapa bersamaku
tak ada yang tahan mendengar ocehan,
tak ada yang sudi berbagi mimpi,
tak ada kamu.

Aku telah mencoba mengobrol dengan diriku sendiri;
tapi ia hanya memutar bola mata dan tak mengucap sepatah kata
kecuali untuk menyuruhku menutup mulut dan berhenti mabuk.
Aku belum mencekiknya hanya sebab aku enggan mati bunuh diri.

Kawan,

Kenanglah aku
pada antara hembus rokokmu.

Disini hanya ada kenangan yang sudah jenuh kuingat-ingat
serupa kaset yang kau putar berulang-ulang
sampai ia akhirnya menolak bersuara
atau kau muak mendengarnya.
Disini tak ada kamu.

Kawan,

Tuliskan puisi tentangku agar aku tahu
kau mengenangku,
agar tenanglah aku, senanglah aku
dalam kenanganmu.

Puisi Rindu tentang Kekasihmu

Apalah puisi, kalau bukan tetes emosi
yang turun dari mendung hati
agar pada gerimis itu kau pun mengenang kekasihmu
yang disembunyikan awan waktu.

Apalah rindu, kalau bukan uap-uap puisi
yang dicekik terik mata hati
agar pada siang ini kau pun mengharap kekasihmu
ikut menghitung rintik detik yang luruh ke putik-putik.

Apalah pertemuan, kalau bukan kuncup harap
yang menunggu mekar
agar pada malam sepi kau punya alasan untuk merindu
pagi yang akan membawa kekasihmu itu.

Dan, kekasihmu itu adalah laut yang membentang,
bukan memisahkan tapi menghubungkan
antara kau dan kebersamaan.

Dan kekasihmu itu adalah laut
yang menguap menjadi mendung pada tiap perpisahan
hanya agar kau bisa menulis puisi tentang kerinduan dan pertemuan.

Tuesday, October 13, 2015

Kepada Hafshah Zi

Hafhsah Zi, kalau aku memarahimu ketika kau membuat kesalahan, itu bukan berarti aku tak memperbolehkanmu berbuat salah.  Aku tak benar-benar sepenuhnya sepakat dengan orang-orang yang beranggapan bahwa memarahi anak adalah sebuah kesalahan.  Bahwa bentuk rasa sayang harus diungkapkan dengan kelemahlembutan. Tapi, aku juga tahu bahwa aku takkan pernah bisa secara sengaja menyakitimu.  Jadi, ketika kau berbuat sesuatu yang menurut standar nilai yang sedang kuajarkan padamu adalah sebuah kesalahan, aku merasa perlu memarahimu.  Itu adalah bagian dari tugasku mengajarimu.

Hafshah Zi, percayalah, aku memarahimu bukan semata karena aku perlu mengungkapkan rasa kesal atau emosi.  Ada banyak cara lain untuk melakukan itu, tak harus dengan mengorbankanmu.  Aku memarahimu sebab kau perlu tahu bahwa setiap tindakanmu memiliki konsekuensi yang harus kau tanggung sendiri.  Kau perlu tahu bahwa tak semua konsekuensi itu menyenangkan.  Itu sebabnya aku memarahimu.

Memang kau nanti mungkin akan menyadari sendiri, tapi aku tak mau berjudi dengan kemungkinan.  Aku ingin kau menanamkan dalam sistem kesadaranmu bahwa konsekuensi tindakanmu mungkin pahit, bahkan meski tindakan itu sendiri tak sepenuhnya salah.  Sebab aku percaya bahwa apa yang sudah ada dalam kesadaranmu takkan lenyap sepenuhnya.

Ada versi lain untuk mengajarimu hal ini, aku tahu.  Tapi aku memilih cara ini karena cara inilah yang menurutku paling berpotensi memberikan hasil, meski juga paling beresiko.  Kau tahu, aku meyakini bahwa tugas utamaku sebagai ayahmu adalah mempersiapkanmu untuk hidup, untuk menjalani hidupmu sendiri, dengan nilai dan caramu sendiri, bukan dengan nilai dan caraku.  Aku juga meyakini bahwa meski kau akan membentuk nilaimu sendiri, dasar-dasarnya harus dipersiapkan olehku.  Pada akhirnya, identitasmu adalah kumpulan pengalaman yang kau filter lewat pemahamanmu.  Filter itulah yang jadi dasar pembentukan semua maknamu.  Oleh sebab itu, aku ingin membantumu memiliki filter yang baik.  Dan cara yang kupilih adalah ini.

Hafshah Zi, saat ini ada dua hal yang ingin kuajarkan padamu.  Dua hal yang kuyakini akan membantumu memiliki filter pembentuk makna yang baik.  Pertama, aku ingin kau ingat bahwa tiap tindakanmu memiliki konsekuensi yang harus kau tanggung sendiri.  Kedua, aku ingin kau sadar bahwa tak semua yang kau inginkan bisa kau dapat.  Aku bukan ingin mengajarimu untuk tidak melakukan sesuatu karena takut konsekuensinya.  Aku ingin mengajarimu untuk memikirkan konsekuensi sebelum bertindak, dan menjalani konsekuensi tindakanmu, sesulit apapun itu.  Aku bukan ingin menyuruhmu untuk tak menginginkan apa-apa, aku ingin mengajakmu untuk berharap dan mengejar mimpimu, sekaligus menjagamu agar tak terlalu kecewa ketika harap itu tak mewujud.

Aku adalah jaring pengaman sementara kau berusaha menyeimbangkan diri meniti tali.  Sebab seperti itulah hidup, kau meniti tali, berusaha menyeimbangkan diri, salah langkah akan menjatuhkanmu begitu keras, mungkin sampai kau tak bisa bangkit lagi.  Karena aku berkewajiban menyiapkanmu untuk menjalani hidupmu sendiri, aku takkan membiarkanmu jatuh hancur sebelum kau siap menjalani hidupmu.  Saat ini, kau bebas meniti tali hidupmu dengan cara apapun yang kau inginkan.  Kalau kau salah langkah dan jatuh, aku akan menangkapmu sebelum kau terhempas.  Tapi, semakin kau beranjak dewasa, jaringku akan semakin mengecil.  Semakin besar kesalahanmu nanti, semakin parah pula akibat yang harus kau derita.  Oleh sebab itu, aku ingin melatihmu meniti tali itu, dengan caramu sendiri, dengan cara yang aman.  Agar nanti, ketika kau harus berjalan tanpa pengaman lagi, kau sudah tahu cara untuk menghindari jatuh yang membuatmu tak mampu bangkit lagi.  Nanti kau pasti akan tetap jatuh, mungkin terkilir, mungkin patah kaki, mungkin patah hati, sebab tali itu memiliki caranya sendiri untuk menjatuhkanmu.  Tapi, ketika kau jatuh, kau akan tetap bisa bangkit lagi.

Itulah bentuk sayangku padamu, Hafsah Zi.  Dan di akhir tulisan ini, aku ingin memintamu untuk tak sepenuhnya mempercayai mereka yang berkata bahwa caraku mengajarimu bukanlah cara yang benar untuk menunjukkan kasih sayang. Kau harus putuskan sendiri siapa yang ingin kau percayai, sebagaimana aku memutuskan cara apa yang kupakai untuk mempersiapkanmu meniti tali.  Terakhir, aku ingin kau menyadari bahwa proses mendidik dan mengajarimu ini juga adalah sebuah pelajaran baru bagiku, dan sebab aku baru belajar, akan ada beberapa kesalahan yang pasti kulakukan.  Aku ingin kau memakluminya sebagaimana aku pasti menjalani konsekuensi pilihanku ini, apapun itu nantinya.

Aku sayang kau, Hafsah Zi.

Monday, October 12, 2015

Aku Bertanya: Kapankah Kita?

Sehabis hujan,
Janji
menyiram jejak-jejak
debu di pekarangan.
          Aku bertanya: kapankah kita?
          Sebab ada ciuman yang tertunda.

Tungguku usai, tapi
Hujan
menguapkan kelabu awan
di langit bintang-bintang.
      Aku bertanya: kapankah kita?
      Sebab rasa ini harus dibagi.

Sehabis hujan,
Dingin
membekukan kenangan tangis
luka di pipi mimpi.
       Aku bertanya: kapankah kita?
       Sebab ada hutang kebersamaan.

Kapankah kita membalas hujan
yang menyuburkan kerinduan?
~memisahkan.

Thursday, October 1, 2015

Teman-teman (1)

Saya senang.  Teman-teman saya sedang senang.  Saya senang sebab teman-teman saya sedang senang.

Salah dua dari mereka menikah.  Saya sebut salah dua sebab keduanya adalah teman saya, dan mereka menikah.  Bagi kalian yang menganggap saya melebih-lebihkan, mungkin kalian benar.  Dalam skala semesta, sebuah pernikahan tidaklah terlalu istimewa; banyak yang telah dan akan menikah, banyak yang berhasil dan banyak yang gagal.  Tak ada satu pun aspek pernikahan kedua teman saya ini yang bisa membedakannya dari beratus juta pernikahan sebelum dan setelahnya.  Tapi, dalam skala pribadi saya, pernikahan mereka istimewa.  
Alasan pertama, keduanya teman dekat saya.  Alasan kedua, circumstances menjelang dan pada hari pernikahan mereka cukup penuh kisah yang membuat pernikahan ini menjadi sebuah kelegaan.  Mereka berkenalan ketika si wanita sedang belajar di luar negeri.  Pertemuan tatap muka mereka mungkin bisa dihitung jari (kalau jari tangan kaki saya tak cukup untuk menghitungnya, saya akan pinjam jari tangan kaki Zia).  Keterpisahan jarak hanya salah satu yang membuat hubungan mereka luar biasa (setidaknya bagi saya).  Ketika ada kesalahpahaman, jarak 6000 km lebih itu tentu menghambat penyelesaian masalah.  Bahkan ketika tak ada masalah pun, jarak sejauh itu tetap menghambat komunikasi. Saya ingat ketika si pria terbaring di ambang sadar di rumah sakit, si wanita sangat kelabakan mengkhawatirkan nasibnya.  Saya juga ingat ketika si wanita sedang sangat sibuk dengan tugas-tugas dari para pengajarnya, si pria mencemaskan kesehatan fisik dan mentalnya.  Ketika si pria mendapat keputusan bahwa ia bisa melanjutkan pendidikan di luar negeri, kerumitan hubungan mereka seketika menjadi sederhana.  Sebuah pernikahan pun berlangsung.  Saya bahagia karena saya tahu mereka bahagia, meski saya sedikit sedih karena saya tahu mereka cukup menyesali ketidakhadiran teman-teman dekat mereka pada hari pernikahan itu.

Tak ada alasan khusus kenapa saya menuliskan tentang ini disini.  Saya hanya ingin mereka tak lupa bahwa saya teman mereka.

Monday, September 21, 2015

Bahagia Berdua

Romantisme adalah gagasan tentang kebahagiaan,
tentang hujan yang turun sebelum senja
dan bintang yang jatuh dini hari
agar ada yang bisa dikenang dan dikisahkan.

Tapi, siapa yang masih butuh kisah
setelah kepasrahan, harapan, dan keyakinan mewujudkan mimpi hati?

Ah, romantisme. . .
Siapa yang butuh kisah dan kenangan
Jika langit telah mempertemukan bintang dengan awan!

Tuesday, August 11, 2015

kau

kau adalah yang tiba tiba-tiba dari balik pelupuk:
airmata yang terdesak oleh rasa
yang membongkah dan membuncah pada malam-malam dimana jawab bermunculan tanpa tanya, sekedar demi mengisi keheningan yang terlalu pekat; keheningan yang kosong tapi begitu padat dan rapat sehingga sesak menyeruak di rongga-rongga kerinduan yang telah kulupa; memenuhi tiap ceruk serupa gema doa-doa yang dulu kuteriakkan ke udara di bawah mata Purnama purba.

kau adalah yang tiba tiba-tiba dari cahaya:
bayang-bayang yang melekat erat pada telapak kaki yang mengiringi kemana langkah berpindah pada hari-hari dimana lelah berkejaran dengan harapan yang dimentahkan entah, sekedar agar perjalanan seolah bertujuan; perjalanan yang sesungguhnya adalah kepergian dari himpitan ketiadaan yang begitu menekan sehingga kehilangan meruap dari celah-celah kenang pada diri, menggenangi tiap pori serupa gaung puisi-puisi yang dulu kubisikkan kepada hujan dan bintang-bintang yang berjatuhan.

kau adalah yang tiba tiba-tiba dari bawah kesadaran:
mimpi yang dijadikan oleh keinginan yang selalu menolak diwujudkan dalam bentuk sesederhana tatap mata atau genggam tangan pada kesempatan-kesempatan dimana pertemuan seharusnya adalah sebuah kebetulan yang indah; kebetulan yang seolah selalu sengaja menghindar agar tak bisa disebut pernah terjadi sehingga muntahan harap dari hati harus ditelan kembali serupa deru gelombang yang menelan dan menenggelamkan kidung-kidung yang kusenandungkan kepada senja.

kau adalah yang kini tiba tiba-tiba entah dari mana:
kata yang menyelinap ke dalam kidung do'a, memenuhi puisi seperti kau memenuhi hatiku. dulu, setelah matahari berlalu.

Patah Hati

Hari nanti ganti menangisi:
Manis yang habis
Sumpah yang sampah

Segaris sabit memahat pahit di langit:
Ingin melupa luka
Mendusta duka

Malam mencaci jika
Pagi memaki maka
Embun meluruk di pelupuk
Siang hilang cahaya

Asa tersia.


Saturday, July 25, 2015

maaf, tulisan saya masuk draft lagi

Maaf.

Tadinya saya ingin menulis agak panjang tentang karya-karya Chin Yong yang sedang saya baca ulang, yang dalam komputer saya dimasukkan dalam folder berjudul Heroes Series karena novel-novel tersebut merupakan semacam serial petualangan para jagoan silat, mulai dari Racun Barat dan kawan-kawan, Kwee Ceng dan Oey Yong, Yo Ko dan Siaw Long Lie, Thio Sam Hong dan Thio Bu Kie, dan seterusnya sampai beberapa generasi.  Total ada sembilan buku. Saat ini saya baru membaca (ulang) sampai buku keempat, yaitu To Liong To alias Golok Pembunuh Naga.

Tadinya, sehabis mengajar hari ini, saya ingin mampir ke warnet barang sejam untuk menuliskan apa yang ingin saya tuliskan mengenai hal diatas.  Tapi, berhubung saya sudah menjanjikan jam kepulangan kepada istri, dan berhubung warnet langganan sedang bermasalah, saya hanya punya waktu sekitar 20 menit saja. Dua puluh menit itu, saya rasa, tidaklah cukup untuk saya menguraikan pemikiran saya dengan baik tanpa terburu-buru.  Oleh sebab itu, tulisan saya masuk draft lagi, untuk nanti saya perbaiki dan lengkapi sebelum "diterbitkan" disini.

Selamat siang dan

Maaf.

Monday, July 13, 2015

Kapan Kita Pun?

Kucing di genting, cicak di dinding
Bukan maling, bukan main-main

Burung di ranting
Riuh musim kawin

Ah, pusing . . . biarin!

Saturday, June 27, 2015

Bayang Bulan di Muka Sungai

Beku di sungai itu
Mencermin bulan

Cahaya menjadi tanya:
Apa yang dilihat mata sebenarnya?

Di muka sungai ada bayang bulan.
Di langit ada cahaya bulan.
Dimana bulan?
Ilusikah bulan?

Matamu memantulkan sungai beku.
Sungai memantulkan yang kau sebut bayang bulan.
Bulan sendiri cermin yang memantulkan matahari.
Jadi apa yang dilihat mata sebenarnya, pantulan ilusi?

Bulan beku di sungai beku.
Tak di atas, tak di dalam.
Di mukanya membayang.
Di matamu menggenang.
Kenang.

Bulan Pucat

Kukira bulan bukan pengecut.
Mungkin ia takut ketika fajar tiba
Sebab selalu kulihat ia memucat.
Tapi tak pernah ia lari ke balik cakrawala,
Sembunyi dari pagi.
Ia tetap di langit sana, pucat
Semata karena kalah cahaya.

Bulan bukan pengecut;
Tak terang, memang,
Tapi tak hilang
Tak seperti bintang pada siang.

Sunday, June 7, 2015

Solitaire

cahaya pada cermin
menghidupkan iring-iringan angka di atas meja
seolah mereka memang barisan pengiring raja

tapi lembar-lembar kartu adalah bisu
yang meneriakkan kesendirian
keramaian itu cuma usaha untuk menghabiskan waktu
agar hari tak terasa terlalu sepi

cahaya pada cermin
menghidupkan arak-arakan warna di pangkuan
seolah mereka memang festival kebahagiaan

tapi lembar-lembar kartu adalah bisu
yang meneriakkan kesendirian
keceriaan itu cuma usaha untuk menipu diri
agar hati tak terlalu terasa sunyi

cahaya pada cermin
menghidupkan lompatan-lompatan badut pelawak
seolah ia memang penghibur yang diundang

tapi lembar kartu adalah bisu
yang meneriakkan kesendirian

kesendirian mata yang menatap cermin
yang hampir buta karena cahaya.

Saturday, June 6, 2015

Purnama Tembaga

Purnama tembaga
malu pada pucuk-pucuk jambu
menyapa, "Apa kabarmu?"
 
    Pemuda itu bersiap jadi pemuja
    mengirim harap lewat asap
    semoga ia ingat

Purnama tembaga
menguning di puncak kepala
mengajak kenang naik ke permukaan

   Pemuja itu menyiapkan kisah
   merapal do'a purna
   semoga ia tak hilang

--Lalu malam jadi kabut, mengundang embun.
   Puja pemuda itu terjebak antara do'a dan dosa
   Antara dulu dan nanti, menjelang dini
   Matahari mata hati--

Purnama tembaga
diselimut kabut dini hari
menyelip senyum pada fajar hujan,
"Sampai jumpa lagi."

    Pemuda pemuja itu jadi tua
    jadi kenang yang terselip dibalik kata-kata
    pagi melupa malam.



Suara Pita

Ketika pita hilang suara
semoga kata-katanya tetap ada
dan makna masih terjaga meski tak sepenuhnya
sama

Ketika pita hilang suara
semoga kisahnya tetap diingat
dan pelajaran masih dikaji meski tak sepenuhnya
dipahami

Ketika pita hilang suara
semoga kita tetap ada di benaknya
dan kenangan masih tersimpan meski tak sepenuhnya
terang

Ketika pita hilang suara
semoga kita tak jadi tuli juga

What the Hell Happened to You?

What the hell happened to you?
You with your keen mind and progressive thoughts
have always fought hardest to survive.
And you did thrive, without too many bruises on your chest if I may add.
But what the hell happened to you?
Have all your sacrifices finally taken their toll on you
that you now have to put a mask of bravado and the falsest smile just to face the mirror?
What the hell happened that changed your mind?
What could possibly convinced you that your struggle will not earn you anything?
What the hell happened to you that you can no longer wait another day to give up and give in?
What the hell happened to you that put out your brightest spark of faith?

What the hell, man?
What the hell happened
that you now trod the path I walked on, the path whose end you already know,
that you used to sneered at?
What the hell happened to you that you choose to repeat my mistakes?
What the hell happened that made you forget the lessons we learned?

What the hell happened to you, man?
I can't stop asking because I just can't accept who you are now.
For I adore who you were, whom I aspire to be.

But, what the hell.
I guess even the mightiest can fall and fail.

Friday, June 5, 2015

Daydream

Purnama berwarna tembaga. Itu yang aku lihat tiga hari lalu.  Warnanya campuran antara merah dan jingga, dengan komposisi yang sulit ditentukan.  Di bawah purnama itu, aku bermain 'bagaimana kalau.'  Aku berandai-andai tentang perbedaan makna dalam benak manusia.  Tersusunlah sebuah cerita di kepalaku, malam itu.  Cerita tanpa rincian, hanya garis besar.

Bagaimana seandainya ada seorang anak yang diperkenalkan pada Purnama oleh Ayahnya.  Bagi sang ayah, yang adalah seorang pelaut, Purnama menandakan siklus pasang surut.  Makna Purnama baginya selalu berhubungan dengan kegiatan pemancingan di laut lepas.  Tentang gelombang pasang, tentang angin kencang, tentang susahnya menangkap ikan.  Bukan tentang romantisme remaja seperti dalam novel-novel yang dibaca anaknya.  Setiap bulan, selama bertahun-tahun, si Ayah bercerita kepada anaknya di bawah purnama (kecuali jika sedang hujan).  Ceritanya beragam, tapi semua berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan yang diyakini oleh si Ayah.

Lalu, ketika si Anak beranjak dewasa, dan membentuk nilainya sendiri, ia memaknai Purnama dengan berbeda.  Baginya Purnama bukanlah tentang pasang surut laut, tapi tentang kasih sayang dan kisah-kisah.  Purnama dimaknainya sebagai penanda bahwa Ayahnya selalu bisa menyempatkan diri dan meluangkan waktu untuk mengajarinya lewat cerita, setiap bulan tanpa alpa.  Itulah sebabnya, ketika ia bertemu dengan seorang wanita yang sangat menginspirasi, wanita itu dijulukinya Purnama.  Diantara beragam hal lain yang mempengaruhi dan menentukan pola pikirnya, dua pengalaman yang (dalam pikirannya) diidentikkan dengan purnama ini cukup besar pengaruhnya.  Purnama baginya lebih dari sekedar siklus bulan-matahari-bumi.  Purnama diartikannya sebagai sebuah pengalaman emosional yang sangat dekat dengan hati, sangat pribadi.

Demikianlah, bertahun-tahun sejak ia remaja sampai ia berkeluarga, si Anak menjalani hidupnya dengan menyelipkan Purnama di celah-celah perjalanannya.  Ia meneruskan tradisi duduk di bawah Purnama (kecuali jika hujan) dan merenungi nilai-nilai hidupnya.  Pun ketika ia telah memiliki seorang putri.  Ia memperkenalkan Purnama pada putrinya dan membagikan kisah-kisahnya tentang Purnama, dan kisah-kisah Ayahnya tentang Purnama.  Ia mengajarkan pada putrinya untuk memaknai sendiri Purnama dan pengalamannya.

Gadis kecil itu tumbuh dengan kekaguman terhadap alam.  Bukan hanya Purnama, ia juga mengagumi Bintang, Sabit, Hujan, Mendung, Matahari, Senja, Fajar, Debu, Kerikil, dan apapun yang ada di sekitarnya.  Suatu saat nanti, ia mungkin akan meneruskan tradisi ayah dan kakeknya bercerita di bawah Purnama, mungkin juga ia malah akan membuat tradisi sendiri atau justru melupakan tradisi itu.  Tak ada yang tahu.  Lamunanku pun tidak sampai menyelesaikan kisah si Gadis Kecil, sebab istriku memanggil dan menyuruh istirahat, "Sudah tengah malam," katanya.

Di bawah purnama berwarna tembaga itu, aku kembali diingatkan bahwa tiap orang memiliki pemahaman dan pemaknaan berbeda tentang satu hal yang sama.  Dan perbedaan itu menjadikan kita tidak bisa (tidak harusnya) menilai orang lain dengan standar nilai kita sendiri.  Dan bahwa identitas kita dipengaruhi oleh orangtua (entah kita menyepakati nilai mereka, menentang nilai mereka, atau mengkompromi nilai mereka dengan nilai kita).

Selamat pagi.

Tuesday, June 2, 2015

Nisbi

Tak ada yang benar-benar nyata dari indera
pun dari rasa
semua hanya makna yang kau konstruksi sendiri dalam kerangka
yang berbeda-beda

Jadi kalau kau pergi, tak ada apa-apa yang terbawa
tak ada apa-apa yang menjadi
kecuali makna baru dalam konstruksimu sendiri
yang beda

Kebenaran ada di luar sana
sementara bahagia ada dalam hatimu sendiri
yang tak pernah berhenti bertransformasi

Thursday, May 28, 2015

Sindrom Entah-Apa-Namanya

Ini sindrom yang aneh, tapi umum.  Orang-orang yang sering (dan suka) menulis kadang mengalaminya.  Gejala sindrom ini adalah ide menghampirimu ketika kau sedang tidak bisa (atau tidak sempat) menulis, dan hilang ketika kau sudah benar-benar siap,  Dan tak ada yang lebih menyebalkan dari itu; dari ketika kau sangat ingin menulis tapi ide meninggalkan kepalamu sekosong-kosongnya.

Kalau ada yang tahu nama sindrom ini, tolong beritahu saya.

Terima kasih.

Sunday, May 17, 2015

Apa yang Kubutuhkan untuk Menulis?

Apa yang kau butuhkan untuk menulis?  Pertanyaan ini pernah saya baca di salah satu blog milik salah seorang dosen saya.  Di tulisannya itu, beliau memaparkan apa-apa yang beliau butuhkan untuk menulis, baik yang memang berhubungan erat dengan kepenulisan maupun yang hanya sekedar pelengkap.  Di akhir tulisannya, beliau mengajukan pertanyaan (yang sepertinya retoris) kepada pembaca tentang apa yang mereka butuhkan untuk menulis.

Akhir-akhir ini, saya sendiri mempertanyakan hal yang sama.  Apakah yang kurang sehingga saya susah menulis?  Apa yang perlu dibenahi agar saya bisa memaparkan pemikiran saya dengan lugas sekaligus lincah?  Apa yang saya butuhkan untuk membuat tulisan saya menyenangkan untuk dibaca?  Dan saya masih belum menemukan jawabannya.

Ada beberapa jawaban yang sudah saya pertimbangkan sebenarnya.  Yang pertama adalah waktu.  Waktu untuk berlatih (mengembangkan kemampuan dan keahlian) menulis serta waktu pribadi untuk menuliskan gagasan.  Sejauh ini, saya merasa kemampuan kepenulisan saya masih sangat jauh dari kategori sempurna (atau minimalnya 'sangat bagus').  Bekerja sebagai penerjemah tidak lantas membuat saya jadi ahli menulis.  Saya memang menyerap banyak pelajaran dari bahan-bahan yang saya terjemahkan, termasuk berbagai struktur dan gaya penulisan yang baik.  Tapi itu belum benar-benar terinternalisasi dalam diri saya sehingga produk akhir tulisan saya tetap kurang baik.  Untuk urusan teknis seperti tanda baca dan ejaan, bolehlah saya sedikit merasa yakin.  Untuk urusan pemaparan gagasan, lain lagi ceritanya.   Seperti saya katakan tadi, saya butuh waktu lebih banyak untuk berlatih menyusun tulisan.  Waktu yang (meski sebenarnya bisa saja saya usahakan), sayangnya, terasa sulit disediakan.

Tiga buku tentang kepenulisan yang ada di rak buku saya (Pokoknya Menulis dari Chaedar dan Senny Alwasilah, Mengarang Itu Gampang dari Arswendo Atmowiloto, dan Stephen King on Writing dari Stephen King) mengemukakan satu hal yang sama: hampir tak ada cara lain untuk menjadi penulis selain menulis.  Proses pengembangan kemampuan lewat pembelajaran (kuliah, seminar, membaca buku dan artikel, menerjemahkan) memang memiliki dampak terhadap kepenulisan seseorang, namun dampak tersebut hanya pada level pengetahuan, bukan level praktek.  Untuk bisa menjadi penulis yang mumpuni, pengetahuan-pengetahuan ini harus diinternalisasi lewat praktek menulis sesering mungkin.  Dan untuk sering menulis, saya harus bisa menyediakan waktu.  Jam kerja yang menghabiskan sepanjang hari saya jelas tidak memadai untuk menulis, oleh sebab itu saya biasanya hanya mencatat ide-ide yang terlintas saja ketika jam kerja.  Sore hari adalah jatah Zia, ini mutlak tak bisa diganggu-gugat.  Saya tak mau ikatan kami kendor hanya karena waktu kebersamaan kami berkurang.  Malam hari barulah saya bisa sedikit-sedikit menyusun tulisan di kepala saya dan mengetiknya.  Tapi itupun tak selalu, sebab seringkali otak saya terlalu lelah untuk diajak melakukan perjalanan penelusuran labirin gagasan. Intinya, saya harus bisa memaksakan diri menyediakan waktu untuk menulis.

Yang kedua, yang saya butuhkan untuk menulis adalah 'percik semangat' ('spark') yang bisa membangunkan jiwa penulis yang tertidur dalam diri saya.  Ketika di SMA, saya banyak menulis puisi (meski kualitasnya sangat standar puisi remaja yang baru belajar menulis).  Kebanyakan tulisan itu berasal dari apa yang saya rasakan sendiri dan dari apa yang saya rumuskan dari cerita yang teramati oleh saya.  Di masa SMA, jiwa remaja saya banyak melakukan pengamatan dan penelusuran yang berhubungan dengan identitas.  Pengamatan dan penelusuran itulah yang menjadi 'percik' awal yang membuat saya menulis.  Saya, ketika itu, menulis untuk lebih memahami apa yang  saya amati, sama seperti seorang siswa yang mencatat penjelasan gurunya untuk lebih mengerti apa yang ia pelajari.  Di masa kuliah, saya masih menulis puisi.  Beberapa kali mencoba menulis cerpen dengan hasil yang tidak memuaskan.  Kebanyakan cerpen saya tidak selesai.  Hanya ada dua cerpen yang cukup bisa saya banggakan, keduanya memberikan saya nilai A untuk mata kuliah Writing.  'Percik' semangat dari dosen dan kebutuhan akan nilai serta gengsi pribadi membuat saya bisa menghasilkan dua kisah yang bagus.  Dua cerpen itu menyadarkan saya bahwa sebenarnya saya bisa menulis cerpen, jika saya benar-benar memaksakan diri.  Tapi, setelah itu, saya tidak pernah lagi bisa menulis cerita pendek yang baik, meski ada beberapa gagasan yang menurut saya cukup bagus untuk di-cerpen-kan.  Saya kehilangan 'spark' untuk menulis.

Hal ketiga yang saya rasa saya butuhkan untuk menghasilkan tulisan yang baik adalah keresahan dan kegelisahan.  Salah seorang teman saya yang tulisan-tulisannya sudah berkali-kali dimuat media pernah mengomentari sejumlah puisi terbaru saya.  Isi komentarnya kurang lebih menyatakan bahwa ia lebih suka puisi-puisi saya semasa kuliah dulu; "lebih bernyawa," katanya.  Komentar itu dilanjutkan dengan pendapatnya bahwa "kamu mungkin sudah terlalu mapan sekarang, tulisanmu tidak lagi menguarkan kegelisahan," sehingga terkesan datar.  Menurutnya, harusnya kemapanan saya termanifestasi dalam bentuk kematangan puisi.  Kalau memang saya tak lagi bisa membuat puisi yang 'jahil', 'nakal', atau menyentil emosi, itu harusnya karena puisi saya sudah lebih matang, lebih dewasa, bukan malah jadi selongsong kosong yang biasa-biasa saja. Saya rasa pendapat teman saya itu memang benar.  Saya butuh keresahan untuk bisa menyelipkan emosi dalam tulisan saya sehingga karya itu bisa menggugah emosi pembaca.  Dan jabatan sebagai kepala rumah tangga membuat saya secara aktif menghindari keresahan dan kegelisahan, sebab keresahan akan membuat saya goyah.  Saya harus belajar membelah diri agar keresahan yang saya butuhkan untuk menulis tidak menjadi keresahan personal, tidak mewujud dalam kehidupan keseharian saya.  Faktor inilah yang paling sulit saya olah.

Jadi, agar saya bisa menghasilkan tulisan yang baik lagi, saya harus menggali keresahan (sekaligus mengkotakkannya dalam kerangka yang tepat), menjadikan keresahan itu sebagai 'percik' untuk menulis, dan menyediakan waktu untuk berlatih menulis.

Itu saya.  Kalau Anda, bagaimana?  Apa yang Anda butuhkan untuk menulis?

Friday, May 1, 2015

Banyak

Banyak yang terlewat
ketika waktu menjadi benang yang meregang tegang
ketat
tak cukup panjang
melewatkan dirinya pada lubang-lubang hariku
liang-liang hatiku yang tak sempat menjadi cukup cepat
untuk tak hilang

Banyak...
semoga tak lagi kurang

apa kabar?

Sunday, March 8, 2015

Purnama

faded light,
no sun to shine upon her
darker night,
no hand to wipe the tears

but there is hope;
always there
of a new sun to rise
of a life brighter
of another

waning strength, forced laughter
but those eyes will smile again
for time always eases the pain
and prayers will be answered.

Reminiscing

Purnama.

Sudah berapa lama sejak terakhir kau menyengajakan diri
Duduk di bawah langit untuk merindunya lewat puisi
Sampai malam jadi terlalu dingin untukmu?
Seratus dua puluh siklus?
Lebih. Tak mungkin kurang. Aku tahu kau terus menghitung diam-diam.

Cahaya menyejukkan.

Padahal kau tak mengenalnya benar-benar.
Yang kau simpan hanya wajahnya, rasamu, dan potongan-potongan kabar:
Ia terus berjalan.
Pernikahan. Kelahiran. Lalu hujan.
Dari sepasang mata yang kehilangan.
Aku ingat kau juga menangis untuk hatinya.

Ia menciptakan penyair.

Puisimu lahir dari rasa tanpa suara.
Kata-kata yang kau simpan di lipatan kenang.
Mantra metamorfosa yang mengubahmu pelan-pelan.
Kerangka kepribadian.
Berawal darinya.

Sampai pagi tiba lagi.

Sudah sangat lama.
Sesungguhnya siklus itu berhenti hanya di kepalamu saja.
Ketika ia kau jadikan cerita.
Dalam hatimu, ia masih Purnama.

Thursday, March 5, 2015

Pada Celah-Celah Fajar

kepada Mia Yamaniastuti

Akan kau temukan yang kau cari.
Ketika kau merundukkan diri.
Pada celah-celah fajar.

Kau bertualang bersama matahari,
berjalan, berlari, terpuruk, dan bangkit lagi
demi mimpi
demi hati.

Kau mampu menyelipkan tawa di sela sedumu
tidakkah itu berarti ada kuat dalam lemahmu?
Kau bisa terus menjadi atau berhenti,
tapi kita tahu pasti apa yang kau pilih:
Ekspresi.

Akan kau temukan yang kau cari dari hari.

Pada celah-celah fajar.
Sebab Tuhan mendengar.

Tuesday, February 24, 2015

Rahasia

Nama-Nama Rahasia

Kita semua menyimpan nama-nama
Yang dirahasiakan dalam sandi-sandi
Untuk menandai masa lalu

Nama-nama yang kita simpan diam-diam
Sebab tak bermakna bagi siapa-siapa
Kecuali kita sendiri (dan mereka yang akhirnya dipilih)

Nama-nama yang kita rahasiakan
Sebab dunia hanya akan melihat luka pada kisahnya
Sementara kita tahu, kita tak mungkin ada tanpa nama-nama
Itu.


Rahasia Nama-Nama

Ia masih menyimpan nama-nama
Diabadikan sebagai kerangka inspirasi
Bentuk apresiasi atas memori
--begitu akunya--

Lalu, apakah namaku disimpannya?
Dimana?
Atau memori kami tak memenuhi kriteria
Untuk dibuat abadi?

Ini rahasia, tapi ia memberitahu:
Hanya yang hilang yang perlu dikenang.


Rasa Rahasia

Ada rahasia 
Residu cerita 
Cendera mata yang tak perlu dipajang 
Dari masa yang tinggal kenang

Sebab sejarah kisah terpisah dari kini
Jangan dicari

Ada rasa 
Sisa bintang, senja, purnama
Dulu tanda silang pada peta
Pada perjalanan yang tak tiba

Sebab jejak mengingat luka
Selipkan di relung lupa

Ada rasa yang tak boleh dibuka
Ada rahasia yang harus dilupa

                                                Fiani R.
                                              Februari 2015
 
 
 

Celana Pendek Jeans Hampir Abu-Abu

Saya punya sebuah celana jeans pendek.  Awalnya celana itu adalah sebuah jeans panjang berwarna hitam.  Hitamnya sangat kelam, seingat saya.  Atau mungkin biasa saja dan ingatan saya yang menghiperbola?  Entah.  Tapi, lupakan saja.  Tak penting sehitam apa warnanya sebab celana itu kini berwarna hampir abu-abu.  Saya memiliki celana ini sejak SMA dan saya terhitung jarang mengenakannya.  Kemudian, ketika saya bertambah tinggi beberapa senti, celana ini tak lagi mampu menjangkau mata kaki.  Ketidaknyamanan ini saya akali.  Celana jeans panjang itu saya potong sampai panjangnya hanya setengah betis.  Kemudian, ujungnya saya lipat dan kelim sehingga resmilah ia menjadi celana pendek.

Sejak saya potong bertahun-tahun lalu, celana ini menjadi celana kesukaan saya.  Bahan jeans yang keras itu telah melembut setelah beratus kali dicuci-jemur dan dipakai lagi.  Nyaman yang saya rasakan ketika mengenakan celana ini tak tertandingi oleh celana-celana lain yang saya miliki.  Tak peduli apa bahannya, berapa harganya, atau seperti apa modelnya, tak ada yang mampu menyaingi jeans pendek hampir abu-abu saya.  Istri saya beberapa kali mengomentari, "Kok celana itu masih dipakai, ga ada celana lain ya?"  Komentar istri saya itu didasari oleh rasa sayang, ia tak mau saya tampil di muka umum dengan keadaan yang tak rapi.  Maka, lahirlah kompromi antara kami.  Celana kesukaan ini hanya saya pakai di rumah.  Hampir setiap hari.  Saya absen memakainya hanya ketika ia dicuci dan dijemur, itu pun hanya sehari; dua hari kalau kebetulan musim hujan dan ia tak kering dijemur.

Meski warnanya sudah pudar (yang menurut istri saya sudah masuk kategori kuleuheu atau kumal), saya tetap memakai celana ini.  Ini bukan masalah kepraktisan atau penampilan atau nostalgia berlebihan.  Ini masalah kenyamanan.  Kalau seandainya celana ini sobek di bagian pantat atau kelimannya sudah tak berbentuk atau sakunya sudah bolong-bolong atau resletingnya sudah macet, mungkin saya tak akan mengenakannya lagi.  Tapi, selama ia masih layak pakai dan masih mampu memenuhi apa yang saya butuhkan dari sebuah celana, saya tak akan membuangnya.

Terserah apa yang ingin atau bisa kalian baca dari tulisan kali ini.  Kalian mungkin ingin berfilosofi dan menyadari bahwa butuh waktu bertahun-tahun untuk mengubah sesuatu yang keras dan tak nyaman menjadi sesuatu yang sangat nyaman dan tak ingin dilepaskan, atau bahwa habituasi (pembiasaan) akan mengubah sudut pandang.  Kalian mungkin jadi teringat dengan barang kesayangan kalian dan bernostalgia.  Atau kalian mungkin merasa menyesal telah membuang waktu untuk membaca sesuatu yang percuma.  Tak apa, saya hanya ingin berbagi saja.  Menuliskan tentang sesuatu yang berarti bagi saya, meski tidak bagi orang lain.

Terima kasih.  Selamat sore




Monday, February 23, 2015

Sore Sempurna

Hampir senja.
Kurasa aku masih ingat resepmu:
Sesendok coklat (sebab air bening tak boleh diminum); secangkir hangat;
Tambah sebongkah rasa.
Ditaburi rintik hujan dan dia.

Resepku, lebih sederhana:
Sepiring lamunan
Ditumbuk halus dengan bayang dan kenang (kau tahu tentang siapa);
Disajikan dengan cahaya menjelang senja.
Atau, kalau tak ada bahan, sekeping buku saja.

Voila!
Soreku sudah jadi.
Mari, selamat menikmati.

Tuesday, February 10, 2015

Offline

Mari mengobrol.  Di luar layar.  Aku bosan melihat avatar;
Wajahnya datar.

Aku mau bicara tatap muka.  Biar bisa kukagumi bola mata dan
Apa yang disiratkan sorotnya.

Aku mau mendengar suara tanpa perantara (kecuali udara)
Sebab ada yang tak bisa disampaikan oleh simbol-simbol dan
Tanda baca.

Aku mau menikmati ekspresi.  Perubahan samar pada raut yang
Tak mungkin diwakili.

Aku mau menyampaikan langsung.  Komunikasi tanpa tergantung
Sinyal atau koneksi.

Mari.  Kau dan aku.  Hati ke hati.
Matikan komputermu, kujemput sebentar lagi.
Berani?

Monday, February 9, 2015

Selimut

Suhu dua digit dibawah nol.  Bahkan hati paling pencemburu akan beku.  Tapi matamu malah makin menyala.  Secangkir coklat, wajah dalam kamera, dan kata-kata.  Kalian lima jam lebih mengobrol.  Bahkan hati paling murni akan iri.  Tapi dingin tak mampu membuatmu berhenti.  Seulas senyum, cinta dalam pigura, dan kata-kata.  Sampai tiba waktu tidur.  Ia melambaikan tangan, menjelma jadi selimut.  Yang kau tarik sampai memeluk.  Sampai esok pagi.

Sunday, February 8, 2015

Diskusi Usang

Kita seperti menjebak diri dalam lingkaran
Aku menulis, kau membaca apa yang ada antara garis
Kata-kata tak berarti apa-apa untukmu
Sementara aku tak menempatkan maksud apa-apa, selain bercerita

Dimana letak salahnya?
Kau ingin mengenalku; baca saja!
Kenapa lalu kau bengkokkan dengan imajinasimu hingga kisah jadi baru,
Jadi lain dari yang kumau?

Aku tak mau berhenti menulis hanya karena kau disleksia, sulit mengeja
Aku juga tak mau kau berhenti membaca
Aku cuma mau kau membaca tanpa praduga,
Aku menyelipkan makna dan cinta pada kata-kata, bukan pada celah diantaranya

Mungkin ini kenapa mereka bilang penulis harus mati setelah berkata-kata
Menghadapi pembaca kadang adalah siksa

Bangkai Pemuisi

Kurasa pemuisi dalam diri sudah mati
Sebab kata bau bangkai
Dan puisi sama sekali tak segar lagi

Kurasa aku cukup yakin kali ini
Ia bukan mati suri atau hibernasi untuk kemudian kembali
Denyutnya sudah tak terasa pada nadi hari

Tinggal dua yang harus dilakukan:
Mencari tahu sebab kematian
Dan mengundang orang-orang untuk menangis di pemakaman
Sebab ia sepertiku; tak benar-benar berkawan

Tuesday, February 3, 2015

menyebalkan

Apa yang menyebalkan, kali ini?  Kata-kata yang terus mengiang di telinga tapi tak disertai konteks cerita.

Sudah dua atau tiga minggu ini saya tak menulis puisi.  Tak apa sebenarnya; saya tak pernah memaksa atau menargetkan penulisan.  Saya hanya menulis ketika gagasan itu tiba.  Biasanya, ia berupa sepenggal kalimat, sepotong frase, atau sebuah kata.  Lalu benak saya akan mencoba merangkainya dengan kata, frase, atau kalimat lain untuk menyampaikan sebuah nuansa suasana (konteks cerita).  Yang menyebalkan bagi saya adalah ketika penggalan, potongan, atau buah itu tiba tanpa bisa saya rangkai atau cari pasangan pelengkapnya.

Dalam tiga minggu terakhir ini, setidaknya ada tiga gagasan yang muncul di kepala saya.  Yang pertama, tentang topeng-topeng (harfiah maupun figuratif) yang ada dalam kisah Rurouni Kenshin (Samurai X).  Saya ingin menulis tentang itu, tapi yang muncul di krpala saya hanya "Himura! Himura! Kyoto membara!"  Saya tak bisa mengaitkannya dengan gagasan yang ingin saya tulis.  Yang kedua, terinspirasi dari gambar seekor singa betina yang memandangi kupu-kupu yang sedang terbang.  Muncul satu bait di benak saya, tapi itu saja.  Tak ada lanjutannya.  Yang ketiga, sebuah kisah tentang seorang yang pola pikirnya begitu berbeda sehingga tak ada yang mampu memahaminya; dan ia tak punya tempat bercerita.  Kalaupun ia menceritakan kisah atau perasaannya, para pendengar akan salah memahami dan menafsirkan apa yang ingin ia katakan.

Ketiga gagasan itu saya biarkan mengendap di bawah sadar sampai nanti muncul sesuatu yang bisa mematangkannya.  Barulah akan saya tulis jadi puisi.  Sialnya, proses fermentasi kali ini tidak terjadi dalam diam.  Seolah saya tidak menutup rapat bejana tempat menyimpan gagasan-gagasan itu, aroma fermentasinya terus menguar dan mengganggu.  Tiap hari, saya mendengar suara di kepala saya berteriak, "Himura! Himura! Kyoto membara!"  Tapi saya masih tak menemukan bentuk untuk menuliskannya.  Sudah saya coba, tapi hasilnya benar-benar tidak memuaskan.  Seperti singkong kurang ragi, tapai tak menjadi.  Ini yang menyebalkan!  Saya tak bisa tenang sebelum suara di kepala saya diam.  Tapi ia akan terus berteriak sampai ia diutuhkan.  Dan saya tak jua menemukan bentuk yang melengkapinya.

Memparafrase seorang teman, "Andai ada alat untuk merekam hati, tentu tak sesulit ini."  Andai emosi bisa keluar tanpa dikeluarkan, tentu hati tak sepenuh dan sesesak ini.

Selamat malam.

ocehan warung kopi. lagi.

Saya sedang di sebuah warung kopi (inisialnya gbx) di daerah taman pramuka. Sendiri. Kok sendiri? Bukannya saya ga suka sendirian di tempat umum yang bukan zona nyaman saya? Saya sendiri karena teman saya sudah pergi dan istri saya belum datang.

Tadi, teman saya yang bekerja di daerah sekitar sini menunggu waktu kerjanya sendirian di warung kopi ini. Ia lalu menghubungi kami (teman-temannya) untuk menemani. Hanya saya yang bisa (yang lain bersedia, tapi tidak bisa). Datanglah saya kesini. Istri saya yang masih dalam perjalanan pulang dari tempat kerjanya bilang ia akan menyusul kesini. Baru mengobrol beberapa menit, ternyata teman saya salah ingat jadwal. Ia harus bekerja pukul tiga, bukan pukul empat. Jadilah ia buru-buru beranjak dan giliran saya yang sendiri disini. Menunggu istri ditemani kopi.
Bicara soal kopi, saya termasuk pecandu kafein. Dan memang seringkali saya dan teman-teman nongkrong di warung kopi. Mereka mungkin memesan minuman apa saja, tapi saya selalu memesan kopi. Selain kafein, saya juga pecandu nikotin. Sudah sejak lama. Pembuluh darah saya serasa sangat sempit (yang mengakibatkan pusing) jika saya tidak bertemu salah satu atau keduanya.  Ini kebodohan saya. Menjebak diri sendiri sampai tak bisa lepas lagi.  Bisa sebenarnya, tapi proses detoksifikasi akan makan waktu dan sangat sakit. Saya tahu sebab saya pernah mencoba.  Selain itu, saya menyaksikan sendiri betapa sakitnya proses detoksifikasi itu pada seorang teman saya (satu-satunya orang yang saya kenal yang bisa berhenti merokok secara total).
Tapi saya berencana berhenti. Segera. Dan ini bukan karena saya mau, tapi karena saya harus. Ada banyak alasan yang bisa dipilih. Tapi ada dua pendorong utama yang mendasari keputusan saya ini: dua celetukan tak sengaja dari dua orang dalam hidup saya.
Yang pertama, Zia, yang suatu hari bertanya, "Ayah, Zia boleh ngerokok, ga?"
Saya jawab, "Ga boleh dong."
"Kalo pura-pura aja, boleh ga, Yah?"
Saya tahu bahwa saya harus berhenti merokok saat itu juga.  Sebab banyak hal yang dilakukan Zia ditirunya dari saya.  Dan saya tak mau jadi orangtua yang berstandar ganda.  Kalau saya tidak memperbolehkannya merokok, saya juga harus tidak memperbolehkan diri saya merokok.  Apapun caranya.
Yang kedua, seorang teman yang pada suatu obrolan lewat BBM menulis, "I don't think you're a good dad." (Saya memparafrase).  Ujaran itu tidak kami bahas. Sama sekali. Tapi efeknya adalah bola salju refleksi dalam kepala saya.  Cermin yang ia sodorkan memaksa saya melihat wajah (dan hati) saya sendiri, dan betapa jeleknya wajah itu...
Inti dari ocehan saya ini adalah, sometimes we have to do things not because we want to, but because we have to. And if we have to do it, anyway, it's better to enjoy it.
Selamat sore.

Wednesday, January 7, 2015

Tentang Seratus (Lebih Satu)

Seratus (Lebih Satu) adalah judul (calon) buku ketiga saya.  Baru saja selesai disusun.  Sebelum saya bercerita, saya ingin mengklarifikasi satu hal dulu: buku ini adalah buku kumpulan puisi ketiga yang saya susun dan cetak sendiri (dalam arti tidak melalui penerbit); jadi jangan berpikir bahwa saya penulis hebat yang mampu menjebolkan manuskrip tulisannya di penerbit buku resmi.

Setelah itu diklarifikasi, sekarang saya ingin berbagi.  Bagi yang belum tahu, saya sudah menulis banyak puisi sejak SMA, sebagian besar sangat amatir tapi beberapa mulai cukup bagus (saya rasa, sebab meski belum teruji lewat penerbit atau kritikus puisi, ada beberapa orang yang punya kapabilitas menilai puisi-puisi saya cukup bagus) dalam beberapa tahun terakhir.  Puisi-puisi itu sudah dikumpulkan dalam dua antologi yang saya cetak dan jual sendiri ke orang-orang yang ingin membeli, entah karena mereka memang suka puisi atau karena mengasihani.  Saya tak tahu apakah tepat menyebutnya 'antologi', saya belum sempat memeriksa makna kata ini menurut KBBI.

Buku kumpulan puisi saya yang pertama berjudul Prologue-Epilogue, dirancang sebagai semacam rekaman episode-episode nuansa perasaan saya, atau orang-orang yang sempat saya amati.  Buku ini berisi hampir 190 puisi yang saya tulis dalam periode 2003-2006.  Buku kedua, saya juduli Topeng diatas Topeng, berisi 55 puisi dari periode 2006-2007, dan beberapa dari tahun-tahun sebelumnya.  Gambar sampul dan isi kedua buku ini didesain oleh sahabat saya, Arun, yang memang lebih ahli dari saya untuk soal desain dan gambar.

Sejak tahun 2007 itu, saya sudah berniat membuat buku kumpulan puisi lagi, minimal satu.  Namun, karena sejak 2007 saya bisa dikatakan telah mapan (dalam artian settle), kebanyakan keresahan yang menjadi percik awal dalam proses kreatif saya mulai menghilang.  Selain itu, saya mulai jarang memperhatikan manusia dan mendengar kisah-kisah mereka sejak saya tinggal di kost-an tahun 2008.  Bahan untuk menulis pun berkurang.  Kemudian saya menikah, menikmati hidup berumah tangga, dan mengurus anak.  Waktu luang untuk saya pribadi merenungi kata-kata semakin sedikit.  Untung saya sedikit punya gangguan tidur, tak bisa tidur sebelum pukul satu dini hari. Jadi saya masih bisa menyempat-nyempatkan diri untuk menggauli puisi diantara deadline terjemahan, mengikuti serial TV AS dan Inggris, dan variety show Korea yang diunduh secara ilegal, serta memanjakan istri.  Saya sempat vakum menulis puisi cukup lama, entah kenapa.  Pada periode 2010-2012 sedikit sekali puisi yang saya hasilkan.  Satu lagi alasan kenapa penyusunan buku ketiga ini makan waktu tujuh tahun.

Bulan Maret 2014, istri dan teman-teman saya memberikan sebuah kejutan.  Mereka menggabungkan (dikerjakan oleh Arun lagi) dua buku puisi saya dengan seperempat bahan puisi untuk buku ketiga dan mencetaknya dalam sebuah buku yang mereka juduli 3-Lo-G.  Ketika itulah saya membuat resolusi untuk menyelesaikan penyusunan buku ketiga sebelum tahun berganti.  Setelah mengganti konsep yang sudah saya canangkan sejak lama untuk buku ketiga ini, saya mulai menulis lagi.

Awalnya buku ini ingin saya juduli Janin Tak Lahir, dengan konsep dasar berisi puisi-puisi yang berhubungan dengan perilaku seksual remaja Indonesia modern, baik yang baik-baik maupun yang membuat jijik; termasuk didalamnya tentang aborsi, seks pra-nikah, dan semacamnya.  Tapi, sepertinya nama itu adalah do'a, setelah bertahun-tahun, Janin Tak Lahir tetap tak lahir.  Akhirnya, saya memutuskan untuk mengubah judul dan konsepnya sama sekali.  Saya juduli Seratus (Lebih Satu) karena buku ini berisi tepat 101 puisi.  

Kenapa seratus satu, tidak seratus saja?  Sebab seratus itu lengkap, penuh, sempurna.  Saya ingin setelah mencapai angka seratus, saya tidak merasa puas, menambah satu lagi untuk dijadikan titik awal menuju seratus berikutnya.  Kurang lebih begitulah buku ketiga ini.  Seratus satu puisi di dalamnya adalah seratus satu puisi tentang apa-apa yang saya rasa dan tentang nuansa-nuansa yang saya amati atau saya saring dari kisah-kisah yang sampai pada saya.  Sebagian mungkin pernah kalian baca di blog ini, atau pernah saya tunjukkan langsung. Kebanyakan masih tentang cinta, meski cukup banyak juga yang menyangkut keresahan pribadi saya tentang hidup, cara hidup, Ketuhanan, dan lainnya.

Masih banyak puisi dalam buku ini yang mungkin tak layak disebut puisi, tapi karena saya menyusun dan (akan) mencetaknya dengan niat untuk memuaskan diri sendiri, maka mereka bisa terjustifikasi.  Baru hari ini seratus satu puisi itu selesai dibuat dan disusun.  Akan segera saya cetak begitu Arun (yang sedang sibuk dengan perkuliahan S2 dan pekerjaannya) punya waktu untuk merancang covernya.  Bukan saya tak percaya pada teman-teman lain, tapi saya punya sentimen tersendiri terhadap Arun sebab ia sudah membantu saya sejak buku pertama.

Demikian.  Semoga Arun cepat punya waktu luang untuk membantu saya.

P.S. berikut adalah puisi ke seratus satu dalam buku ini:

Seratus (Lebih Satu)

Semua kisah disampaikan dari tengah, kau tahu?
Termasuk yang kita sebut sejarah itu;
Sebab tak ada yang ingat tentang titik mula-mula,
Kecuali Satu

Darinya semua berawal, lalu menyebar
Saling jalin, saling pilin, menjadi satu yang menyeribu
Kausalitas yang tak mampu kita urai ujung pangkalnya

Jadi, yang kita pakai untuk memulai kisah bukan awal yang benar-benar
Tapi awal sekedar; yang kita pilih untuk mempermudah cerita
Seratus yang kita jadikan satu

Demikianlah, aku membagi soal ini sebagai pengingat
Sebab aku sendiri tak ingin lupa
Bahwa yang ada tak benar-benar ada, selain yang kupilih sendiri
Dan realita adalah ilusi yang harus kita jalani
Sebelum kembali pada Satu
yang Sejati

About Me

My photo
seorang separuh autis yang memandang dunia dari balik kaca jendelanya. ia duduk diam mengamati,membaca dan menafsir tanda, mencari makna.