Saturday, October 24, 2015

A Note to Self

Good morning.

With this writing, I will waste your time.  So, if you think your time is too precious, or if you feel you only have so little time to live your life, I strongly suggest you not to read this. 


image source: www.koreaittimes.com

 Have you decided what mask will you wear today?  Which facade will you display?  Whichever you decided to put on, please look at that face in the mirror first.  Ask him how he is today.  Talk to him for a while before you bury him under the pretentious smiles and hollow laughs you will show people all day.  If it's still possible for him to be happy, ask him to join you when you laugh, so that it won't be too empty.  Talk to him about despair and desperation, about the burdens that wear his strengths off.  Tell him that you will take care of everything outside and that he only need to worry about what's inside.  Tell him that today, like any other day before this, both of you will pull through.

It is always easy to pretend, to hide behind the masks.  It may be even a necessity that enables you to survive and function in this crazy times.  But, it's even easier to get used to it; and when you do, you will forget what you keep behind the masks.  My dear friend, believe me, you are not utterly doomed until you truly forget who you are.  So, once again, I urge you to talk to the man in your mirror.  The tired man who's barely able to move his limbs, let alone pulling himself together.  The man who's almost constantly living in autopilot mode. The man that is you.

At night, when the day's over and nobody's around; when you finally can take off the mask, have another conversation with him.  Have a hearty conversation about mistakes and consequences, about that dark pit and possible ways to escape.  Don't talk about the whys, however.  It is just no use to do so.  Talking about what caused all this will only drag him deeper to the inescapable abyss of desperation.  Talk about what is and what will be, instead, not what was and what have been.  Tell him that while you're presently able to let him stay inside to wallow in his misery, you will not be able to keep it up forever.  Tell him that you need him to get up and help you face the mess of the world.  Tell him that some things won't be over unless he ends it himself.  Tell him that if he forces you to wear the masks for too long, they will eventually become you.  And when that happens, he will lose his chance to present himself to the world again.  He will be forgotten.  Tell him that although he may think that that might be a good idea, it is not.

Now, go on, put on your mask.  Practice those fake smiles so you can fool people to think they're genuine.  Practice those laughs until they sound right to you.  When you're all neat and ready, just before you walk out the door, pray that tonight you will still be able to take the mask off and see yourself, the real you, in the mirror.

Have a nice day.

Tuesday, October 20, 2015

Kenanglah Aku

Kenanglah, kenanglah aku
pada antara reguk kopimu
sebab aku ingin dikenang.

Disini, tak ada sesiapa bersamaku
tak ada yang tahan mendengar ocehan,
tak ada yang sudi berbagi mimpi,
tak ada kamu.

Aku telah mencoba mengobrol dengan diriku sendiri;
tapi ia hanya memutar bola mata dan tak mengucap sepatah kata
kecuali untuk menyuruhku menutup mulut dan berhenti mabuk.
Aku belum mencekiknya hanya sebab aku enggan mati bunuh diri.

Kawan,

Kenanglah aku
pada antara hembus rokokmu.

Disini hanya ada kenangan yang sudah jenuh kuingat-ingat
serupa kaset yang kau putar berulang-ulang
sampai ia akhirnya menolak bersuara
atau kau muak mendengarnya.
Disini tak ada kamu.

Kawan,

Tuliskan puisi tentangku agar aku tahu
kau mengenangku,
agar tenanglah aku, senanglah aku
dalam kenanganmu.

Puisi Rindu tentang Kekasihmu

Apalah puisi, kalau bukan tetes emosi
yang turun dari mendung hati
agar pada gerimis itu kau pun mengenang kekasihmu
yang disembunyikan awan waktu.

Apalah rindu, kalau bukan uap-uap puisi
yang dicekik terik mata hati
agar pada siang ini kau pun mengharap kekasihmu
ikut menghitung rintik detik yang luruh ke putik-putik.

Apalah pertemuan, kalau bukan kuncup harap
yang menunggu mekar
agar pada malam sepi kau punya alasan untuk merindu
pagi yang akan membawa kekasihmu itu.

Dan, kekasihmu itu adalah laut yang membentang,
bukan memisahkan tapi menghubungkan
antara kau dan kebersamaan.

Dan kekasihmu itu adalah laut
yang menguap menjadi mendung pada tiap perpisahan
hanya agar kau bisa menulis puisi tentang kerinduan dan pertemuan.

Tuesday, October 13, 2015

Kepada Hafshah Zi

Hafhsah Zi, kalau aku memarahimu ketika kau membuat kesalahan, itu bukan berarti aku tak memperbolehkanmu berbuat salah.  Aku tak benar-benar sepenuhnya sepakat dengan orang-orang yang beranggapan bahwa memarahi anak adalah sebuah kesalahan.  Bahwa bentuk rasa sayang harus diungkapkan dengan kelemahlembutan. Tapi, aku juga tahu bahwa aku takkan pernah bisa secara sengaja menyakitimu.  Jadi, ketika kau berbuat sesuatu yang menurut standar nilai yang sedang kuajarkan padamu adalah sebuah kesalahan, aku merasa perlu memarahimu.  Itu adalah bagian dari tugasku mengajarimu.

Hafshah Zi, percayalah, aku memarahimu bukan semata karena aku perlu mengungkapkan rasa kesal atau emosi.  Ada banyak cara lain untuk melakukan itu, tak harus dengan mengorbankanmu.  Aku memarahimu sebab kau perlu tahu bahwa setiap tindakanmu memiliki konsekuensi yang harus kau tanggung sendiri.  Kau perlu tahu bahwa tak semua konsekuensi itu menyenangkan.  Itu sebabnya aku memarahimu.

Memang kau nanti mungkin akan menyadari sendiri, tapi aku tak mau berjudi dengan kemungkinan.  Aku ingin kau menanamkan dalam sistem kesadaranmu bahwa konsekuensi tindakanmu mungkin pahit, bahkan meski tindakan itu sendiri tak sepenuhnya salah.  Sebab aku percaya bahwa apa yang sudah ada dalam kesadaranmu takkan lenyap sepenuhnya.

Ada versi lain untuk mengajarimu hal ini, aku tahu.  Tapi aku memilih cara ini karena cara inilah yang menurutku paling berpotensi memberikan hasil, meski juga paling beresiko.  Kau tahu, aku meyakini bahwa tugas utamaku sebagai ayahmu adalah mempersiapkanmu untuk hidup, untuk menjalani hidupmu sendiri, dengan nilai dan caramu sendiri, bukan dengan nilai dan caraku.  Aku juga meyakini bahwa meski kau akan membentuk nilaimu sendiri, dasar-dasarnya harus dipersiapkan olehku.  Pada akhirnya, identitasmu adalah kumpulan pengalaman yang kau filter lewat pemahamanmu.  Filter itulah yang jadi dasar pembentukan semua maknamu.  Oleh sebab itu, aku ingin membantumu memiliki filter yang baik.  Dan cara yang kupilih adalah ini.

Hafshah Zi, saat ini ada dua hal yang ingin kuajarkan padamu.  Dua hal yang kuyakini akan membantumu memiliki filter pembentuk makna yang baik.  Pertama, aku ingin kau ingat bahwa tiap tindakanmu memiliki konsekuensi yang harus kau tanggung sendiri.  Kedua, aku ingin kau sadar bahwa tak semua yang kau inginkan bisa kau dapat.  Aku bukan ingin mengajarimu untuk tidak melakukan sesuatu karena takut konsekuensinya.  Aku ingin mengajarimu untuk memikirkan konsekuensi sebelum bertindak, dan menjalani konsekuensi tindakanmu, sesulit apapun itu.  Aku bukan ingin menyuruhmu untuk tak menginginkan apa-apa, aku ingin mengajakmu untuk berharap dan mengejar mimpimu, sekaligus menjagamu agar tak terlalu kecewa ketika harap itu tak mewujud.

Aku adalah jaring pengaman sementara kau berusaha menyeimbangkan diri meniti tali.  Sebab seperti itulah hidup, kau meniti tali, berusaha menyeimbangkan diri, salah langkah akan menjatuhkanmu begitu keras, mungkin sampai kau tak bisa bangkit lagi.  Karena aku berkewajiban menyiapkanmu untuk menjalani hidupmu sendiri, aku takkan membiarkanmu jatuh hancur sebelum kau siap menjalani hidupmu.  Saat ini, kau bebas meniti tali hidupmu dengan cara apapun yang kau inginkan.  Kalau kau salah langkah dan jatuh, aku akan menangkapmu sebelum kau terhempas.  Tapi, semakin kau beranjak dewasa, jaringku akan semakin mengecil.  Semakin besar kesalahanmu nanti, semakin parah pula akibat yang harus kau derita.  Oleh sebab itu, aku ingin melatihmu meniti tali itu, dengan caramu sendiri, dengan cara yang aman.  Agar nanti, ketika kau harus berjalan tanpa pengaman lagi, kau sudah tahu cara untuk menghindari jatuh yang membuatmu tak mampu bangkit lagi.  Nanti kau pasti akan tetap jatuh, mungkin terkilir, mungkin patah kaki, mungkin patah hati, sebab tali itu memiliki caranya sendiri untuk menjatuhkanmu.  Tapi, ketika kau jatuh, kau akan tetap bisa bangkit lagi.

Itulah bentuk sayangku padamu, Hafsah Zi.  Dan di akhir tulisan ini, aku ingin memintamu untuk tak sepenuhnya mempercayai mereka yang berkata bahwa caraku mengajarimu bukanlah cara yang benar untuk menunjukkan kasih sayang. Kau harus putuskan sendiri siapa yang ingin kau percayai, sebagaimana aku memutuskan cara apa yang kupakai untuk mempersiapkanmu meniti tali.  Terakhir, aku ingin kau menyadari bahwa proses mendidik dan mengajarimu ini juga adalah sebuah pelajaran baru bagiku, dan sebab aku baru belajar, akan ada beberapa kesalahan yang pasti kulakukan.  Aku ingin kau memakluminya sebagaimana aku pasti menjalani konsekuensi pilihanku ini, apapun itu nantinya.

Aku sayang kau, Hafsah Zi.

Monday, October 12, 2015

Aku Bertanya: Kapankah Kita?

Sehabis hujan,
Janji
menyiram jejak-jejak
debu di pekarangan.
          Aku bertanya: kapankah kita?
          Sebab ada ciuman yang tertunda.

Tungguku usai, tapi
Hujan
menguapkan kelabu awan
di langit bintang-bintang.
      Aku bertanya: kapankah kita?
      Sebab rasa ini harus dibagi.

Sehabis hujan,
Dingin
membekukan kenangan tangis
luka di pipi mimpi.
       Aku bertanya: kapankah kita?
       Sebab ada hutang kebersamaan.

Kapankah kita membalas hujan
yang menyuburkan kerinduan?
~memisahkan.

Thursday, October 1, 2015

Teman-teman (1)

Saya senang.  Teman-teman saya sedang senang.  Saya senang sebab teman-teman saya sedang senang.

Salah dua dari mereka menikah.  Saya sebut salah dua sebab keduanya adalah teman saya, dan mereka menikah.  Bagi kalian yang menganggap saya melebih-lebihkan, mungkin kalian benar.  Dalam skala semesta, sebuah pernikahan tidaklah terlalu istimewa; banyak yang telah dan akan menikah, banyak yang berhasil dan banyak yang gagal.  Tak ada satu pun aspek pernikahan kedua teman saya ini yang bisa membedakannya dari beratus juta pernikahan sebelum dan setelahnya.  Tapi, dalam skala pribadi saya, pernikahan mereka istimewa.  
Alasan pertama, keduanya teman dekat saya.  Alasan kedua, circumstances menjelang dan pada hari pernikahan mereka cukup penuh kisah yang membuat pernikahan ini menjadi sebuah kelegaan.  Mereka berkenalan ketika si wanita sedang belajar di luar negeri.  Pertemuan tatap muka mereka mungkin bisa dihitung jari (kalau jari tangan kaki saya tak cukup untuk menghitungnya, saya akan pinjam jari tangan kaki Zia).  Keterpisahan jarak hanya salah satu yang membuat hubungan mereka luar biasa (setidaknya bagi saya).  Ketika ada kesalahpahaman, jarak 6000 km lebih itu tentu menghambat penyelesaian masalah.  Bahkan ketika tak ada masalah pun, jarak sejauh itu tetap menghambat komunikasi. Saya ingat ketika si pria terbaring di ambang sadar di rumah sakit, si wanita sangat kelabakan mengkhawatirkan nasibnya.  Saya juga ingat ketika si wanita sedang sangat sibuk dengan tugas-tugas dari para pengajarnya, si pria mencemaskan kesehatan fisik dan mentalnya.  Ketika si pria mendapat keputusan bahwa ia bisa melanjutkan pendidikan di luar negeri, kerumitan hubungan mereka seketika menjadi sederhana.  Sebuah pernikahan pun berlangsung.  Saya bahagia karena saya tahu mereka bahagia, meski saya sedikit sedih karena saya tahu mereka cukup menyesali ketidakhadiran teman-teman dekat mereka pada hari pernikahan itu.

Tak ada alasan khusus kenapa saya menuliskan tentang ini disini.  Saya hanya ingin mereka tak lupa bahwa saya teman mereka.

About Me

My photo
seorang separuh autis yang memandang dunia dari balik kaca jendelanya. ia duduk diam mengamati,membaca dan menafsir tanda, mencari makna.