Wednesday, April 13, 2016

Normal, Norma, dan Kau

Hafshah Zi, ketika kutulis ini, usiamu baru empat tahun lebih sedikit.  Yang akan kusampaikan disini tentu belum bisa kau pahami.  Tapi, nanti, jika aku ternyata tak sempat mendiskusikan ini denganmu, kuharap kau menemukan tulisan ini.

Akan ada masa dalam hidupmu dimana kau mempertanyakan segala sesuatu tentang dirimu.  Akan ada saat dimana kau mungkin merasa berbeda dari teman-temanmu, dan perasaan itu akan membebanimu.  Jika itu terjadi, aku ingin memberitahumu ini:

Wajar jika kau ingin merasa (atau dianggap) normal.  Tapi, kau harus ingat, normal itu sendiri bisa didefinisikan bermacam-macam.  Normal itu berkaitan dengan norma (coba periksa KBBI atau Mirriam Webster's Dictionary).  Segala sesuatu yang mengikuti norma adalah normal.  Segala sesuatu yang menyalahi norma adalah abnormal.  Pertanyaannya, aturan macam apa yang harus diikuti?

Pada masa kakekmu remaja, pria berambut sebahu, berkumis, mengenakan kemeja dengan dua kancing atas terbuka, kacamata yang hampir jadi kacapipi, dan celana cutbray adalah normal.  Pria yang tak berani memegang tangan wanita adalah wajar, normal. Itu norma yang berlaku ketika itu.  Pada masa itu, gotong royong dan saling bantu adalah normal.  Tapi norma itu makin lama makin terkikis, Hafsah Zi.

Pada masa ketika aku dan bundamu remaja, wanita perokok adalah tidak normal, para penyuka sesama jenis tidaklah normal.  Ada aturan sosial tidak tertulis tentang itu.  Ada norma sosial yang harus dipatuhi agar seseorang bisa dianggap normal oleh lingkungan sosialnya.  Saat kutulis ini, norma sosial telah bergeser berkali-kali.  Para penyuka sesama jenis, wanita yang merokok di tempat umum, pasangan remaja yang bertingkah laku seperti orang yang telah menikah tidak lagi dianggap abnormal oleh sebagian orang (yang jumlahnya makin banyak).  Mungkin ketika kau remaja nanti, semua yang aku anggap normal justru malah jadi abnormal, dan segala yang kuanggap tidak normal malah jadi sesuatu yang wajar.  Norma sosial dibentuk dan diubah oleh lingkungan sosial yang menjalaninya, Hafsah Zi.

Tak ada salahnya kau mengikuti norma sosial yang berlaku di lingkunganmu.  Tapi, aku ingin mengingatkan bahwa norma sosial terbentuk oleh kesepakatan bersama.  Masalah utama demokrasi (dengan sistem suara terbanyak) adalah: kadangkala suara terbanyak bukanlah suara yang paling benar.  Jadi, kita kembali ke pertanyaan tadi, norma seperti apa yang harus kau ikuti?

Saranku, jangan lihat normanya, tapi lihat nilai yang terkandung dalam aturan itu.  Tak usahlah kau memaksakan diri menjadi normal, kalau untuk itu kau harus merusak dirimu.  Lalu, bagaimana kita bisa tahu nilai yang terkandung itu baik atau tidak?  Kau nanti mungkin menyadari bahwa apa yang kau anggap baik, yang kau yakini benar, ternyata tidak seperti itu.  Apa yang harus kita percaya jika ternyata pikiran kita sendiri bisa menipu, bisa keliru?  Jawabanku, percayalah pada sesuatu yang tak mungkin keliru.  Percayalah pada Tuhanmu.

Kurasa, saran terbaik yang bisa kuberi untukmu tentang hal ini adalah: Pelajari norma-norma agama dan definisikan 'normal' mu berdasarkan norma itu. Tapi jangan terjebak pada norma hasil 'interpretasi', sebab seperti kukatakan tadi, pikiran manusia bisa keliru.  Percayalah, ini sangat sulit, Hafshah Zi.  Kau harus mahir berpikir kritis.  Kau harus ahli menganalisis.  Kau harus paham apa yang kau pertanyakan itu.  Mudah-mudahan aku masih sempat mengajarimu semua ini.

Sekali lagi, jika normal berarti mengikuti norma yang entah disepakati oleh siapa saja, norma yang masih kau pertanyakan kebenaran dan kebaikannya, lebih baik kau berbeda saja, lebih baik kau dianggap tidak normal.  Meski itu berarti kau akan sulit berfungsi dengan baik di lingkungan sosialmu, tak apa.  Yakinlah bahwa ada lingkungan lain yang sepikiran denganmu.  Kalau tak ada, mungkin kau bisa membentuk sendiri lingkungan baru.

Menjadi normal adalah mengikuti norma.  Kau hanya perlu ingat bahwa kau tak harus mengikuti norma yang diikuti oleh orang lain, kecuali jika norma itu tak bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsipmu.

Hafshah Zi, mari kita berdoa, semoga aku masih punya waktu untuk mengajari dan membimbingmu,

Aku sayang kau, selalu.

6 comments:

  1. Marvelous! I love the way you write it. Tentang berusaha menjadi 'normal', sesuatu yang paling membuat saya muak berada di lingkungan saya sekarang.
    Tulisanmu sudah sedikit membuka jalan saya yang buntu, cukup menarik.

    I wish your daugh could find this note, and
    How lucky is she to have a nice father. :))

    That's all

    ReplyDelete
  2. Thanks a lot. I'm just trying to share what I think is important. Glad that you like it. :D

    ReplyDelete
  3. Yes this is true, this is exactly what my parents taught me about. Hope hafsah zi read this too bang. :D

    ReplyDelete
  4. Yes this is true, this is exactly what my parents taught me about. Hope hafsah zi read this too bang. :D

    ReplyDelete
  5. Tulisan ini begitu natural. Pesan yang ingin disampaikan mudah dicerna dengan baik. Apalagi dipermanis menjadi pesan masa depan dari seorang Ayah ke Putrinya. It is so wonderful. I hope you write like this way, again. I am so enjoy with it.

    ReplyDelete

About Me

My photo
seorang separuh autis yang memandang dunia dari balik kaca jendelanya. ia duduk diam mengamati,membaca dan menafsir tanda, mencari makna.