Tuesday, May 27, 2014

(tanpa judul)

Ia berjalan(-jalan) sendirian
mencari persimpangan
sebab ia ingin kembali
menghayati pilihan: menikmati hujan dan mengingat awan

Ia tak perlu mata di belakang kepala untuk tahu jejaknya mengejar, menjadi konsekuensi, meski mereka telah terkonversi sebagai memori.

Ia masih berjalan(-jalan)
sebab ia tak punya pilihan
di langit sana, matahari terlalu terang
dan ia sendirian.

Monday, May 19, 2014

Saya Pelupa, Akut.

Saya pelupa. Akut. 

Tadi pagi, saya mendapat sebuah gagasan yang niatnya akan saya tuliskan disini.  Sambil menghabiskan kopi, saya merancang dan menyusun kerangka tulisan tersebut.  

Kopi saya habis. Saya berjalan menuju komputer tempat saya bisa menuliskan gagasan saya.  Tiba-tiba, otak saya memikirkan satu hal lain yang sama sekali tidak berkaitan dengan gagasan tadi.  Dan saya melupakan semua yang telah saya susun dalam pikiran.

Sudah lebih dari lima jam saya menanti gagasan itu teringat kembali.  Tapi sepertinya ia sudah menghilang entah kemana.  Sayang sekali tadi saya tidak membawa buku wasiat dan pulpen andalan ketika ngopi.  Saya bahkan tidak ingat tentang apa gagasan itu tadi.  Saya rasa, ia takkan kembali dalam waktu dekat.  Tapi setidaknya saya masih bisa menulis tentang ini.

Selamat sore.

Sunday, May 18, 2014

Menonton Mia

Nama Femia Yamaniastuti (jamaniastoeti.blogspot.com) bagi saya selalu identik dengan pentas teater.  Bukan apa-apa, adik saya satu ini memang mengaktifkan diri menggeluti dunia keteateran sejak pertama saya mengenalnya bertahun-tahun lalu.  Ketika ia masih berstatus mahasiswa, ia terlibat aktif di UPT Teater Lakon (mudah-mudahan saya tak salah menulis nama, sebab saya tak yakin nama organisasi tersebut berubah atau tidak), sebuah organisasi teater di lingkungan Universitas Pendidikan Indonesia.  Di Teater Lakon, ia setidaknya aktif selama tiga tahun.  Tahun pertama, sebagai anggota baru, ia terlibat dalam pementasan di tingkat kampus sebagai pemain.  Tahun kedua, ia terlibat sebagai salah satu tim produksi (kalau saya tak salah, ia saat itu menjadi penata kostum).  Tahun ketiga, ia menjadi sutradara.  

Sebagai kakak, saya merasa wajib mendukung dan mengapresiasi usahanya untuk menjadi bermakna.  Sebab itulah saya selalu menyempatkan diri menonton pementasan yang melibatkan dirinya (sejauh saya bisa melakukannya).  Karena ia selalu berbaik hati menyediakan free-pass bagi saya, dan karena waktu itu saya memang berdomisili di kampus, maka saya tak pernah melewatkan undangannya untuk menonton pementasan.  Secara pribadi, saya menyenangi sastra dan seni, tapi saya tidak bisa menyebut diri sebagai penggemar seni teater.  Saya hadir dalam pertunjukan-pertunjukan tersebut semata-mata untuk menonton Mia, menunjukkan bahwa saya mendukungnya (dan jika saya ternyata mendapatkan suguhan tontonan yang memperkaya dan bisa dinikmati, itu saya anggap sebagai bonus).  Meski demikian, ketika ia ada di panggung, saya tidak melihatnya sebagai Mia, tapi sebagai salah satu bagian dari sebuah gambar besar berupa pertunjukan teater tersebut.  Dengan demikian, saya bisa fokus pada jalan cerita dan pementasan tersebut secara keseluruhan dan kedatangan saya tidak menjadi sia-sia.

Saya masih menyimpan beberapa potongan tiket pertunjukan Mia, beberapa lainnya hilang entah kemana.  Nyonya-Nyonya, adalah pertunjukan yang disutradarainya pada tahun 2010.  Kemudian ada Umang-Umang, sebuah pertunjukan kolosal yang sangat mengesankan.  Yang lainnya, saya lupa judulnya.  Beberapa sangat bisa saya nikmati, beberapa biasa saja.  Tapi saya tetap ada di sana untuk mendukung Mia.

Mia dulu sempat saya juluki wanita dengan seribu wajah.  Bukan topeng, tapi wajah.  Sebab ketika ia mengubah gayanya sedikit saja, apalagi ketika ia ada di panggung pementasan, auranya akan berubah.  Saya tak bisa menjelaskan apa yang saya maksud dengan lebih rinci, tapi auranya memang berubah.  Ia seolah menjadi seorang lain yang hanya saya kenal samar-samar.  Tapi bukan itu yang paling saya kagumi dari Mia, melainkan kekeraskepalaannya (jika kata ini terkesan negatif, Anda bisa mengubahnya menjadi 'dedikasi').  Ia salah satu makhluk yang saya ketahui memiliki keinginan kuat dan tak takut untuk mewujudkan keinginan tersebut.  Bisa dibilang hampir tak ada yang mampu menyurutkan semangatnya ketika ia telah memutuskan sesuatu.  Bahkan, demi kecintaan pada dunia yang dipilihnya itu, kuliahnya sempat sedikit terganggu.  Tapi tak lama, karena sekarang ia telah menyandang tiga huruf di belakang namanya.

Setelah lepas dari Teater Lakon, Mia bergabung dengan Mainteater (mudah-mudahan saya tak salah tulis).  Dunia teater dan pementasan sepertinya telah dijadikannya darah yang mengaliri nadi.  Ia bahkan sempat hijrah ke Bone selama beberapa bulan untuk sebuah proyek pementasan.  Sepulangnya dari Bone, ia kembali tidak hanya membawa kisah mengenai dunia teater dan perjuangannya, tapi juga  membawa sebuah kisah cinta (yang tak akan saya bahas disini karena tidak relevan). Beberapa tahun terakhir ini, saya jarang sekali bertemu Mia.  Bahkan kami sempat putus komunikasi selama beberapa lama.  Tapi saya tetap menganggapnya adik.  Ia adalah salah satu Mahmoud yang paling sibuk.  Yang bisa menyaingi kesibukannya hanya Black.  Bahkan, sekembalinya ia dari Bone, hanya dua kali saya bertemu Mia, pada sebuah pertemuan mendadak di sebuah warung kopi dan pada acara mensyukuri hari lahir Zia (dibandingkan dengan frekuensi pertemuan saya dengan para Mahmoud lainnya, ini sangat sedikit sekali).  Setelah kembali dari Bone, saya kira ia akan beristirahat sejenak dari kegiatannya berteater.  Namun ternyata tidak demikian.  Ia langsung terlibat dalam sebuah proyek pementasan naskah Cakar Monyet (yang sempat saya tonton juga).  Setelah mementaskan Cakar Monyet di Jakarta, ia kembali terlibat dalam penggarapan sejumlah pementasan.  

Ada banyak hal yang saya pelajari dari perjalanan Mia.  Salah satunya, untuk sebuah pementasan berdurasi satu sampai dua jam, dibutuhkan latihan berbulan-bulan.  Ini selalu mengingatkan saya bahwa kita tak bisa menilai sesuatu dari apa yang kita lihat saja, tanpa mengetahui latar belakang atau apa yang ada dibaliknya.  Kita tak boleh serta-merta meremehkan seseorang atau sesuatu hanya berdasarkan apa yang kita lihat atau dengar.  Mungkin saja di balik apa yang kita lihat atau dengar selama beberapa saat itu telah ada usaha dan perjuangan sangat keras atau sebuah proses yang sangat panjang.  Intinya, saya jadi selalu teringatkan untuk tidak menilai segala sesuatu dari hasil, melainkan dari prosesnya.

Demikianlah, menonton Mia bagi saya berarti mengingatkan diri untuk duduk diam menikmati pertunjukan.  Penonton tidak berhak protes atas tontonan yang disajikan (di atas panggung maupun dalam kehidupan), sebab penonton bukan pemain.  Kalaupun seorang penonton tidak puas atas apa yang ditontonnya, ia tidak berhak menghakimi pemain, sebab ia tak merasakan apa yang dirasakan oleh pemain tersebut.  Mudah-mudahan kalian mengerti maksud saya.  

Siang tadi, saya menerima sebuah undangan lagi dari Mia untuk menonton pementasan naskah berjudul Reformasi yang digarap oleh Teater Tarian Mahesa (semoga saya tak salah tulis) pada tanggal 21 Mei 2014 pukul 19.30 di kebun seni (pelataran kebun binatang Bandung).  Apapun pertunjukannya, menonton Mia akan selalu menyenangkan sebab, selain kesempatan untuk bertemu muka  dan saling sapa, selalu ada yang bisa saya pelajari dari tontonan tersebut, bahkan meski Mia hanya terlibat di belakang panggung.

Selamat sore.  


MLTR- Nothing to Lose

There are times when you make me laugh
there are moments when you drive me mad
there are seconds when I see the light
though many times you made me cry

There's something you don't understand
I want to be your man

Nothing to lose
your love to win
hoping so bad, that you'll let me in

I'm at your feet
waiting for you
I've got time and nothing to lose

There are times when I believe in you
these moments when I feel close to you
there are times I think that I am yours
though many times I feel unsure

There's something you don't understand
I want to be your man

Nothing to lose
your love to win
hoping so bad, that you'll let me in

I'm at your feet
waiting for you
I've got time and nothing to lose

I'll always be around you
keep an eye on you
'cause may patience is strong
and I won't let you run
'cause you are the only one

Nothing to lose
your love to win
hoping so bad, that you'll let me in

I'm at your feet
waiting for you
I've got time and nothing...

Saturday, May 17, 2014

Kebetulan

Otak saya sedang menolak untuk diajak melakukan perenungan mendalam.  Ia sedang lelah.  Saat ini ia hanya mau dan mampu menghubungkan titik-titik dan potongan-potongan konsep di level yang paling superficial.  Keterhubungan pada tataran bentuk.  Ia sedang tidak dalam kondisi prima untuk menelaah hubungan pada tataran esensi. Jadi, saat ini, saya hanya akan menuliskan sejumlah hal remeh-temeh yang kebetulan mampir di pikiran saya sejak beberapa hari kemarin.

Menurut saya, konsep kebetulan (coincidence) merupakan salah satu konsep yang muncul dari kebutuhan manusia akan makna (kebutuhan untuk memaknai).  Manusia merasa perlu memberikan makna dan menghubung-hubungkan agar tercipta suatu gambaran besar karena manusia memerlukan makna dan kerangka untuk memahami pengalamannya.  Ketika ada sejumlah kejadian acak yang setelah difilter ternyata bisa dianggap memiliki hubungan (se-arbitrer apapun hubungan itu) oleh pikiran, konsep kebetulan pun menjelma.

Ada tiga definisi kebetulan dalam KBBI: 1. tidak dengan sengaja terjadi, 2. tepat atau kena benar (dengan tidak sengaja); misalnya dalam kalimat 'Ia kebetulan sedang keluar ketika rumahnya kebakaran,' dan 3. keadaan yang terjadi secara tidak terduga.  Dari ketiga definisi ini, kita bisa menyimpulkan bahwa suatu kejadian bisa dikategorikan sebagai kebetulan jika tidak ada unsur kesengajaan dan/atau perencanaan (ekspektasi) manusia yang mengalaminya.  

Saya sendiri lebih senang mengartikan kebetulan dari kata bahasa Inggrisnya, coincidence.  Kita bisa melihat kata ini sebagai kata bentukan dari co-incident atau coincide.  Keduanya memiliki makna yang kurang lebih sama.  Yang pertama, co-incident, maknanya  adalah suatu kejadian yang terjadi bersamaan dengan atau menyertai (co-) suatu kejadian (incident) lain. Sementara yang kedua, coincide, bermakna: menempati posisi atau area yang sama pada suatu ruang atau waktu.  Di sini, yang menjadi penekanan adalah pada adanya dua hal (atau kejadian) yang terjadi pada waktu atau ruang yang sama, bukan pada unsur kesengajaan pihak-pihak yang terlibat pada kejadian tersebut.  Saya lebih menyenangi definisi yang ini karena penekanannya pada kejadian tidak menihilkan kemungkinan keterlibatan kesengajaan (pola/rancangan/peta/kerangka) pihak yang lebih besar (yang dalam keyakinan saya adalah Tuhan).

Kebetulan, ada sejumlah kebetulan yang saya amati pada beberapa hari kemarin:

1. Saya sedang memperkenalkan Zia pada Purnama, kebetulan, pada purnama bulan ini, saya bertemu kembali dengan seseorang yang saya identikkan dengan purnama pada referensi memori saya.  

2. Saya sedang memikirkan dan merumuskan gagasan tentang intertekstualitas semesta (saling keterhubungan dalam skala yang lebih besar) semalam.  Kebetulan, ketika saya sedang menonton salah satu serial tv, salah satu tokohnya menguraikan gagasan yang sama (Jemma Simmons dalam Marvel's Agents of S.H.I.E.L.D mengutip hukum pertama termodinamika, mengenai energi yang tidak hilang melainkan hanya berubah).

3.  Saya sedang benar-benar meyakini konsep karma-dharma, yin-yang, keseimbangan semesta, yaitu bahwa semesta selalu berusaha kembali ke keadaan seimbang.  Kebetulan, ketika saya mengobrol dengan sejumlah teman, keyakinan saya dipertegas oleh sebuah bukti cerita yang muncul secara tiba-tiba.

4.  Akun Wifi yang biasa tim saya gunakan di tempat kerja tiba-tiba bermasalah dan tidak bisa digunakan lagi.  Kebetulan, istri saya baru mengaktifkan paket internet dengan menggunakan salah satu provider yang kebetulan memberikan sebuah akun wifi baru yang bisa saya gunakan di tempat kerja.

5.  Saya sudah dua hari pulang terlalu malam, sehingga ketika tiba di rumah, Zia sudah terlelap dan saya tidak sempat membacakannya cerita.  Tapi, kebetulan, dua malam ini ia mengigau dan dalam kondisi setengah sadar ia meminta saya membacakan buku favoritnya.  Ketika cerita telah melewati bagian yang ia senangi, ia pun terlelap kembali tanpa basa-basi.

Mungkin masih ada sejumlah kasus kebetulan lain yang sempat saya lihat, tapi saat ini otak saya tidak bisa mengingat selain yang sudah saya tuliskan diatas.  Jadi, saya kira sekian saja.  Kebetulan, sudah mulai banyak pengunjung lagi yang harus saya layani.

Selamat siang.

Friday, May 16, 2014

Over (another) Coffe

Semalam, Mahmouds kembali berkumpul. (Mahmouds adalah sebuah nama yang dipilih secara acak berdasarkan celetukan yang dulu sering kami keluarkan, oleh saya nama itu kemudian dijadikan singkatan dari 'merely a human motivated on useful deeds' agar memiliki makna. Demikianlah saya dan teman-teman menyebut keluarga kecil kami dengan harapan kami bisa benar-benar berguna.)  Kemarin, saya memang sedang suntuk, jadilah saya menggulirkan sebuah rencana dengan tujuan akhir agar saya bisa mengobrol bersama teman-teman.  Saya mulai dengan mengabarkan kepada Citra bahwa saya sudah mengunduh episode terbaru dari beberapa serial tv yang sama-sama kami ikuti.  Saya tahu bahwa Citra pasti akan ingin segera menontonnya dan karena Citra bekerja, ia pasti akan meminta suaminya, Gege, untuk menjemput file-file tersebut ke tempat saya bekerja.  Saya sudah cukup kenal Gege untuk tahu bahwa ia enggan bepergian sendirian, dan saya tahu ia pasti akan mengajak serta Oom Arun.  Saya sudah cukup hapal pola dan mekanismenya, keberadaan Oom pasti akan mengundang Tew juga.  Selebihnya, tinggal menghubungi Erin dan Mia.  Jadilah semalam kami berkumpul, saya, Dilla, Gege, Oom, Tew, dan Erin, serta Nurul yang dibawa oleh Oom.  Citra tak ikut karena bekerja, Mia sedang membereskan kegiatan teaternya, Black lupa saya kabari.

Pada pertemuan terakhir, saya menginisiasi sebuah usaha untuk memunculkan kembali komunikasi yang berkualitas.  Saya mengajak teman-teman untuk sama sekali tidak memeriksa telepon pintar kami ketika kami berkumpul, kecuali jika jelas bahwa ada yang menghubungi. Saya tidak mau kami benar-benar total mengabaikan perangkat komunikasi tersebut karena saya tahu beberapa dari kami sangat mengandalkan device guna kepentingan usaha.  Jika memang ada telepon masuk dan kami abaikan, saya tak mau itu berakibat fatal.  Jadi kesepakatannya adalah, semua perangkat diletakkan di meja dan dibiarkan.  Orang pertama yang memeriksa perangkatnya (tanpa indikasi jelas bahwa ada yang menghubunginya lewat perangkat tersebut) harus membayar setengah dari jumlah bill kami semua.  Saya merasa perlu melakukan ini bukan hanya untuk memperoleh kualitas obrolan, menikmati kebersamaan kami, tapi juga untuk mencegah diri sendiri agar tidak terjebak ke dalam tren terkini dimana memeriksa device setiap beberapa menit merupakan sebuah norma.

Obrolan-obrolan kami semalam adalah obrolan ringan.  Sekedar menghabiskan malam bersama teman-teman dan melepaskan penat dalam pikiran.

Pada akhir pertemuan, saya mendapat sebuah kabar.  Karma, yaitu balasan atas suatu tindakan yang mungkin (mungkin juga bukan) merupakan konsekuensi langsung tindakan tersebut (bahkan seringkali justru tidak ada korelasi antara tindakan dengan pembalasan tersebut), terjadi.  Ini definisi karma menurut saya. Menurut KBBI, karma adalah 1. perbuatan manusia ketika hidup di dunia dan 2. hukum sebab akibat. Saya tak mau menceritakan rinciannya karena ini adalah kisah orang lain yang sifatnya (menurut saya) teramat sangat pribadi.  Tapi inti dari ceritanya adalah ini, ia yang mengirimkan luka pada gilirannya memperoleh luka, dan kami, para penyaksi, memperoleh tawa.  (Tawa memang bukan reaksi dewasa pada kasus ini, tapi saya tak peduli.  Saya tertawa bukan karena ia luka, saya tertawa karena ironi semesta selalu lucu dan sebab keyakinan saya benar: kita tak perlu melakukan apa-apa untuk membalas seseorang, cukup diamkan saja. Semesta akan membalasnya untuk kita.) Semoga ia belajar dari apa yang ia alami.

Kopi malam tadi bisa membuat kepenatan saya sejenak mereda.  Masih akan ada lagi, saya tahu, tapi untuk saat ini, cukup dulu.

Selamat siang.

Wednesday, May 14, 2014

Bahagia Pinjaman dan Masa Lalu

Selamat sore,

Saya sudah cukup dewasa untuk tahu bahwa apa-apa yang pribadi harus disimpan dekat hati dan ranah publik adalah untuk ide-ide yang berguna saja.  Tapi untuk kali ini, biarkan saya berbagi.

Saya adalah salah satu yang hidup di masa lalu.  Maksudnya, semua makna diri saya telah saya masukkan ke mesin waktu dan saya tinggalkan disana, pada titik itu.  Saya kuburkan pada titik ketika saya memutuskan untuk maju.  Sejak titik itu, makna diri saya tak lagi ada, saya tak lagi berarti apa-apa bagi diri saya sendiri.  Saya mungkin berarti bagi orang lain, bagi dunia, bagi sesuatu yang ada di luar diri saya, tapi tidak bagi diri saya.  Saya memilih seperti ini sebab saya lebih bahagia seperti ini, mencangkokkan kebahagiaan diri pada kebahagiaan orang lain, bahagia pinjaman dari orang-orang yang memang berarti.

Saya tak pernah lagi peduli pada kebahagiaan diri sendiri, sebab saya merasa bahwa diri saya tidaklah penting bagi skema keseluruhan semesta ini.  Saya masih ada hanya untuk berusaha membahagiakan mereka yang saya anggap pantas bahagia.  Berusaha berkontribusi pada semesta dengan berusaha membantu mereka.  Mungkin yang saya lakukan tetap sama sekali tak berarti bagi semesta, tapi setidaknya saya bisa bahagia ketika saya bisa membantu mereka untuk tersenyum.  (Mereka disini adalah segelintir orang yang kebetulan saya temui dalam perjalanan saya dan kebetulan sedang berada dalam masalah. Sebab saya merasa bahwa dunia sudah cukup banyak masalah, saya berusaha meringankan masalah mereka.  Dan sebab saya paling tidak bisa melihat mata yang luka, apalagi jika mata itu saya kenal.)

Saya hidup dalam masa lalu.  Dan kebahagiaan sejati saya berada pada para masa lalu itu.  Masa lalu yang saya simpan dalam kotak memori.  Dan tidak ada yang lebih menghancurkan saya daripada ketidakmampuan untuk membantu mereka mencapai bahagia, apapun definisi bahagia bagi mereka.

Tuesday, May 13, 2014

Tentang Pertanyaan dan Pilihan

Beberapa waktu lalu saya mendengar dua pertanyaan yang diajukan oleh dua orang berbeda.  Terlepas dari kepada siapa pertanyaan itu diajukan (sebenarnya lebih ditujukan kepada semesta, saya rasa), saya merasa tertarik untuk memikirkan jawabannya.

1. Dari mana romantisme itu seharusnya bermula?

Saya berusaha merumuskan jawaban untuk pertanyaan ini, meski saya masih belum bisa mengatakan bahwa saya berhasil menemukannya.  Ini adalah salah satu fenomena yang sulit dijelaskan, hanya bisa dialami.  
Dari apa yang saya baca, (for references to what i read, just google the key words 'what happens when we fall in love') pada dasarnya kita jatuh cinta untuk meneruskan kelangsungan keberadaan kita.  Singkatnya, proses terpesona, jatuh cinta, dan mencintai adalah bagian dari rantai reproduksi manusia yang memiliki tujuan akhir untuk mempertahankan kelangsungan hidup spesiesnya.  
Meski demikian, manusia adalah makhluk yang berpikir dan memerlukan konseptualisasi untuk memahami pengalamannya.  Maka, proses yang sejatinya bersifat teknis praktis dan biologis tersebut perlu diberikan sentuhan romantisasi agar bermakna lebih dari sekedar bagian pengalaman reproduksi.  Inilah yang melahirkan konsep 'jatuh cinta', 'romantisme', 'hubungan romantis', 'hubungan bermakna', dan sebagainya.
Ketika muncul pertanyaan dari mana romantisme itu seharusnya berawal, maka kita perlu menelusuri proses ini (baik dengan bumbu romantisme maupun tidak) sampai ke awalnya.  Ada tiga proses atau tahap yang umumnya dialami ketika seseorang jatuh cinta; ketertarikan (attraction), keterikatan (attachment), dan komitmen (commitment).  Masing-masing tahap ini memiliki level keterlibatan emosi dengan tingkat kedalaman berbeda-beda.  Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu mengamati proses ini di level yang paling awal, yaitu ketertarikan.
Kenapa kita tertarik (suka) pada seseorang lebih dari orang lainnya?  Apa sebenarnya yang membuat kita 'suka'?  Jawabannya, menurut para ahli psikologi dan ahli perilaku serta ahli hormon, berada pada tataran bawah sadar pikiran kita.  Pengalaman dan proses pertumbuhkembangan kita baik secara fisik maupun emosional pada akhirnya akan memunculkan sebuah peta atau kerangka (template) mengenai pasangan ideal.  Kerangka ini, dan proses pembentukannya, mungkin kita sadari mungkin juga tidak, tapi ia ada.  Sebagian besar psikolog sepakat bahwa kita mendasari pembentukan kerangka ideal partner ini pada figur orangtua atau sosok dominan yang dekat dengan kita pada masa kecil.  Mereka menyederhanakan faktor-faktor pembentuk ini menjadi tiga unsur utama: penampilan (appearance), kepribadian (personality), dan hormon (lebih spesifik lagi, hormon feromon).
Mengenai penampilan, para peneliti menemukan bahwa kita cenderung tertarik pada orang yang penampilannya mengingatkan kita pada orangtua kita (atau sosok dominan masa kecil) atau bahkan pada diri kita sendiri.  Secara bawah sadar, ketika kita melihat seseorang di kerumunan orang, kita secara otomatis menganalisis fitur-fitur penampilannya dan membandingkan dengan fitur-fitur yang kita akrabi (entah dari orangtua, sosok dominan, maupun dari diri kita sendiri).  Semakin banyak fitur yang kita  kenali, akan semakin tertarik pula kita kepada orang tersebut.
Hal yang sama juga berlaku untuk kepribadian (personality).  Semakin banyak sifat (termasuk didalamnya sense of humor, kesukaan dan ketidaksukaan, selera musik, dsb) yang kita akrabi, semakin cocok orang tersebut dengan template yang kita  miliki, dan akan semakin menarik pula ia bagi kita.
Faktor ketiga yang bersifat hormonal, mempengaruhi kerangka pasangan ideal kita dengan cara yang sedikit berbeda.  Meski masih ada sejumlah perdebatan mengenai keterlibatan feromon dalam proses 'jatuh cinta', tapi saya rasa ini perlu disebutkan disini.  Feromon (pheromone) adalah hormon yang secara literal berarti pembawa ketertarikan (excitement carrier, dari bahasa Yunani pherein dan hormone).  Zat ini merupakan semacam sidik bau (bayangkan sidik jari tapi berupa aroma) yang membantu hewan dan manusia menentukan mana individu yang paling cocok untuk dijadikan pasangan berdasarkan perbedaan tingkat dan jenis kekebalan tubuhnya.  Individu yang memiliki sistem imun tubuh yang cukup berbeda dengan sistem imun tubuh kita akan lebih menarik.  Hal ini merupakan salah satu rancangan alam untuk memastikan bahwa suatu spesies memiliki kemungkinan besar untuk memperoleh keturunan yang sehat, karena sistem imun kedua orangtuanya cukup beragam.  Feromon tidak berbau, tapi organ penciuman kebanyakan hewan dan manusia (meski tidak semua) memiliki veromonasal organ, yaitu organ di dalam hidung yang mampu mendeteksi feromon.  
Ketiga hal inilah yang mempengaruhi ketertarikan kita pada seseorang.  Ketertarikan ini kemudian akan memunculkan keterikatan (attachment) jika ditindaklanjuti, yang pada gilirannya akan berkembang menjadi sebuah hubungan berkomitmen (commitment) ketika kedua individu yang terlibat memutuskan  demikian.
Kembali ke tujuan semula.  Untuk menjawab pertanyaan darimana romantisme seharusnya bermula, kita perlu mendefinisikan dulu kata 'romantisme'.  Jika Anda mendefinisikan kata 'romantisme' pada pertanyaan ini sebagai hubungan yang didasari cinta antara dua individu manusia, maka pemaparan saya diatas bisa menjawab pertanyaan ini.  Romantisme itu bermula dari kerangka mengenai pasangan ideal yang tersimpan di alam bawah sadar pikiran manusia dan dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang bertujuan untuk memastikan keberlangsungan hidup spesies manusia.  Jika Anda mendefinisikan 'romantisme' sebagai sesuatu yang lain, maka maaf, penjabaran dan pendekatan yang saya gunakan dalam tulisan ini tidak bisa memberi jawaban untuk Anda.

2. Kenapa kita tidak bisa memilih pada siapa kita jatuh cinta?

Ini juga pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab.  Berdasarkan pada pemaparan saya untuk pertanyaan pertama, pada dasarnya kitalah yang memilih kepada siapa kita jatuh cinta.  Hanya saja, kita memang tidak bisa mengendalikan atau menentukan pilihan tersebut.  Bingung?  Paradoksal memang, tapi biar saya jelaskan.  Sederhananya, konsep kendali adalah konsep yang berada pada tataran sadar, yaitu kemampuan otak dan tubuh untuk menentukan arah suatu objek yang berada diluar dirinya.  Memiliki kendali berarti memiliki kemampuan untuk menentukan arah objek tersebut.  
Dengan kerangka  pemahaman bahwa jatuh cinta merupakan bagian dari rangkaian proses reproduksi manusia, maka sejatinya yang memilih kepada siapa kita jatuh cinta memang adalah diri kita sendiri, berdasarkan template bawah sadar yang kita miliki (seperti yang saya  paparkan di atas).  Tahap ketertarikan kemudian akan berevolusi menjadi keterikatan ketika emosi yang terlibat semakin besar dan dalam.  Pada tahap keterikatan ini (attachment) yang menjadi pemeran utama masih diri kita sendiri, dalam artian bahwa terlepas dari apakah objek ketertarikan kita balas menyukai kita juga atau tidak, emosi kita telah tumbuh ke level yang lebih dalam, yaitu level dimana kita merasa (kebahagiaan) kita terikat pada objek tersebut.  Jika ada respon dan kesepakatan dengan objek rasa suka kita, maka tahap keterikatan mungkin bisa berkembang ke level selanjutnya, yaitu komitmen.
Kenapa kemudian muncul anggapan bahwa kita tidak bisa memilih kepada siapa kita jatuh cinta, saya rasa jawabannya adalah jelas.  Kita memilih berdasarkan kerangka bawah sadar, dan kerangka tersebut terbentuk diluar kendali kita.  Kerangka ini muncul dan berubah berdasarkan rangkaian pengalaman yang terinternalisasi oleh pikiran bawah sadar kita sejak kecil hingga seterusnya.  Karena bukan pikiran sadar kita yang membentuk kerangka ini, maka kesan yang muncul di pikiran sadar adalah kita tidak memiliki kemampuan untuk menentukan kepada siapa kita jatuh cinta.  Ini sebenarnya hanya salah satu ilusi pikiran.  Jika kita mau bercermin  dan merefleksi, niscaya kita akan sadar bahwa kita tidak perlu seratus persen mempercayai apa yang dikatakan oleh pikiran sadar kita dan lebih meyakini serta menerima apa yang ditawarkan oleh alam bawah sadar kita.  Kita yang memilih pada siapa kita jatuh cinta, meski memang bukan kita yang mengendalikan pilihan tersebut.  
Saya rasa, pemaparan ini bisa sekaligus menjawab (menjelaskan) kemunculan konsep 'jodoh di tangan Tuhan'.  Intinya, alam bekerja sedemikian rupa untuk membentuk suatu kerangka bagi diri kita guna menentukan pilihan kepada siapa kita akan jatuh cinta (bahasa teknisnya: siapa yang paling cocok untuk dijadikan pasangan dalam meneruskan kelangsungan hidup manusia), dan karena alam selalu bekerja dalam kerangka yang lebih besar dari satu individu manusia, kita tidak selalu bisa memahami dan menyadari kekuatan yang menggerakkan kita atau tujuan pergerakan tersebut.

Demikianlah usaha saya untuk menjawab dua pertanyaan yang saya dengar diajukan (mungkin kepada semesta), dengan harapan mudah-mudahan apa yang saya sampaikan tidak terdistorsi oleh cara penyampaian yang membingungkan.  

Sebagai penutup, jangan menganggap apa yang Anda baca disini sebagai kebenaran (atau bahkan sebagian benar) karena hidup tidak bisa dikondensasi lewat satu kerangka saja.  Lihatlah tulisan ini sebagai sebuah cermin, dimana jawaban yang saya tawarkan bisa terpantul sebagai pertanyaan di pikiran Anda.  Terima kasih.

Selamat siang.

Sunday, May 11, 2014

just a quote from a movie

How do you pick up the threads of an old life?
How do you go on, when in your heart you begin to understand
there's no going back.
There are some things that time cannot mend:
some hurts that go too deep, that have taken hold.

--Frodo Baggins, The Lord of the Ring: Return of the King--

Friday, May 9, 2014

Ia Lewat, Tak Sempat Singgah

satu
jatuh
tumbuh
sayap sebelum sampai tanah

dua
luka
patah
ditembus panah

satu (yang sempat pecah jadi seribu)
pilu
menunggu
bekas luka rindu

(tawa tak berarti hilangnya luka;
  luka tak berarti hilangnya tawa;
  hanya, bahagia jadi entah.)

Morning Rituals on script

Act begins.

(Pagi hari.  Setelah jalan-jalan pagi dan memetik sejumlah bunga liar).

Zia:    "Ayah, Bunda mana?" (dengan nada penasaran)
Ayah: "Kan, Bunda kerja... kamu lupa?"
Zia:    "Lupa, Zianya. Hehehehe.... Ayah, lupa Zianya.... Ayah kerja?"
Ayah: "Iya, dong.  Kan Ayah mau mandi, terus ganti baju, terus kerja, deh."

Zia:    "Ayo masak-masakan, Ayaaah."
Ayah: "Jangan pake ngerengek, dong. Ayah ga mau kalo kamu ngerengek."
Zia:    "Ayo, masak-masakan, Ayah."
Ayah: "Sok, ambil kompornya."
Zia:    "Ama Ayah, dong."
Ayah: "Kok ama Ayah?  Ama Zia dong, Ayah kan mau mandi."
Zia:    "Minta tolong, Ayah. Ambilin kompor."
Ayah (sambil mengambilkan kompor mainan di kotak mainan): "Ama apa lagi, Putri Cantik?"
Zia:   "Ama sendok... ama minyak... ama bumbu... ama... apa lagi ya?"
Ayah: "Udah?"
Zia:    "Udah...... Sendoknya jangan yang itu, Ayah."
Ayah: "Yang mana, dong?"
Zia:    "Yang satu lagi, dong."
(Ayah mengambilkan sendok mainan lain.)
Zia:   "Yang ini simpen aja."
(Ayah menyimpan sendok mainan.)
Ayah: "Kamu masak-masak sendiri, ya.  Ayah mau mandi dulu.  Oke?"
Zia:    "Oke."

(Ayah selesai mandi dan ganti baju dengan seragam kerja.  Membawa tas dan kaos kaki.)
Zia:    "Ayah, siniin."
Ayah: "Siniin apa, Putri?"
Zia:    "Siniin... kaos kaki..."
Ayah: "Ini kan punya Ayah, dong.  Kamu pakai punya kamu, dong."
Zia (mengambil kaos kaki yang dibawa Ayah): "Zia pakai ini aja.  Kan mau kerja."
Ayah: "Nggak, dong.  Ayah yang kerja.  Kamu di rumah aja, belajar baca."
Zia:    "Mau ikut Ayah."
(Zia berjalan ke teras dan mengambil sepatu Ayah, kemudian mengenakan kaos kaki dan sepatu tersebut).
Ayah: "Siniin, Putri. Kamu pake sepatu kamu, dong.  Ayah pake sepatu Ayah."
(Zia melepas kaos kaki dan sepatu Ayah kemudian masuk ke rumah, Ayah mengenakan kaos kaki dan sepatu.  Zia kembali ke teras dengan menenteng sepatunya, Ayah bersiap berangkat.)

Zia:    "Ayah, tunggu.... Zia mau ikut kerja."
Ayah: "Ga boleh dong, Putri.  Masa kamu kerja?  Kamu di rumah aja, ya.  Nanti kalo Ayah pulang, kita baca buku lagi. Okay?"
Zia (dengan nada sedih, mengangsurkan tangannya): "salam.... cium dulu. Dadaah, Ayah."
Ayah: "Sini peluk dulu."
Zia: (Sambil memeluk Ayah): "Peluuuuk.  Zia jangan rewel ya. Iya, Ayah."

(Ayah berangkat sambil melambaikan tangan.)

End of Act

Obrolan Angkot (part 2): pria yang memilih diburu

Selamat pagi.

Hari ini saya akan menuliskan lanjutan obrolan angkot yang telah tertunda sekian lama.  Pagi ini, saya duduk di bangku penumpang sebelah sopir.  Tidak benar-benar tepat di sebelah sopir, karena ada seorang pria berusia sekitar awal tiga puluhan di antara kami. 15 menit perjalanan setelah saya duduk disebelahnya, pria tersebut sedang tidur.  Saya rasa ia sedang kelelahan, sebab saya juga sering tidur di angkot, terutama ketika tubuh saya sedang sangat lelah.  Ketika ia terbangun, saya melihat dari spion samping kiri, matanya merah.  Merah dan berkaca-kaca.

Ia melihat saya melihatnya dan berusaha memulai percakapan di antara kami dengan berkata, "Jadi orang Islam ujiannya berat ya, Mas."

Saya tersenyum canggung.  Bukan hanya karena pernyataannya yang sulit ditimpali, tapi lebih karena saya tidak pernah merasa nyaman membicarakan hal yang bersifat teramat sangat pribadi dengan orang yang tidak saya kenal dekat.  Yang terlintas di pikiran saya adalah "Pemilihan topik yang aneh untuk sebuah obrolan ringan."  Untuk menutupi kekurangsopanan saya dan untuk mendorongnya terus bercerita, saya bertanya, "Maaf, mas, gimana?"

"Jadi orang Islam itu ujiannya berat.  Saya sekarang sedang diburu.  Mau dibunuh," ujarnya.

Pikiran skeptis saya kembali beraksi, semacam sistem pertahanan diri otomatis, "Agama, buronan, akan dibunuh?  Teroris?"

Tapi pikiran kritis saya menimpali, "Ini bisa jadi bahan menarik."

Saya menatap matanya yang merah dan berkaca-kaca.  Saya sadar bahwa ia sedang butuh teman untuk mendengarkan ceritanya.  Saya sudah cukup sering mendengarkan cerita orang untuk tahu bahwa ia butuh melepaskan beban yang menyesakkan.  Dan kebetulan kapasitas saya memadai untuk membantunya: sebagai pendengar.  Saya diam, tapi menunjukkan ekspresi bahwa saya siap mendengar ceritanya.

Ia melanjutkan, "Saya sedang dicari oleh keluarga.  Mau dibunuh.  Mereka tidak setuju saya masuk Islam."

"Sampai segitunya, Mas?" ujar saya.

"Iya, saya dari Manado.  Masuk Islam di Salman ITB.  Saya dapat kabar dari adik saya, dua orang, yang kuliah di sini.  Kata mereka, 'Jangan terlalu vokal di Bandung, Bang, abang mau dibunuh.'  Bahkan di rumah, keluarga besar saya sudah memasang karangan bunga di depan rumah.  Di Manado, itu menandakan ada anggota keluarga yang meninggal.  Mereka bukan hanya menganggap saya sudah mati, tapi mereka benar-benar mencari saya untuk dibuat benar-benar mati."

Otak saya berhenti berputar, atau justru berputar lebih cepat, berusaha mencerna ucapannya dan betapa besar makna ucapan tersebut terhadap kehidupannya.  Saya tak bisa berkata-kata selama beberapa menit.  Mungkin ia menganggap kediaman saya sebagai tanda bahwa saya tidak berminat lagi mendengarkannya.  Ia pun diam selama beberapa menit.  Beberapa kali saya berusaha bicara, namun saya tak menemukan kalimat yang cukup tepat untuk mengungkapkan apa yang ingin saya ungkapkan; bahwa saya ikut berduka atas kesulitannya, bahwa saya sungguh berharap ia tak sampai ditemukan oleh keluarganya, dan bahwa saya masih terganggu oleh kalimat pembukanya tadi.  Akhirnya, saya berkata, "Terus, sekarang Mas gimana?"

"Iya, kemarin saya cerita ke Ustadz di Salman.  Beliau menyarankan saya untuk ke pesantren saja.  Segala biaya beliau yang tanggung.  Makanya sekarang saya mau ke Salman."

Dugaan saya benar, ia hanya butuh teman cerita untuk mengeluarkan beban pikirannya.  Saya ingin menanyakan sejumlah hal dan memberinya semangat, namun angkot yang kami tumpangi telah sampai ke tempat dimana saya harus turun.  Saya permisi, mengharapkan ia berhasil, dan turun.  Saya jelas tak tahu dan mungkin takkan pernah tahu kelanjutan cerita pria ini.  Tapi ada banyak hal yang bisa saya pikirkan dari cermin yang ia sodorkan.

Pertama, mengenai kalimat pembukanya, "Jadi orang Islam ujiannya berat."  Yang terutama mengganggu saya dari kalimat ini adalah frase 'jadi orang Islam'.  Saya tahu maksudnya berkata demikian adalah karena masalahnya (ujian yang ia hadapi) muncul setelah dan karena ia memilih jadi orang Islam.  Namun saya tetap merasa tidak bisa menyetujuinya seratus persen.  Menurut saya, jadi  orang manapun, agama apapun, kita akan tetap menghadapi ujian.  Cara ia mengucapkan kalimat ini memberikan kesan bahwa seolah-olah sumber masalah ini adalah agama.  Padahal menurut saya, agama disini hanya pemicu.  Ini adalah masalah keluarga yang berakar pada ketidakmampuan menerima pandangan orang lain dan egoisme kelompok yang merasa dikhianati oleh pilihan salah satu anggota kelompoknya.  Mungkin pria ini tidak bermaksud menyalahkan Islam (atau agama keluarganya) atas ujian yang ia hadapi, tapi saya khawatir ia telah melakukannya secara tidak sadar.  Saya tak sampai hati mengungkapkan pemikiran ini padanya sebab saya tahu pengungkapan itu hanya akan menambah beban pikirannya.  Atau saya yang berpikiran terlalu negatif.

Kedua, mengenai pilihan dan konsekuensi.  Saya selalu kagum pada orang yang memilih dan berani (terlepas dari ia sanggup atau tidak) menghadapi konsekuensi dari pilihannya  tersebut.  Seremeh apapun pilihan, dan sekecil apapun konsekuensi, ketika ia berani memutuskan untuk menghadapi konsekuensi tersebut maka, menurut saya, ia adalah termasuk orang yang hebat.  Tak semua orang memiliki keberanian untuk dengan jantan menghadapi hasil dari apa yang ia tuai.  Banyak orang yang justru menghindar ketika konsekuensi menghampirinya, terutama jika konsekuensi tersebut dinilai 'sulit' dan menyulitkan.  Pria ini secara sadar mengetahui konsekuensi dari pilihannya dan tetap memilih pilihan tersebut.  Bukankah ini sesuatu yang hebat?  Saya bicara terlepas dari apakah pilihannya benar atau tidak (mungkin sebagian orang di luar sana justru menganggap pilihannya salah dan tidak bijak).  Saya bicara tentang keberaniannya memilih meski ia tahu konsekuensi apa yang akan dihadapinya.

Ketiga, mengenai pentingnya memiliki teman.  Ketika ia sudah tidak sanggup lagi menahan atau menanggung bebannya, pria ini sampai bercerita kepada  seseorang yang sama sekali tidak ia kenal, hanya untuk melepaskan sesak yang ia rasakan.  Jika saya melakukan apa yang dilakukannya, maka berarti masalah dan beban saya benar-benar menyesakkan.  Saya tidak pernah bisa menceritakan hal-hal yang bersifat teramat sangat pribadi pada orang-orang  yang tidak saya kenal dekat, apalagi pada orang yang tidak saya kenal sama sekali.  Ini membuat saya berempati kepada pria ini.  Berapa besarkah beban yang dimunculkan oleh keluarganya, hingga ia sampai bercerita kepada orang asing?  Keluarga yang harusnya menjadi pendukung utama tingkah laku seseorang justru menjadi tempat terakhir yang ingin disinggahinya, bahkan untuk sekedar bercerita.  Saya tak tahu apakah ini benar atau tidak, tapi saya rasa fenomena ini makin marak.  Fenomena dimana yang paling jauh dari seseorang, secara emosional, (saya tidak bicara tentang remaja yang memang pemikirannya masih labil dan rebellious) justru adalah keluarganya sendiri.  Betapa malangnya mereka yang mengalami hal demikian.

Ada sejumlah hal lain yang muncul di otak saya dari pengalaman tadi pagi, tapi saya rasa takkan saya tuliskan disini saat ini.  Mereka masih perlu saya olah lagi di benak saya.

Terima kasih

P.S. saya teramat ingin sekali membuat sebuah cerita pendek dari kisah ini, sekedar untuk memberikan akhir yang bahagia pada tokoh utamanya.... andai saja saya bisa.

Wednesday, May 7, 2014

Solar Plexus

Disana, pada simpul antara iga dan diafragma,
Kantung airmata. Tepat di hulu hati.
Berisi nama nama.
Ia tak hangus oleh sejuta bara. Tak koyak oleh seribu sembilu.
Tapi, satu saja nama itu luka, ia kan pecah.

Ketakberdayaan tumpah ruah.
Menjadi bandang gelisah.
Resah yang basah
pada sudut mata. Sesungguhnya:
Tangis adalah permohonan maaf,
sebab aku tak cukup kuat untuk membantu.
Aku hanya bisa ada.
Menjaga do'a agar nama nama tak luka.

Disana, antara iga dan diafragma,
pusat segala rasa. Dengan kau didalamnya.
Bersama mereka.
Dijaga do'a.

Tuesday, May 6, 2014

Kura-Kuraku, Kurasa (bagian pertama)

Aku memelihara kura-kura.  Jika ditanya kenapa aku memelihara kura-kura, aku biasa menjawab, "Karena aku ingin punya hewan peliharaan."  Jika kemudian ditanya lagi, "Kenapa kura-kura?", aku punya sejumlah jawaban standar yang biasa kuberikan.  Pertama, memelihara kura-kura tidak terlalu rumit.  Kura-kura tak berkeliaran kemana-mana karena ia kuletakkan dalam kontainer (semacam tupperware besar) berisi air.  Aku hanya perlu menguras tempatnya (mengganti air) dan memberi makan (mencemplungkan berbagai bahan makanannya begitu saja, mulai dari makanan ikan yang dibeli sampai bangkai kecoa dan serangga besar lainnya) sekali sehari.  Aku hanya perlu memandikannya (menyikat tempurung dan kontainernya) seminggu sekali.  Intinya, alasan pertamaku untuk memelihara kura-kura adalah karena proses pemeliharaannya praktis dan sedikit sekali berkemungkinan mengganggu pihak-pihak lain.

Kedua, kenangan masa lalu.  Pada kemarau panjang pertama yang kualami, aku masih bersekolah di tingkat dasar, kelas lima.  Kemarau tersebut terjadi tepat ketika liburan kenaikan kelas tahun 1995.  Salah satu dampak kemarau panjang tersebut adalah keharusan untuk menggali sumur baru.  Di keluarga (alm.) pamanku, tempat aku selalu menghabiskan liburan sekolah, penggalian sumur ini dilakukan di kebun keluarga.  Pada masa itu, kami memiliki sebuah kebun yang cukup luas yang kami tanami kacang tanah, ubi, dan jagung.  Aku tidak ingat rincian proses penggalian sumur baru tersebut.  Yang aku ingat hanya sejumlah kejadian yang memang menonjol.  Pertama, aku ingat kekesalan para sepupuku yang bertugas menggali sumur.  Meski sudah digali sangat dalam, airnya masih belum ada juga.  Ketika akhirnya airnya mulai muncul, air tanah tersebut ternyata payau.  Kedua, pada hari ketiga penggalian, kami menemukan lima ekor kura-kura air tawar (di daerahku dikenal dengan julukan kura-kura bakau atau kura-kura sungai, sejenis dengan yang dikenal sebagai kura-kura Brazil di Bandung).  Demikianlah, aku memiliki peliharaan pertama berupa seekor kura-kura.  Tak lama, (alm) pamanku memutuskan untuk melepaskan kelima ekor kura-kura tersebut kembali ke alam.  Salah satu alasannya adalah karena aku masih terlalu kecil (terlalu kekanak-kanakan maksudnya) untuk mempertanggungjawabkan pemeliharaanku.  Agar aku tidak merasa dizholimi, maka kelima kura-kura tersebut harus dilepaskan semua.  Meski ketika itu aku hanya sempat memelihara kura-kura selama seminggu, kenangannya terus terbawa sampai aku dewasa.

Ketiga, aku senang kura-kura karena alasan filosofis.  Mereka makhluk damai yang tidak pernah mencari masalah dengan makhluk-makhluk lainnya.  Bahkan ketika diserang pun, mereka memilih untuk bertahan dalam cangkangnya.  Bagi sebagian orang, ini mungkin  dianggap kepengecutan.  Bagiku, ini semacam kebijaksanaan.

Setelah kura-kura pertamaku dilepaskan kembali ke alam, aku tak pernah bertemu kura-kura lagi.  Sampai aku kuliah di Bandung.  Pada 2006, pacarku waktu itu (yang sekarang jadi istriku) membelikanku dua ekor kura-kura Brazil sebagai hadiah ulang tahun.  (Ia memahami kerinduanku pada kura-kura tapi masih belum terlalu memahami bahwa aku tidak terbiasa dengan konsep perayaan ulang tahun, termasuk pemberian hadiah).  Kami tak tahu apakah kura-kura tersebut sepasang (jantan dan betina) atau satu jenis, penjualnya pun tak tahu.  Pada masa itu, aku masih tinggal di kampus, di sebuah ruangan yang menjadi sekretariat organisasi Himpunan Mahasiswa jurusanku.  Kedua kura-kura itu pun ikut tinggal bersamaku.   Keduanya aku namai, masing-masing, 'Abang' dan 'Ade'.  

Pada malam keenam aku memelihara 'Abang' dan 'Ade', terjadi tragedi.  Kedua kura-kura tersebut aku letakkan di dalam boks kecil (semacam boks tupperware berukuran kecil) dan kusimpan di atas dispenser air minum.  Boks plastik tersebut sengaja tidak kututup, entah karena alasan apa.  Aku yang biasa tidur pukul tiga pagi, pada malam itu terlelap sebelum tengah malam.  Menjelang dini hari, sekitar pukul satu, aku terbangun oleh sebuah suara keras.  Suara benda jatuh di kakiku.  Kulihat, di lantai sudah tergeletak boks yang tadinya kuletakkan di atas dispenser.  Kerikil-kerikil kecil yang menjadi penghias dan alas dalam boks tersebut berserakan.  Tak kulihat jejak kura-kuraku.  Emosi pertama yang kurasakan adalah panik.  Setelah menenangkan diri, kubongkar semua lemari dan tumpukan arsip untuk menemukan kedua kura-kuraku.  'Ade' kutemukan di bawah rak tivi, dengan cangkang retak dan leher terkoyak. Ia telah mati.  Entah mati kehabisan darah atau mati karena isi tubuhnya tersedot, sebab cangkangnya kosong melompong.  Hanya tersisa kepala yang masih melekat di sisa lehernya.  

Melihat kondisi 'Ade' yang mengenaskan itu, aku tak sanggup menahan emosi.  Aku tersedu.  Menyalahkan diriku sendiri.  Beberapa menit aku hanya mampu tergugu.  Setelah emosiku reda, dan logika  mulai memasuki benakku, aku berusaha menenangkan diri, berusaha mencari penyebab kejadian ini.  Aku tak perlu menduga, aku tahu luka-luka itu pasti akibat gigitan tikus.  Selama aku tinggal di sana, belum pernah sekalipun aku menemukan tikus dalam ruangan ini.  Malam itu, kura-kuraku jadi korban sekaligus bukti bahwa ada tikus yang harus kuenyahkan.  

Masih dengan sisa tangis, aku berusaha menyusun prioritas langkah.  'Ade' telah kutemukan, tapi 'Abang' masih belum ketahuan nasibnya.  Aku sudah bersiap untuk yang terburuk; ia dibawa ke sarang tikus sialan itu dan dimakan disana, dan aku takkan menemukannya lagi.  Saat ini, yang paling penting adalah menemukannya.  Pembalasan dendam bisa kulakukan nanti, setelah 'Abang' jelas nasibnya.  Dengan lebih teliti, kubongkar semua sudut. Kusenteri semua tempat gelap di bawah lemari arsip.  Akhirnya 'Abang' kutemukan di dalam lemari pakaianku.  Di rak terbawah, bersembunyi di sela baju.  Untungnya ia masih hidup.  Aku bersyukur tak henti.  Meski cangkangnya retak-retak bekas gigitan, tapi ia masih hidup.  Kubersihkan  luka-luka di kepalanya, dan kukembalikan ia ke boksnya.  Boks itu kututup dan kusimpan di rak teratas lemari bajuku.  Tempat yang kurasa takkan bisa dijangkau oleh tikus sialan itu.  

Setelah itu, aku mengurusi 'Ade'.  Kubersihkan bekas darahnya, kukeringkan dengan kapas, kututupi ia dengan kain dan tisu, dan kusimpan.  Esok ia akan kumakamkan.  Aku menelepon pacarku, mengabarkan kejadian ini.  Ia menenangkanku dan berjanji akan ke kampus pagi-pagi untuk menemaniku menguburkan 'Ade'.  Kemudian ia memintaku tidur kembali, sebab saat itu sudah pukul setengah tiga pagi.  Aku tak berniat tidur sedikit pun.  Aku akan berjaga kalau-kalau tikus pembunuh itu berani kembali.  Kalau ia muncul, akan kuakhiri hidupnya saat itu juga.  Namun, entah karena beban emosional yang terlalu berat, entah memang aku sedang sial, aku tertidur juga akhirnya.

Pukul enam pagi, pacarku datang membangunkanku.  Aku segera menunjukkan cangkang kosong 'Ade' kepadanya.  Lalu mengambil boks berisi 'Abang' dari dalam lemari.  Saat itulah aku tersadar, 'Abang' juga menjadi korban.  Lututku tiba-tiba lemas melihat kepalanya terkulai.  Aku terjatuh ke lantai sambil memegang cangkangnya yang terbelah di bagian perut.  Aku berteriak dan menangis sesenggukan.  Tak kupedulikan apapun lagi.  Hatiku hancur.  Perihnya bahkan lebih sakit daripada ditinggalkan kekasih.  Selama setengah jam, aku tak bisa melakukan apa-apa kecuali menangis dan menyesali diri.  Aku tak bisa berhenti menyalahkan diri sendiri.  Tadi malam ia masih hidup, masih bisa diobati, masih bisa dipulihkan.  Kalau saja aku tak tertidur.  Kalau saja ia tak kusimpan di lemari.  Kalau saja ia kupeluk dan kujaga sampai pagi.  Beribu kalau saja menyerangku.  Pacarku berusaha menenangkanku diantara isaknya.  Akhirnya aku bisa tenang.  Kesedihanku aku telan.  Kedua kura-kuraku kubersihkan kembali dan kubungkus dengan tisu dan kain.  Lalu kumasukkan kedalam sebuah kotak kertas.  Kotak itu kemudian kukuburkan di belakang gedung tempatku tinggal tersebut.  Tak ada yang tahu tentang hal ini, hanya aku dan pacarku.  Terlalu perih bagiku untuk menceritakannya kepada teman-temanku.  Sampai pada tahun 2008, ketika aku sudah tinggal di kosan sendiri, gedung itu kebakaran dan kemudian dibangun menjadi lapangan parkir kampus.  Kuburan kura-kuraku hilang tanpa jejak.


bersambung

Creating a Monster

Amazing Spiderman 2 is a story of creating your own demon and facing its consequences.  That's the theme i found recurring throughout the movie.  Starting from the ghost of Gwen Stacey's father Peter Parker sees everywhere he goes, the 'break-up' with Gwen, the choices and disappearance of Richard and Mary Parker's, up to the birth of Electro and Green Goblin (or is it Hobgoblin?).  Unbeknownst to him, Peter Parker choices ended up creating a monster he has to face in the end.  What seemed to be the right choice at one time proved to have dire consequences.

I was planning to elaborate this topic more.  However, words escaped me as of this moment.  So, I guess, I'll just say what I want to say: every choice you made and make has its own consequences, whether good, bad, or worse.  Sometimes, there's no such thing as the right choice.  Most of the times, the wisest choice is to choose one with consequences that you can bear.  The only thing you must always be prepared for when making a choice is to face whatever demon you create with that choice.

Good afternoon.

Monday, May 5, 2014

kembali tiada

maka, inilah aku
sebutir debu

pada satu waktu sempat masuk ke matamu
-ah, ironi itu; aku tak terlihat justru saat tepat di matamu-
menjadi sumber perih yang mengganggu
sebentar saja, sebab lalu airmata mengeluarkanku

hari ini, kembali, aku
-bahkan setelah berubah pada musim-musim yang berlalu-
sebutir debu,
(rindu) pada jejak sepatu
mu.

Sunday, May 4, 2014

The Truth is Out There

The truth is out there.  Saya percaya itu.  Jangan terburu-buru menganggap saya meyakini bahwa ada sesuatu di luar sana yang bersifat non-manusiawi atau non-bumi.  Meski dalam batas-batas tertentu saya memang meyakini hal tersebut, tulisan ini tidak ditujukan untuk membahas  tentang hal-hal yang bisa menjadi ide cerita serial X-Files.  Pemahaman saya mengenai kalimat tersebut sedikit lebih luas.

Saya meyakini bahwa kebenaran memang ada di luar sana, dengan penekanan pada kata Kebenaran dan Di Luar Sana.  Artinya, apa-apa yang ada dalam diri saya bukanlah Kebenaran.  Benak manusia adalah semacam katana bersisi ganda.  Ia digunakan untuk mencerna dan menyerap ilmu seluas-luasnya sekaligus membatasi pencernaandan penyerapan ilmu tersebut sesempit-sempitnya.  Kebenaran sejati memang ada di luar sana.  Tentang ini tak usah diragukan lagi.  Namun, kita harus menyadari bahwa sebagai manusia, kita tidak akan bisa benar-benar  mengetahui dan/atau memahami kesejatian kebenaran tersebut.

Manusia memahami berdasarkan hasil dari proses penalaran dan penafsiran yang dilakukan di dalam dirinya.  Proses penalaran dan penafsiran itu sendiri hanya bisa dilakukan dalam kerangka tertentu, yaitu kerangka yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai proses penalaran dan penafsiran sebelumnya. Tumpukan pengalaman manusia, sejak ia bayi sampai mati, akan membentuk sebuah kerangka dasar atau kerangka umum yang akan digunakannya untuk menafsirkan dan menginternalisasi pengalaman baru.  Hasil internalisasi ini kemudian akan memperkokoh atau memperlemah kerangka dasar tersebut.  Semakin banyak pengalaman, akan semakin kokoh atau lemah pula kerangka yang digunakan manusia untuk menafsirkan.  Intinya, ini adalah sebuah proses berkesinambungan yang tak pernah putus, kerangka dasar pemikiran akan mempengaruhi hasil penafsiran tanda (pengalaman) dan hasil penafsiran akan mempengaruhi pula kerangka tersebut.

Ketika manusia bertemu dengan kebenaran yang sejati, yang berada di luar dirinya, akan terjadi proses filterisasi.  Kerangka pikirnya akan berusaha mencerna dan menafsirkan kebenaran tersebut.  Proses menafsirkan itulah yang, mau tak mau, pasti mendistorsi keutuhan kebenaran.  Dengan demikian, hasil penafsiran yang diinternalisasi ke dalam diri manusia hanyalah sebagian dari kebenaran, dan bukan kebenaran yang utuh dan sejati.  The truth is out there, because what we understand and internalize is just a portion or a version of it, at best.

Semoga kalian paham apa yang ingin aku sampaikan.  Terima kasih

Selamat sore.

Celetukan di Smoking Room

Saya baru kembali dari smoking room.  Di tempat-tempat macam inilah seringkali saya menemukan cermin.  Kali ini, yang menjadi cermin adalah celetukan seorang kenalan.  Saya sebenarnya tidak akrab dengan orang ini, saya bahkan tidak tahu namanya.  Saya hanya tahu bahwa ia bekerja di salah satu toko komputer di BEC, sama seperti ia tahu bahwa saya bekerja di booth Intel.

Saya sedang merokok sambil berusaha mengajak sejumlah orang mengobrol via bbm.  Tak seorangpun dari yang saya ajak tersebut membalas sapaan saya.  Ketika saya menutup flip cover telepon genggam saya, kenalan yang duduk di sebelah saya berujar, "Wah, Garuda euy."  Ia mengomentari stiker Garuda Pancasila yang saya tempelkan di bagian depan flip cover saya.  Saya hanya tersenyum sebab bingung harus mengomentari apa.  Kemudian, ia bertanya kepada saya dan teman di sebelahnya, "Sila keempat, ingat ga?"

Temannya menjawab, "Ketuhanan yang Maha Esa."

"Itu sila pertama.  Itu sih gampang.  Ayo, sila keempat." Ujar kenalan tadi dengan nada bertanya agak memaksa.

"Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan..." jawab saya, sengaja menggantungkan jawabannya, karena saya berasumsi bahwa sedikit pancingan tersebut akan mampu memicu ingatan mereka.

"Iya itu," sambut kenalan tadi, "maklum saya lupa, sudah lama.  Sudah sejak jaman sekolah."

Saya paham maksudnya, terakhir ia bertemu dengan Pancasila adalah belasan tahun lalu ketika ia masih bersekolah.  Saya tersenyum lagi.  Rokok saya sudah selesai, jadi saya berpamitan dengan kedua orang tersebut untuk kembali ke booth tempat saya bekerja.

Dalam perjalanan beberapa menit menuju booth, satu hal sempat terlintas di benak saya.  Pancasila awalnya diniatkan sebagai nilai-nilai yang bisa dijadikan acuan.  Sementara, dari komentar kenalan tadi, saya berasumsi (mudah-mudahan asumsi ini tidak dalam kategori berprasangka buruk) bahwa sikap kolektif bangsa Indonesia yang memperlakukan Pancasila hanya sebagai hapalan di sekolah atau bagian dari ritual upacara pengibaran bendera masih berakar di masyarakat.  Melihat kondisi ekonomi, sosial, politik, dan keagamaan bangsa ini, saya kira tidak berlebihan jika saya berasumsi demikian.  Sebab saya yakin bahwa jika kelima nilai yang terkandung dalam Pancasila memang dipegang dan diterapkan dalam masyarakat (dengan diselaraskan dengan nilai moral apapun yang dianut oleh masing-masing individu), kondisi Indonesia tidak akan separah ini.

Sila pertama, misalnya, awalnya diniatkan sebagai nilai utama yang bisa mendasari keempat sila setelahnya.  Ketuhanan yang Maha Esa adalah sebuah nilai luhur yang mencakup dan merangkum semuanya.  Bahkan meskipun kita mengabaikan sila kedua sampai kelima dan hanya menerapkan sila pertama ini, itu sudah cukup untuk memperbaiki kehidupan.  Pengamalan sila Ketuhanan yang Maha Esa berarti kita meyakini keberadaan Tuhan yang Satu dan mengimaninya.  Keyakinan  dan  iman ini akan terwujud dalam bentuk pelaksanaan nilai-nilai keagamaan sesuai yang kita anut.  Dan, karena ajaran semua agama adalah untuk melaksanakan perintah Tuhannya (yang mencakup semua hal termasuk praktek kehidupan kita), maka pemahaman dan pengamalan sila pertama Pancasila berarti menanamkan, memahami, dan menjalankan perintah Tuhan kita dalam keseharian kita sebagai seorang manusia dan warga negara Indonesia.  Ketika kita meyakini suatu agama atau keyakinan, dan menjalankan perintah Tuhan sesuai agama dan keyakinan kita dengan baik dan benar, niscaya tidaklah akan muncul masalah-masalah besar dalam praktek kenegaraaan dan kemasyarakatan.  

Selain itu, agama dan keyakinan terhadap Tuhan yang Maha Esa bersifat sangat pribadi dan individual.  Ini berarti, pengamalan sila pertama Pancasila akan bermula di level paling dasar, yaitu level individu, pada diri kita sendiri.  Tak usahlah kita mencampuri urusan keyakinan orang lain, terapkan saja dulu sila pertama ini dalam kehidupan kita.  Jika tiap individu rakyat Indonesia mau dan mampu melaksanakannya, niscaya akan tercipta tatanan masyarakat yang sangat optimal demi perkembangan bangsa, apapun agama yang dianut oleh tiap individu tersebut.  Pemahaman mengenai sifat pribadi agama dan keyakinan akan membuat kita mampu menoleransi agama dan keyakinan orang lain.  Jika kita paham bahwa urusan agama adalah urusan antara seorang pribadi dengan Tuhannya, maka kita akan sadar bahwa tak ada hak kita untuk memaksakan agama dan keyakinan kita kepada orang lain.  Kita bisa mengajarkan, mengajak, berdiskusi, mencontohkan, tapi tidak bisa memaksakan.  Inilah yang disebut toleransi, menerima bahwa perbedaan itu  ada dan tidak menjadikannya alasan perpecahan.  Meski demikian, toleransi ini jangan disalahartikan sebagai sikap skeptis, apatis, atau ketidakpedulian.  Toleransi justru muncul dari pengetahuan,  pemahaman, dan penerimaan.

Demikianlah, bahkan pemahaman tentang dan pengamalan sila pertama saja sudah menjamin akan muncul keselarasan dan kedamaian kehidupan berbangsa dan bernegara, apalagi jika kita mampu memahami  dan mengamalkan keempat sila lainnya.  Ketika Pancasila, yang dirancang dan ditujukan sebagai dasar negara, direduksi menjadi sebuah hapalan untuk ditampilkan pada upacara pengibaran bendera, maka mubazirlah ia.

Over Coffee

Tadi malam, saya dan beberapa teman memutuskan (mendadak) untuk berkumpul dan mengobrol di salah satu warung kopi di daerah purnawarman Bandung.  Meski tak semua bisa datang, (yang ada hanya Arun, Tew, Agerin, Dilla, dan saya), pertemuan tadi malam sangat menyenangkan.  Seperti biasa, obrolan kami tak pernah terstruktur, tapi justru dari ketidakterstrukturan itulah muncul berbagai bahan pemikiran dan suasana menyenangkan.

Salah satu yang kami obrolkan semalam adalah bahan penelitian mengenai bahasa (linguistik).  Saya mengusulkan tentang pertumbuhkembangan bahasa, terutama bahasa tulis, mulai dari gambar gua purba sampai emoticon yang dilahirkan oleh teknologi.  Banyak yang bisa diamati dari fenomena perkembangan bahasa ini; proses dan circumstances kelahirannya, survival dan kematian sejumlah unsurnya, dampaknya terhadap bahasa formal baku yang terstruktur, dan lain lain.  Yang terutama menarik bagi saya adalah analisis kualitatif mengenai persepsi berbagai generasi terhadap bahasa-bahasa baru tersebut.  Maksudnya, saya dibesarkan dalam generasi bahasa terstruktur. Bahasa 'teknologi' (yaitu bahasa yang muncul dari pembatasan dan pembebasan yang diberikan oleh teknologi dan berbagai device komunikasi) baru masuk ke kehidupan saya setelah bahasa terstruktur saya (yaitu bahasa Indonesia dan Inggris formal dan informal) telah terbentuk.  Bagi saya, bahasa baru ini merupakan bahasa pelengkap yang bersifat kontekstual.  Artinya, saya hanya menggunakan bahasa teknologi ketika saya memang harus menggunakannya.  Misalnya berbagai jargon yang lahir dan tumbuh di dunia maya, seperti  LOL, BRB, dsb, hanya saya gunakan ketika berinteraksi di dunia maya.

Lain halnya dengan generasi setelah saya.  Mereka yang tumbuh bersamaan dengan bahasa teknologi tersebut cenderung memandang bahasa baru ini sebagai bagian integral dari khazanah bahasa mereka.  Dengan demikian, spektrum pemanfaatan dan penggunaan bahasa baru tersebut lebih luas dibandingkan dengan saya.  Ini saya simpulkan dari interaksi dengan sejumlah murid SMU yang sempat saya ajar beberapa tahun lalu.  Saya rasa, akan sangat menarik mengamati dampak kemunculan, perkembangan, dan keberadaan bahasa baru (yang tak bisa dilepaskan dari kemajuan teknologi komunikasi) terhadap bahasa terstruktur pada dua generasi tersebut.

Terlepas dari seperti apa penelitiannya, saya pikir ide ini cukup pantas untuk dikejar dalam format tesis.

Bahan obrolan lain yang sempat muncul adalah mengenai closure, moving on, dan letting go dalam konteks perasaan.  Mengenai hal ini pernah saya tuliskan juga di blog ini.  Dan ketika kami bahas semalam, ada satu kesimpulan yang muncul, yaitu bahwa proses merelakan harus melibatkan penerimaan.  Termasuk didalamnya kesadaran bahwa meski luka telah sembuh, bekasnya akan terus ada.  Tanpa kesadaran dan penerimaan tersebut, proses merelakan tidak akan terjadi.  Kesadaran akan adanya bekas luka akan berarti kita tidak akan berusaha menutupi atau mencari penggantinya.  Sudut pandang ini akan sangat bermanfaat dalam membangun hubungan yang lebih sehat nantinya. Kesadaran dan penerimaan ini akan berarti bahwa tidak akan ada penyangkalan, dalam bentuk apapun.  Bahkan, mendeklarasikan bahwa diri dan hati kita telah sembuh bisa jadi merupakan salah satu bentuk penyangkalan, ketika kita masih tidak menerima bahwa hati itu pernah terluka, dan bahwa di dalam hati itu masih ada bekasnya.  Obrolan mengenai hal ini kami tutup dengan sebuah kalimat , "wounds heal but the scars will remain.  And men wear their scars proudly."

Demikianlah, obrolan kami mengalir.  Obrolan serius, bercanda, serius dicampur canda, canda dengan maksud serius, semuanya kami nikmati, termasuk obrolan mengenai tafsir mimpi, live music yang selalu lupa lirik, pengamat bahasa yang gatal telinga, penyeleksian pasangan hidup, kecongkakan versus ignorance, analisis psikologis, perlunya cuci otak karena otak sudah kotor, dan masih banyak lagi.  Bagi saya, obrolan warung kopi seperti ini, yaitu obrolan tak terstruktur dan tanpa kerangka yang dilakukan tanpa keinginan untuk memaksakan pendapat sambil minum kopi, memang selalu menghasilkan banyak hal yang bisa dipikirkan, dari yang paling sepele sampai paling kompleks.  Dan obrolan warung kopi, dengan orang-orang yang tepat, bisa menjadi semacam senam otak untuk mencegah saya menjadi gila dan kehilangan pikiran sehat ketika rutinitas mengakumulasi kelelahan dalam benak.  Suasana seperti semalam lah yang selalu saya nantikan dan saya butuhkan, suasana yang dihasilkan bukan dari tempat, tapi dari interaksi dengan teman mengobrol.  Pertemuan semalam ditutup dengan bersama-sama mengapresiasi dua pengunjung yang nge-jam di panggung live music warung kopi tersebut.  Dua pengunjung yang, meskipun hanya nge-jam empat lagu, jauh lebih keren daripada penyanyi live yang mengiringi obrolan kami selama berjam-jam.  Dua pengunjung yang membuat kami dengan sukarela memberikan standing ovation sebelum pulang.

Selamat siang.

Friday, May 2, 2014

Selamat Tinggal

Sungguh, ini adalah kali terakhir
aku mengucap salam perpisahan

Bara itu takkan padam, seperti juga bara lainnya
dan aku sudah berdamai dengan rasa
tapi ialah ia, si anak bajang yang bersarang di kepala
dan ruci yang ada di hati
tak mau menerima, menolak menyadari

Mereka berkonspirasi untuk menyalakan api
meniup-niup bara itu dengan puisi
dan asapnya menyesakkanku
membuat batuk berairmata
menjadi risau yang harusnya tak ada

Sungguh, ini adalah terakhir kali
aku mengucap salam perpisahan
agar kau membalasnya

Maaf, kau harus terbawa-bawa, tapi aku perlu ini
untuk mendiamkan dua suara itu
biar mereka mati dalam mimpi
tak mengganggu lagi.

salah satu dari buku pertamaku

Berikut ini adalah salah satu puisi yang kutulis tahun 2005, bulan-bulan awal.  Puisi ini aku tujukan untuk seseorang yang, sayang sekali, sama sekali belum pernah membacanya.  Demikianlah, aku tuliskan disini dengan sedikit harap bahwa orang tersebut akan membacanya.  Tanpa maksud apa-apa, aku hanya ingin ia tahu bahwa aku menghargainya dengan menjadikannya bagian dari karya-karyaku.

Sendiri; Berjalan Menuju Akhir

Berjalan menuju akhir dalam bayang-bayang kemarin.  
Usir mendung itu pergi, sebelum kita dihujani lagi,
sebab hati sudah terlalu kuyup untuk menerima
airmata lagi, Sayang.  Kau tahu itu

Berjalan menuju akhir dalam dekapan angin
dingin sambil mengertakkan gigi.  Aku
menunggumu menyusul dan berjalan di sisiku, 
Sayang,
cepatlah, sebab jika aku berhenti, beku ini akan jadi pembunuh
dan kau tahu aku belum mau mati

Berjalan menuju akhir dengan luka di punggung yang belum 
sepenuhnya sembuh.  Aku tak tahu kenapa dingin ini
tak mampu membekukannya.  Bukankah kau bilang ingin
memasangkan sayap untuk menutup luka itu?  Cepatlah,
perih ini terlalu pedih untuk diacuhkan
tak akan hilang hanya dengan sekedar mencoba melupakan

Berjalan menuju akhir dengan hujan yang makin kencang dan beku.  Aku tahu
kau telah tiba di sisiku, tapi aku tak bisa melihatmu.
Aku sendiri; berjalan menuju akhir.

About Me

My photo
seorang separuh autis yang memandang dunia dari balik kaca jendelanya. ia duduk diam mengamati,membaca dan menafsir tanda, mencari makna.