Aku suka hujan. Aku menikmati hujan bukan dengan duduk di balik selimut di balik kaca jendela ruang tamu dan ditemani secangkir coklat hangat dan sebuah buku. Aku akan berada di luar sana menyambutnya.
Hujan selalu membawakanku sebuah suasana syahdu; bukan suasana penuh sedih dan pilu, tapi lebih seperti ketika kau sedang merasakan rindu. Tirai air yang turun itu serupa helai-helai tabir yang memisahkanku dari orang-orang lain; menjadi semacam kelambu waktu yang memisahkanku dari mereka. Seolah kami ada di ruang yang sama, tapi di dimensi berbeda. Hujan selalu memindahkanku ke dimensi nostalgia dimana yang ada adalah kenangan (dan sisa-sisa rasa yang tak kuingat lagi sumbernya). Dalam kepompong itu, aku berlari-lari mengejar puisi di padang ilalang setinggi mata kaki, melompat-lompat agar genangan air menciprat ke bunga-bunga liar yang selalu tiba-tiba mekar. Hanya di dimensi ini aku bisa menghirup aroma hijau, menikmati gelak daun-daun yang kegirangan, dan merasakan debar kelabu yang perlahan memudar. Hanya dalam hujan aku bisa menjadi kanak-kanak lagi; menjadi mata yang penuh kekaguman dan tanda tanya.
Dan payung adalah serupa logika yang menyuruhku berhenti dan berteduh; berusaha menghalangi tetes hujan mencumbui wajahku sebab ia tahu bahwa dingin akan membuatku sakit. Tentu saja ia mungkin benar, tapi, aku lebih memilih menikmati hujan dengan merengkuhnya, atau membiarkannya memelukku. Sakit adalah bagian dari nanti, bukan bagian dari ketika ini. Di sini, di ruang yang diantarkan hujan, tak ada sakit, tak ada luka, tak ada perih pedih, tak ada segala apa yang membuat menderita. Maka, aku tak suka menggunakan payung. Payung dengan ujungnya yang serupa pedang akan menyobek tirai hujanku; dan kepompong yang koyak tak bisa ditambal. Ruang kenangku akan bocor; realita akan mengalir membanjir ke dalamnya; dan aku takkan bisa menikmati suasana syahdu itu sebagaimana adanya. Itu sebabnya payung itu selalu kubiarkan tertutup. Biarlah nanti aku menemui kenyataan lagi; setelah aku kembali dari sini; setelah tirai itu berhenti turun dan membaurkanku kembali dengan orang-orang. Sehabis hujan.
Dan payung adalah serupa logika yang menyuruhku berhenti dan berteduh; berusaha menghalangi tetes hujan mencumbui wajahku sebab ia tahu bahwa dingin akan membuatku sakit. Tentu saja ia mungkin benar, tapi, aku lebih memilih menikmati hujan dengan merengkuhnya, atau membiarkannya memelukku. Sakit adalah bagian dari nanti, bukan bagian dari ketika ini. Di sini, di ruang yang diantarkan hujan, tak ada sakit, tak ada luka, tak ada perih pedih, tak ada segala apa yang membuat menderita. Maka, aku tak suka menggunakan payung. Payung dengan ujungnya yang serupa pedang akan menyobek tirai hujanku; dan kepompong yang koyak tak bisa ditambal. Ruang kenangku akan bocor; realita akan mengalir membanjir ke dalamnya; dan aku takkan bisa menikmati suasana syahdu itu sebagaimana adanya. Itu sebabnya payung itu selalu kubiarkan tertutup. Biarlah nanti aku menemui kenyataan lagi; setelah aku kembali dari sini; setelah tirai itu berhenti turun dan membaurkanku kembali dengan orang-orang. Sehabis hujan.
menikmati hujan dan sakit :)
ReplyDeleteTotally worth it
Delete