Tuesday, March 12, 2013

Obrolan Angkot (Part 1)

Cermin ada dimana-mana, Kawan.  Tinggal kita yang memutuskan apakah mau melihat dan menyimak bayangan yang ada di sekitar kita, atau mengabaikannya.  Saya ingat seorang teman pernah menanyakan makna 'Omnia ab Uno'.  Setelah googling dan researching, saya tahu bahwa kalimat bahasa Latin ini berarti 'everything comes from one source.'  Segala sesuatunya berasal dari satu sumber yang sama.  Dan kalimat ini seringkali ditambah dengan 'omnia nodes arcana connexa' ('everything is connected to everything else')--segala sesuatu terhubung dengan segala hal lain. Saat saya membaca hal ini, secara otomatis otak saya menghubungkannya--lewat konsep intertextuality--dengan pemikiran Mohandas Gandhi, yang percaya bahwa semesta terbentuk dari hubungan antar segala sesuatu didalamnya.  Kedua konsep diatas juga ada dalam berbagai kebijaksanaan lokal di berbagai daerah di seluruh dunia.  Jika kalian mengira saya membicarakan tentang agama dan keyakinan, maka kalian benar.  Tapi tidak itu saja, kedua pemikiran filosofis mengenai asal usul segala sesuatu dan saling keterkaitan antara mereka memang ada dalam ajaran hampir semua agama, tapi juga disebutkan (dan diyakini) di berbagai bidang lain (misalnya matematika, kungfu, ilmu pengobatan, biologi, dan sebagainya).  Pertanyaan yang mungkin mulai muncul di pikiran kawan-kawan sekalian saat ini adalah: 'Kenapa tulisan ini berjudul Obrolan Angkot, sementara isinya membahas filsafat saling keterkaitan?'  :)

Tenang, ini baru pengantar.  Saya hanya ingin memberitahu bahwa saya meyakini kedua konsep diatas.  Dan sebab saya meyakini bahwa segala sesuatu di semesta ini saling berhubungan (dengan cara yang mungkin tidak atau belum saya pahami), maka judul tulisan ini menjadi relevan dengan isinya. 
Salah satu kegiatan favorit saya adalah mengamati manusia, terutama dari aspek perilaku dan interaksinya.  Dari hasil refleksi, saya menyadari bahwa ketertarikan awal saya terhadap manusia dan aspek psikologinya adalah dari novel Sherlock Holmes karangan Arthur Conan Doyle dan dari novel-novel Agatha Christie (terutama judul-judul dimana tokoh utamanya adalah Miss Jane Marple).  Kisah-kisah Sherlock Holmes mengajari saya untuk selalu memperhatikan rincian-rincian, sekecil apapun, dan menghubung-hubungkan mereka hingga terbentuk suatu gambar yang bisa dipahami dan bisa diyakini (setelah diuji).  Sementara kepercayaan Jane Marple bahwa manusia pada dasarnya adalah sama membuat saya terus menerus mempertanyakan dan ingin membuktikan kebenarannya.  Dan memang, saat ini saya percaya bahwa manusia memiliki sifat-sifat dasar (building blocks) yang sama, hanya komposisinya yang berbeda.

Perbedaan komposisi tersebut, menurut saya, diakibatkan oleh hasil penafsiran dan penyaringan masing-masing manusia atas input yang mereka terima.  Perbedaan hasil penafsiran itu sendiri dikarenakan oleh perbedaan filter yang digunakan untuk menyaring pengalaman dan peristiwa yang manusia temui, yang pada gilirannya dipengaruhi filter pertama dan pengalaman-pengalaman sebelumnya. (Jika ada waktu, tentang ini nanti akan saya bahas secara terpisah.)

Kembali lagi ke judul tulisan ini, angkot (angkutan kota) adalah sarana kendaraan umum yang banyak dijumpai di kota-kota besar Indonesia, dan angkot adalah salah satu tempat terbaik untuk mengamati manusia dan interaksinya.  Bayangkan saja, dalam keadaan penuh, sebuah angkot akan berisi 13 orang manusia.  Sekarang bayangkan sebuah kondisi ideal untuk pengamatan dimana ke-13 orang itu tidak saling mengenal satu sama lain.  Bayangkan betapa uniknya interaksi yang terjadi di sebuah angkot penuh penumpang itu.  Mereka memiliki asal dan tujuan yang (mungkin) berbeda, kalaupun tujuan mereka sama maksud dan motivasi yang menggerakkan mereka menuju tujuan tersebut pastilah berbeda.  Namun, mereka dipersatukan oleh satu benang merah yang sama: sarana yang mereka gunakan untuk mencapai tujuan tersebut. 

Mereka mungkin akan saling mengobrol, atau saling berdiam diri.  Mereka mungkin akan sama-sama mencaci kemacetan jalan, atau memendam kesal ketika sopir memutuskan untuk menunggu penumpang hingga setengah jam.  Sopir mungkin akan memancing obrolan tentang segala hal, mulai dari harga bahan bakar, sikap polisi dan pengendara urakan, sampai soal politik dan pendidikan anak-anaknya.  Penumpang yang senang diskusi mungkin akan menimpali dan kemudian disambung lagi oleh penumpang lain.  Penumpang yang sedang banyak pikiran mungkin tidak akan peduli dengan obrolan itu dan sibuk dengan pikirannya sendiri.  Penumpang yang punya pendapat tapi malu mengutarakannya akan berdebat dengan dirinya sendiri apakah dia akan berbicara atau tidak sambil menanti kesempatan yang tepat untuk ikut serta.  Penumpang lain mungkin hanya berpartisipasi dengan mengangguk dan tersenyum.  Penumpang lain lagi mungkin sama sekali tidak peduli atau pura-pura tidak peduli karena dia merasa bahwa obrolan itu tidak relevan dan signifikan dengan perjalanan hidupnya.

Bagi saya, interaksi apapun yang terjadi (atau tidak terjadi) di dalam sebuah angkot adalah menarik untuk diamati.  Sebab saya beranggapan bahwa interaksi sosial yang terjadi di dalam angkot tidak kurang nilainya dari interaksi sosial yang terjadi di tempat-tempat lain, misalnya rumah atau ruang kelas atau kantin atau pasar atau dimanapun.  Apa yang terjadi di dalam angkot adalah cermin yang menggambarkan sepotong kecil dari gambar besar yang ada di semesta, kepingan puzzle kehidupan sosial manusia.  Dengan memperhatikan interaksi (atau ketiadaan interaksi) tersebut, saya bisa merefleksi diri sendiri.  Obrolan yang terjadi di dalam angkot mungkin memang tidak penting secara konten, tapi jika angkot dipandang sebagai sebuah konteks sosial dimana manusia berkesempatan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesamanya, maka ada banyak hal yang bisa saya pertanyakan pada diri saya sendiri: kenapa saya tidak ikut mengobrol?  Apakah karena saya sombong atau justru karena saya rendah diri?  Ketika tidak ada bahan obrolan, kenapa saya tidak berusaha memulai? (Takut tidak ditanggapi oleh orang lain adalah konyol sebab sopir akan selalu menyambut bahan obrolan apapun yang kita tawarkan.  Coba saja kalau kawan tidak percaya.)  Jika alasannya adalah karena saya malu sebab saya tidak mengenal rekan-rekan sesama penumpang, kenapa saya tidak berkenalan saja?

Intinya, angkot, bagi saya, adalah cermin untuk berkaca: sebaik atau seburuk apakah saya ketika ditempatkan di sebuah situasi sosial dan memiliki pilihan serta hak penuh untuk berinteraksi?

Demikianlah, tak ada hal yang terlalu sepele dan terlalu istimewa ketika kita percaya bahwa segala sesuatu di semesta ini saling berhubungan dan saling membangun, bahkan angkot sekalipun. 

Wednesday, March 6, 2013

Ulang Tahun: Tentang Ketidakbiasaanku pada Kebiasaan Itu

Birthday... I never really grasped the idea of celebrating birthday with the whole cake-and-candle stuff.  It may be just my scepticism, but I do feel that nothing is special with a birthday, really.  I mean, it's just another day in a year and it's not even the same day with the day you were born.

I understand the reasoning behind the celebration: we gather our beloved to show our appreciation and gratitude for the gift of living.  What I don't get, and don't particularly agree with, is the full-blown celebration most people seem so keen to throw whenever they have a birthday.

What I really want to say is I don't mind to gather with people I love to say thanks and appreciate life--perhaps with some sort of reflections on what we've achieved so far in life.  But such gathering has nothing whatsoever to do with birthday.  We gather to appreciate life--that's the point, and we can do that at any day of the year.  When you shift the focus to 'celebrate birthday' . . . I don't know, I just don't get it.  Because, most of the time, you forget about the life-appreciation altogether and you just lose yourself in the celebration.  

I honestly feel worried whenever parents (or other prominent figure of a family) instill in a child's mind that his/her birthday is coming and that he/she should celebrate it.  What worries me is that they often forget to tell the child that it is not the birthday celebration that's important.  They forget to explain why there's a celebration in the first place.  The child will think that a birthday is very important, but he/she will fail to see that it is but one form of life-appreciation.  That's what worries me the most. 

For me, if I throw a birthday party/celebration for a child, it will be a fun-enjoyable format to teach him/her to appreciate life; to appreciate what he/she has, what he/she has become, to make him/her realize that he/she should be grateful because there are people who love him/her and that he/she should share that happiness and gratitude to others.  And I do hope that the child will one day understand that intention, not just blindly believing that birthday party is a must while missing its meaning entirely.

Good morning.

Thursday, February 28, 2013

Buku-Bukuku yang Entah ada Dimana

Berikut ini adalah daftar judul buku-bukuku dari era Pentagon yang dipinjam, hilang, atau entah apa yang terjadi padanya... yang sampai saat ini belum kembali:

1. Mahabharata
2. Life of Pi
3. Death in Vienna
4. Horeluya (Arswendo Atmowiloto)
5. Supernova: Akar (Dewi 'Dee' Lestari)
6. Supernova: Petir (Dewi 'Dee' Lestari)
7. Perpustakaan Ajaib Bibi Bokken (Jostein Gaarder)
8. Misteri Solitaire (Jostein Gaarder)

Sebenarnya masih ada beberapa lagi, tapi aku sudah lupa apa-apa saja judulnya.  Buku-buku itu entah dipinjam dan dipinjamkan lagi oleh sang peminjam, hilang diambil orang atau salah simpan, atau entah apa lagi yang terjadi sehingga tak bisa kutemukan lagi.  Mereka telah kurelakan... tapi akan selalu kukenang.


Just Another Song from the Good Old Time

I don't know why, but lately, this song pops out in my head and keeps repeating itself... For old time's sake, I'm just gonna post it here.

Natalie Imbruglia

"Torn"

 

I thought, I saw a man brought to life
He was warm, he came around and he was dignified
He showed me what it was to cry

 

Well, you couldn't be that man I adored
You don't seem to know
Seem to care what your heart is for
 

But I don't know him anymore
There's nothing where he used to lie
The conversation has run dry
That's what's going on
Nothing's fine, I'm torn

 

I'm all out of faith
This is how I feel
I'm cold and I am shamed
Lying naked on the floor

 

Illusion never changed
Into something real
I'm wide awake and I can see
The perfect sky is torn
You're a little late, I'm already torn

 

So I guess the fortune teller's right
Should have seen just what was there
And not some holy light

 

It crawled beneath my veins
And now I don't care, I had no luck
I don't miss it all that much
There's just so many things
That I can touch, I'm torn

 

I'm all out of faith
This is how I feel
I'm cold and I am shamed
Lying naked on the floor

 

Illusion never changed
Into something real
I'm wide awake and I can see
The perfect sky is torn
You're a little late, I'm already torn, torn

 

There's nothing where he used to lie
My inspiration has run dry
That's what's going on
Nothing's right, I'm torn

 

I'm all out of faith
This is how I feel
I'm cold and I am shamed
Lying naked on this floor

 

Illusion never changed
Into something real
I'm wide awake and I can see
The perfect sky is torn

 

I'm all out of faith
This is how I feel
I'm cold and I'm ashamed
Bound and broken on the floor
You're a little late, I'm already torn, torn 


And, here's a free translation of that song in Bahasa Indonesia:



"Terkoyak"
Kurasa, aku (ingin) melihat seorang pria muncul ke dunia
Dia hangat, muncul disini, dan sikapnya sangat terpuji
Dia mengajariku ada makna apa dalam tangisanku

 

Well, kau tak bisa jadi orang yang kukagumi
Kau seolah tidak tahu
Tidak peduli untuk apa hatimu
 

Tapi, aku tidak lagi mengenal pria tadi   
Tidak apa-apa lagi di tempat dia biasa berbaring
Obrolan kami mengering
Itulah yang terjadi
Tidak ada lagi yang baik-baik saja, aku terkoyak

 

*) Aku kehilangan keyakinan
    Inilah yang kurasakan
    Aku kedinginan dan dipermalukan
    Berbaring telanjang di lantai

    

    Ilusi takkan berubah
    Jadi kenyataan
    Aku sudah terbangun dan aku bisa melihat
    Langit yang sempurna itu terkoyak
    Kau sedikit telat, aku (hatiku) sudah terlanjur terkoyak

Kurasa peramal itu benar
Harusnya aku melihat kenyataan apa adanya
Bukan malah berharap akan ada keajaiban

Ucapan itu merasuk ke nadiku
Dan sekarang, aku tidak peduli lagi, aku memang tidak beruntung
Sebenarnya, aku tidak terlalu merindukannya lagi
Ada begitu banyak hal
Yang bisa kusentuh, aku terkoyak

*)

Tidak ada apa-apa lagi di tempat dia biasa berbaring
Inspirasiku mengering
Inilah yang terjadi
Semuanya salah, aku terkoyak

*)

Aku tak lagi yakin
Inilah yang kurasa
Aku kedinginan dan aku malu
Terikat dan hancur di lantai
Kau sedikit telat, aku sudah terlanjur terkoyak

Monday, February 25, 2013

Kata-Kata yang Berlari, Hanya Setengah Sampai

Enam buku tulis telah terisi penuh sejak pertama aku memutuskan untuk menuangkan gagasan dan pemikiran-pemikiranku (yang penting maupun yang konyol, yang memperkaya maupun yang sekedar membuat tertawa) dalam bentuk tulisan dan puisi-puisi.  Tapi setelah buku keenam itu, coretan gagasan-gagasanku berceceran dimana-mana.  Di carikan-carikan kertas, di sela-sela catatan kuliah, di WOH (Whisper of the Heart, buku curhat bersama anggota Hima Bahasa Inggris era Pentagon), di mana-mana.  Sebagian terselamatkan dan masih kusimpan.  Sebagian lagi menghilang.  

Sekarang, aku telah beberapa kali membeli buku tulis ketujuh.  Buku tulis dengan kriteria yang sama seperti yang selalu kugunakan: tebalnya lebih dari 100 lembar.  Tapi, baik buku tulis keluaran PT. S*nar D*nia, buku tulis berjudul 'Campus', buku tulis bersampul tebal dengan pola kotak-kotak (kurasa kalian tahu buku mana yang kumaksud), maupun buku tulis berjuluk 'agenda' yang biasa digunakan oleh orang-orang kantoran, tetap tidak bisa benar-benar menjadi buku yang ketujuh.  Kali ini, sebabnya adalah gagasan-gagasanku yang jadi pemalu.  

Aku bisa saja beralasan bahwa aku tak punya ruang atau waktu lagi untuk menulis panjang dan merenung lama.  Tapi itu tidak benar.  Kata-kata yang dulu selalu mengalir bebas sampai semua emosi terwakili sekarang seperti sedang sprint berkelompok.  Mereka berlarian begitu cepat mewakili semua emosi... tapi tak semuanya sampai.  Sebagian berhenti sebelum sampai di ujung jari.  Dan emosi yang diwakili oleh kata-kata yang kelelahan itu pun tak tertuliskan. 

Entahlah... mungkin aku mulai bosan, atau mulai merasa bahwa kata-kata itu takkan kemana-mana.  Mungkin pula karena aku mengutuk diri sendiri dengan menargetkan bahwa kumpulan puisiku berikutnya akan berjudul 'Janin Tak Lahir' (dan sebab nama adalah do'a, puisi-puisi itupun tak sampai lahir ke dunia).  Mungkin juga karena aku telah kehabisan cerita untuk dijadikan pemantik inspirasi.  Apapun alasannya, akhir-akhir ini semangat menulisku seolah api yang membakar spiritus:  menyala terang, tapi cepat padam.  Gagasan-gagasan hasil perenungan mendalam hanya tertulis pengantarnya saja, sebab begitu sampai pada paragraf kelima, aku seperti kehilangan kata-kata.  Kalaupun jadi tulisan panjang, itu cuma kumpulan berbagai gagasan yang saling tumpang tindih tanpa kejelasan mana ujung mana pangkalnya.

Dan beberapa minggu terakhir, ada satu pertanyaan baru yang mengusikku: Adakah penjelasan kenapa aku merasa seolah penyebab hal diatas adalah kombinasi antara kertas dan pena?  Sebab, ketika kata-kata kuketik di komputer (baik offline maupun online), mereka bisa mengalir lancar, berlari dengan santai, dan semua tersampaikan.  Tapi ketika aku memegang pena, mereka berhenti di paragraf ketiga.

Mungkin, aku memang harus berubah dari penulis jadi pengetik... :p

(Ya, kalimat terakhir itu hanya bercanda, sebab toh esensi hasil keduanya sama saja: sesuatu yang bisa kalian baca.)

Sunday, February 24, 2013

The Soundtrack for the Story

Jika hidup adalah seperti dalam film, maka haruslah ada sebuah lagu yang bisa merangkum keseluruhan jalan ceritanya (minimal, merangkum tiap bagian utamanya).  Dalam hidupku, ada satu bagian yang sangat penting bagi makna eksistensi dan identitas yang kubentuk.  Aku selalu berusaha menempatkan diri sebagai cermin, tempat mereka (yang ingin) bisa melihat diri mereka sendiri.  Tempat mereka bisa mengamati dan menyadari apa-apa yang ada, yang belum mereka sadari.  Seperti yang seringkali kubilang, tujuanku melakukan itu ada dua: pertama, untuk bercermin dari mereka, dan kedua, untuk merasa bahagia karena telah sedikit berperan dalam perjalanan mereka menjadi lebih baik.  Dan lagu yang kurasa tepat untuk merangkum hal itu adalah Fix You dari Coldplay (2005).  Berikut adalah lirik dan terjemahan bebas bahasa Indonesianya (untuk mereka yang kurang memahami bahasa Inggris):

"Fix You"  
When you try your best, but you don't succeed
When you get what you want, but not what you need
When you feel so tired, but you can't sleep
Stuck in reverse

And the tears come streaming down your face
When you lose something you can't replace
When you love someone, but it goes to waste
Could it be worse?

Lights will guide you home
And ignite your bones
And I will try to fix you

And high up above or down below
When you're too in love to let it go
But if you never try you'll never know
Just what you're worth

Lights will guide you home
And ignite your bones
And I will try to fix you

Tears stream down your face
When you lose something you cannot replace
Tears stream down your face
And I...

Tears stream down your face
I promise you I will learn from my mistakes
Tears stream down your face
And I...

Lights will guide you home
And ignite your bones
And I will try to fix you 

Terjemahan bebasnya:

"Menyembuhkanmu"
Ketika kau telah berusaha sebaik mungkin, namun belum berhasil
Ketika kau mendapatkan yang kau ingin, tapi bukan yang kau butuhkan
Ketika kau merasa sangat letih, tapi tak bisa memejamkan mata
(karena) Terjebak di perputaran arus yang terus membalik (Tak membawaku maju)
Dan airmata pun mengaliri wajahmu
Saat kau kehilangan sesuatu yang tak tergantikan
Saat kau menyayangi seseorang, tapi rasa itu tersia-siakan
Saat kau merasa tak ada lagi yang lebih parah dari itu

Cahaya akan membimbingmu pulang
Dan menyalakan semangat sampai ke tulangmu
Dan aku akan mencoba menyembuhkanmu

Baik ketika kau di atas maupun di bawah,
Ketika kau terlalu sayang untuk merelakan dan melepasnya
Jika kau tidak mencoba, kau tidak akan pernah tahu
Seberapa besar arti dirimu

Cahaya akan membimbingmu pulang
Dan menyalakan semangat sampai ke tulangmu
Dan aku akan mencoba menyembuhkanmu

Airmata pun mengaliri wajahmu
Saat kau kehilangan sesuatu yang tak tergantikan
Airmata mengaliri wajahmu
Dan aku...

(Ketika) Airmata mengaliri wajahmu
Aku berjanji padamu bahwa aku akan belajar dari kesalahan-kesalahanku
Airmata mengaliri wajahmu
Dan aku...

Cahaya akan membimbingmu pulang
Dan menyalakan semangat sampai ke tulangmu
Dan aku akan mencoba menyembuhkanmu

Inti dari lagu ini adalah, seberapa parahpun keadaanmu, seberapa terpurukpun jatuhmu, jika kau mau melihat kedalam, kau akan bisa menemukan cahaya semangat itu di dalam dirimu.  Dan akan selalu ada orang yang berusaha membantumu.  Semata-mata karena dia peduli.

Dan aku berusaha menjadi orang itu, orang yang ingin menyembuhkan mereka.  Berusaha untuk menjadi cermin dimana mereka bisa menemukan cahaya untuk membimbing mereka pulang.  Cahaya itu bukan dariku, tapi dari dalam mereka sendiri.  Sebab aku yakin, jawaban untuk segala pertanyaan kita ada dalam diri kita sendiri, meski mungkin kita butuh mata orang lain untuk bisa melihatnya....

 

Friday, February 22, 2013

Melankoli Pagi Hari: Tentang Nama-Nama dalam Cerita

Pagi ini, aku membuka mata bersamaan dengan Zia.  Melihat mata mungil tajamnya tersenyum sebuah rasa pun muncul di solar plexus, yaitu campuran antara bahagia, senang, gemas, dan ingin tertawa.  Aku pun tersenyum bersamanya.  Ketika itulah aku teringat sejumlah nama dan sejumlah kata yang kuanggap bermakna.  Secara spesifik, aku teringat puisiku yang berjudul Garis Darah.  

Puisi itu kutulis sekitar tahun 2009 (atau 2010, aku lupa yang mana) dan awalnya kujuduli Anak Panah.  Dalam puisi itu, aku menyampaikan posisi dan sudut pandangku dalam berhubungan dengan orang-orang yang kuanggap berharga.  (Orang-orang yang kumaksud disini adalah mereka yang telah rela membagi masalahnya untuk kudengarkan, dan mereka yang telah mau kubuat sedikit lebih senang.)  Baris pertama puisi itu, "Aku hanya merentang busur," kira-kira mengandung makna bahwa aku hanya membantu memberikan sedikit dorongan kepada mereka untuk terbang.  Selanjutnya, "Anak panah itu biar terbang bersama angin."  

Aku benar-benar tidak mengharapkan apa-apa dari mereka selain sekelumit cerita ketika mereka sejenak berhenti berlari.  Sebab aku adalah pencerita.  Pembaca.  Yang kucari dan kubisa hanya kata-kata.  (Kata-kata adalah bentuk ekspresi yang kupilih, sama seperti mereka memilih cahaya, gerak, bentuk, warna, atau nada untuk mengungkapkan diri.)  Pernah suatu ketika, seseorang yang aku 'bantu' (maaf jika kata itu terkesan congkak) tak pernah menoleh lagi setelah berlari.  Jujur, aku sama sekali tak sakit hati meskipun dia menghilangkanku dari cerita hidupnya.  Sebab bagiku, setelah gandewa itu kulepas, dan mereka melesat, tugasku selesai.

Awal tahun ini, puisi itu kemudian kuganti judulnya menjadi Garis Darah.  Sebab ternyata pada Zia aku juga memposisikan diri sama seperti pada para 'anak panah' itu.  Aku hanya mempersiapkan dia untuk melesat sendiri.  Untuk menjadi.  Dia mungkin 'menjadi helai-helai keentahan/atau mencuri bulan.'  Dia mungkin 'membunuh kijang/atau membujuk hujan.'  Dan aku akan duduk diam disini mengamati.  Aku bukan tak peduli, aku hanya takkan mengintervensi larinya jika memang dia telah siap berlari.  Sekali lagi, aku percaya bahwa tugasku hanya mempersiapkannya untuk berlari.   'Jika suatu hari dia ingin kembali/Aku akan ada disini.'  Aku akan berterima kasih jika mereka kembali membawa kisah, sedih ataupun bahagia, tapi aku takkan memaksa, apalagi sampai sakit hati karena mereka lupa.

Intinya, meski puisi itu ditulis untuk nama-nama yang (sebagian pernah, sebagian masih) ada dalam ceritaku, karena Zia-lah aku mengubah judulnya.  Sebab, dari mereka aku belajar banyak.  Kata-kataku adalah cermin.  Dari apa yang kusampaikan pada mereka, aku melihat dan membaca diriku sendiri.

Selamat pagi.



Thursday, February 21, 2013

Everybody is Special: Semacam 'analisis' tapi sebenarnya bukan

"Everybody is Special" Demikianlah judul salah satu blog yang saya baca (jamaniastoeti.blogspot.com).  Dan tiap kali saya membaca kalimat itu, saya selalu tergelitik untuk mengomentari (untuk tidak menyebut mengkritisi).  Sebagai justifikasi, saya adalah mahasiswa jurusan bahasa.  Segala sesuatu mengenai bahasa tidak bisa tidak selalu menjadi ketertarikan besar bagi saya.  Bahkan, saya dan beberapa teman mahasiswa yang sepemikiran sering membahas banyak hal, yang kebanyakan tidak penting, dari sudut pandang bahasa, sampai-sampai ada sebuah lelucon yang sering kami lontarkan: "Dasar anak bahasa, sagala ge di bahas a." (Frase terakhir itu adalah bahasa Sunda yang jika diterjemahkan kurang lebih berarti, "segalanya dibahas", sementara 'a' adalah ekuivalen untuk 'bang/kak/mas' di budaya lain.)  Otak saya sepertinya telah tanpa sadar saya atur untuk selalu memperhatikan dan menemukan kejanggalan-kejanggalan dalam bahasa.

Kembali lagi ke judul tulisan ini, dan judul blog yang saya baca itu.  Jika kita terjemahkan ke bahasa Indonesia, maknanya adalah "setiap (semua) orang spesial."  Apa yang salah dengan pernyataan ini?  Tidak ada.  Tapi ada yang menggelitik jika kita telaah maknanya.  Saya rasa kita sepakat bahwa kata 'spesial' bermakna luar biasa/di luar kebiasaan/tidak biasa.  Dan sesuatu yang tidak biasa-biasa saja adalah sesuatu yang tidak gampang (tidak biasa) kita temui.  Jika kita mau sedikit ekstrim, 'special' ('spesial/khusus') bisa dipasangkan atau dipertentangkan dengan 'common' ('umum/jamak/wajar/biasa').  Inilah yang menggelitik saya.

Sesuatu hanya bisa menjadi spesial jika disandingkan dengan segala sesuatu yang lain yang bersifat biasa.  Sesuatu menjadi khusus ketika dia berbeda dari yang umum.  Sesuatu yang luar biasa adalah tidak wajar karena berada di luar koridor kebiasaan dan kewajaran.  Dan ketika kita terapkan kerangka 'semua' pada kata 'spesial', maka kita akan kehilangan pasangan pembanding tadi.  Seperti segala sesuatu di dunia ini, tanpa pasangan, makna akan hilang (percaya atau tidak, tapi itulah kenyataannya).  Semua orang spesial berarti tidak ada orang yang biasa-biasa saja.  Dan ketika tidak ada yang biasa, bukankah spesial itu sendiri menjadi sesuatu yang umum, sesuatu yang jamak, sesuatu yang wajar?  Dan bukankah dengan demikian, kekhususan itu menjadi tak berarti?

Sebagai ilustrasi, seorang siswa SMU yang memiliki kemampuan bahasa Inggris yang baik adalah spesial di kelasnya, sebab teman-temannya tidak memiliki kemampuan bahasa Inggris sebaik dirinya.  Tapi, tempatkan siswa yang sama di, misalnya, Jurusan Bahasa Inggris sebuah universitas ternama, dia tentunya tidak akan menjadi spesial.  Di tempat baru tersebut, kekhususan siswa tadi akan menjadi tidak khusus lagi, sebab kemampuan bahasa Inggris yang baik tentunya adalah hal yang jamak di Jurusan Bahasa Inggris universitas.

Kalimat 'everybody is special' mungkin terdengar menyanjung, seolah-olah kau punya sesuatu yang luar biasa.  Aku tak menyangkal itu.  Fakta bahwa kau menang bersaing dengan miliaran sel sperma lain ketika mengejar sel telur dulu sudah membuktikan itu.  Kita semua punya sesuatu yang hanya dimiliki oleh kita sendiri.  Tapi, janganlah kau mau terjebak, lalu merasa dirimu lebih, menjadikanmu angkuh.  Sebab sesuatu yang kau punya itu tidaklah menjadikanmu lebih baik dari yang lainnya, sebab setiap orang lain juga sama sepertimu, memiliki sesuatu yang tak dipunya orang lain.

Demikianlah, kawan, tak selamanya sesuatu yang spesial itu bermakna lebih atau luar biasa, sebab ketika pasangan-penentang-pembandingnya sama spesialnya, maka dia akan jadi biasa saja.


Wednesday, February 20, 2013

Sebuah Mimpi yang Belum Menjadi

Jika kau percaya bahwa semua berawal dari mimpi, maka kau juga pasti (ingin menjadi) seorang pemimpi untuk mengawali semuanya.  Tapi, untuk bermimpi, manusia perlu tidur.  Baik secara literal maupun figuratif.  Untuk tidur, kita perlu meminimalisir kerja segala indera, dan memaksimalkan kerja otak dan alam bawah sadar.  Biarkan benak memilah dan memilih ratusan ribu sinyal yang kita terima setiap hari.  Setelah itu, jangan lupa bangun lagi.

Aku selama ini terjebak di dalam tidur, di dunia mimpi.  Sudah terlalu lama aku membiarkan alam bawah sadarku menggodok berbagai ide, inspirasi, imajinasi, dan harapan.  Sampai aku lupa bahwa di dunia nyata aku belum melakukan apa-apa.  (Aku tiba-tiba ingat celetukan di masa lalu: untuk membangunkan seseorang, kita bisa memercikinya dengan air.  Jika dia masih tertidur, guyur.  Dan aku saat ini bukan hanya diguyur tapi juga ditenggelamkan hingga paru-paru memaksaku untuk membuka mata.)  Sampai saat ini, dunia yang tahu aku ada sangat sempit.  Sementara yang lain telah bangkit, mengenakan sepatu, dan berlari.  Aku masih tersungkur di balik selimut.  Hanya sesekali menggeliat untuk menunjukkan bahwa aku masih hidup.  Dan, kawan, sesungguhnya hidup yang semacam itu tidak lebih baik dari mati.

Mimpiku yang utama, sebagaimana mimpi banyak orang lainnya, adalah membuat dunia melihat keberadaanku.  Aku ingin orang-orang membaca pikiranku sebagaimana aku membaca (selintas) pikiran orang-orang hebat yang membuka diri lewat tulisan.  Aku tak benar-benar berharap mereka mau peduli, aku hanya ingin menyuarakan diri.  Kalaupun mereka tak mau memandang, setidaknya aku berharap bisa mendapat sejumlah lirikan.  (Untukku yang hidup bagai hantu, sekedar lirikan saja sudah berarti sangat banyak.)  

Aku ingin menulis.  Selain sebagai sarana untuk mengeluarkan apa yang telah aku cerna, juga sebagai sarana untuk melakukan perjalanan ke dalam, menemui diriku sendiri.  Pemikiran dan perenungan yang kulakukan dalam tidur ini ingin kusuarakan.  Dengan sedikit harapan bahwa mereka bisa tahu bahwa tidurku punya sedikit makna. :)  

Masalahnya, aku masih tersangkut pada hal-hal teknis terkait dengan penulisan.  Aku terlalu lama menyibukkan diri di dunia ide, dan akibatnya kurang mengasah kemampuan praktis untuk menjelmakan ide itu menjadi sesuatu yang konkrit.  Dan aku rasa, aku ingin, sekaranglah saatnya apa-apa yang abstrak itu aku wujudkan.

Maaf, aku tahu tulisan ini tidak punya isi yang berarti untuk memperkaya diri kalian.  Aku sadar bahwa kalaupun tulisan ini tidak dibagi, tidak banyak pengaruhnya bagi kalian.  Tapi, untuk kali ini, aku mau egois dulu.  Menuliskan ini untuk diriku sendiri, sekedar sebagai pengingat saja, sebab aku pelupa.

Terima kasih.

Apa yang Kau Cari? (Sekedar Hasil Imajinasi yang Terlalu Liar)

Beberapa waktu lalu, sebuah ide menemukanku.  Berawal dari keterangan bahwa sebelum dikirim ke rahim, ruh bersaksi (bersumpah/berjanji) di depan Tuhannya.  Aku percaya ini.  Ketika ide tersebut menemukanku, aku tersadar bahwa kesaksian itu adalah salah satu bentuk dialog.  Aku rasa, lebih tepatnya aku harap, ketika ruh bersaksi, ada dialog-dialog lain yang terjadi dengan Tuhan.  Maka imajinasiku pun mulai menari-nari, berlari-lari mencari apa-apa saja yang tersambung dengan jaring laba-laba yang berpusat di ide ini.  Inilah yang kudapat.

Manusia selalu mencari.  Sebagian besar mungkin tidak tahu apa yang mereka cari, tapi dorongan itu tetap mereka penuhi: dorongan untuk menemukan--untuk memahami.

 Menurutku, manusia sebenarnya berusaha menemukan kembali ilmu yang dulu pernah mereka tahu.  Ilmu itu mungkin pengetahuan (sesuatu yang mereka tahu) tentang (sebagian atau segala sesuatu mengenai) semesta, sebab bukankah sebelum lahir mereka bersama Sang Maha Tahu?  Aku berpikir-pikir, merasa-rasa, mereka-reka sampai kesadaran membawaku ke satu titik.  Makin kurunut, makin aku percaya: sesungguhnya manusia selalu berusaha kembali ke fitrahnya.

Fitrah adalah keadaan awal.  Dan keadaan awal manusia adalah penuh ilmu; mengetahui.  Atau mungkin lebih tepat jika disebut memahami.  Mungkin pengetahuan/pemahaman itu bukan jenis yang terpakai di dunia yang mereka tinggali, oleh sebab itu mereka kemudian menggantinya dengan pengetahuan/pemahaman praktis lain yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup.

Aku menduga bahwa setelah manusia dikeluarkan dari rahim ibunya, ilmu yang dipahaminya dari Sang Maha Tahu masih terbawa, dan manusia sesungguhnya merasakan hal itu.  Perlahan-lahan (dalam waktu tiga tahun pertama kehidupannya), pemahaman itu tergeser, tertindih, terganti oleh berbagai pengetahuan yang dipelajarinya dari lingkungan.  Sadarkah kau bahwa kau hanya bisa mengingat jelas pengalamanmu setelah kau berusia antara tiga dan empat tahun?  Memang, salah satu penjelasan kenapa manusia tidak bisa ingat tiga tahun pertama kehidupannya adalah karena dia belum memiliki kerangka atau konsep untuk memetakan pengalamannya.  Setelah otaknya cukup berkembang, barulah dia membuat  sebuah konsep untuk memahami pengalaman.  Dan mungkin saja yang akan dicarinya sepanjang sisa hidupnya adalah pemenuhan (penyempurnaan) dari kerangka dan konsep awal tersebut.

Tapi aku menduga, yang sebenarnya manusia cari bukanlah penyempurnaan (atau bahkan pembenaran) untuk kerangka yang dipakainya dalam menjalani dan memetakan hidupnya.  Yang dicarinya adalah sesuatu untuk mengisi kekosongan (menghapus kerinduan)nya akan ilmu yang samar-samar dia rasakan, meski dia tak ingat lagi.  Ilmu yang mengandung pemahaman tentang segala sesuatu, termasuk dirinya sendiri.  Ilmu yang dibisikkan oleh Penciptanya dan kemudian hilang dalam tiga tahun pertama hidupnya di dunia.  Bukankah ini yang jadi dasar perjalanan manusia: keinginan untuk memahami dirinya sendiri.  (Dan jika kita percaya pada omnia ab uno, omnia nodes arcannes connexa--segalanya berasal dari yang satu dan segala sesuatu itu sesungguhnya saling berhubungan, maka ketika manusia ingin memahami dirinya sendiri sesungguhnya dia juga ingin memahami semesta yang berhubungan dengan dirinya.)

Manusia membongkar semesta, mengacak-acak segala ruang, merumuskan berbagai konsep, hanya untuk satu hal: berusaha menemukan bayangan dirinya sendiri dari cermin alam; melihat dimana dia harusnya berdiri untuk benar-benar menjadi; memahami dirinya sendiri, bukan sekedar mengetahui.

(Beda tahu dan paham adalah ini: Mengetahui berkenaan dengan pikiran, yaitu simpanan data pengalaman dan tafsiran indera, sifatnya kuantitatif.  Sementara memahami berkaitan dengan perasaan, yaitu setruman impuls yang membuatmu menyadari makna, sifatnya kualitatif.  Aku tak ingin sok tahu dengan bilang bahwa pemahaman lebih penting, lebih indah, lebih sempurna, lebih baik dari pengetahuan.  Tapi, sekali lagi menurutku, memahami--menyadari makna--lebih punya bobot dari sekedar mengetahui--mengindera tanda.
     Orang yang ingin mengetahui seringkali terjebak pada kerangka benar-salah.  Memang mereka ingin mencari kebenaran lewat pengetahuan.  Namun, yang mereka kejar adalah pemenuhan rasa ingin tahu tentang seperti apa 'bentuk' kebenaran itu.  ketika mereka menemukan bentuk yang 'tidak benar', mereka akan menolaknya.  Mungkin secara kasar, mengabaikan 'ketidakbenaran' itu untuk kemudian mencari bentuk lain yang 'benar'.  Mungkin pula secara halus, membedah 'ketidakbenaran' itu untuk mengidentifikasi kebalikannya, 'kebenaran', yang kemudian akan mereka cari.
   Pertanyaannya, apakah 'kebenaran' memang merupakan kebalikan dari 'ketidakbenaran'?  Kerangka benar-salah, hitam-putih-abu-abu ini, yang mempertentangkan segala sesuatu, hanya bisa menerima satu bentuk.  Mereka yang memakai kerangka pikir ini hanya ingin mencari putih yang benar-benar putih.  Kalaupun ada yang mengakui abu-abu, itu lebih sebagai bentuk toleransi--atau kompensasi-- atau bahkan back-up plan, kalau-kalau mereka tidak bertemu putih yang sebenar-benar putih.  Tapi, tetap saja mereka mengingkari hitam, sebab hitam adalah kebalikan dari putih.  'Ketidakbenaran' adalah kebalikan dari 'kebenaran',
     Mereka yang ingin memahami kebenaran akan lebih condong pada pencarian/perumusan makna kebenaran itu sendiri.  Mereka bahkan mungkin tidak peduli pada bentuk.  Mereka mengamati esensi.  Untuk menghayati esensi putih, mereka tidak mempertentangkannya dengan hitam.  Mereka akan menelaah melampaui bentuk permukaan.  Hitam akan dimaknai sebagai salah satu kerangka untuk melihat putih.   Bagi orang-orang ini, putih bukan lawan hitam.  Mereka lebih menghayati putih sebagai gabungan spektrum warna, bukan kebalikan dari satu warna tertentu.
     Dan kawan, menurutku itulah beda paham dan tahu.)


Tuesday, February 19, 2013

Preview Janin Tak Lahir

Sementara menunggu kematangan draft-draft tulisanku, berikut ini preview untuk buku kumpulan puisi ketigaku: Janin Tak Lahir.  Direncanakan, puisi-puisi didalamnya akan berkisar pada tema utama seksualitas dan identitas remaja.  Tapi, sebagaimana biasa terjadi pada tulisan-tulisanku, tema utama itu tidak menjamin isi bukunya sepenuhnya tentang itu.  Sebab, seperti yang bisa dilihat dari preview berikut ini, aku seringkali hanya menuliskan kisah yang kutafsir dari semesta. :)

Kacamata

Bahagia adalah sederhana
Hanya soal cara baca atau tempat berdiri
Sebab yang kau rasa adalah apa yang kau pikir
Dan benak hanya menafsir apa yang terlihat dalam cermin
           
Wahai, Katak, buang tempurungmu!
            Kau bukan kelomang atau kura-kura.
            Wahai, Pungguk, lihat kebawah!
            Tikusmu ada disana.

Bahagia adalah sederhana:
Geser dudukmu dan menoleh saja.

                                                             Fiani R.

Garis Darah
          :Femia dan yang lainnya


Aku hanya merentang busur

Anak panah itu biar terbang bersama angin
Kemanapun dia ingin
Mengalir bersama air
Menyapu batu, menyisir pasir

Menjadi helai-helai keentahan
Atau mencuri bulan

Membunuh kijang
Atau membujuk hujan

Jika satu hari dia ingin kembali
Aku akan ada disini
Untuk menyimak tiap kata
Dan belajar dari kisahnya

Sebab aku pasti akan menjadi tua
Peranku berakhir, sementara ceritanya bermula

                                                            Fiani R.


            Dewa Ruci

(Tuhan Ada Dalam Hati)

Mereka yang merasa ditinggalkan Tuhannya adalah pelupa
Sebab Tuhan tak kemana-mana
Yang demikian itu termaktub dalam kitab-kitab yang disucikan orang-orang tua
Mereka lupa pada Dewa Ruci
Yaitu bagian kecil paling suci dalam hati
Tempat semesta menjelma diri
Yang demikian ini telah dipelajari oleh orang-orang yang mengerti

Mereka lupa bahwa sebenarnya merekalah yang meninggalkan Tuhannya
Ketika mereka berdekapan menanggalkan celana
Ketika meeka menyuntikkan bahagia buatan
Ketika mereka bercerita tentang suara-suara dalam mimpi
Yang demikian adalah yang memenuhi benak mereka—membuat lupa

Mereka yang mencari Tuhan adalah mencari cermin
Untuk melihat Dewa Ruci
Bukan di rimba-gunung-samudera
Tapi dalam hati mereka sendiri


                                                                      Fiani R.
 

Curhat Pagi Buta
                       : S

Cinta adalah cinta
Tak peduli dengan apa kau menopengnya
Tak peduli rasa itu kau namai apa
Dan dia tak butuh apa-apa darimu
Tak bentuk, tak nama, tak pula pengakuan atau penyangkalan

Sebab rasa itu bermula di jantungmu
Mengalir bersama darah
Memutasi semua sel yang ada
Dan sebab jantung bergerak sendiri, tak peduli otakmu bilang apa,
Dialah yang akan membentukmu—menjadi pemuja atau pendusta

Jadi, Dik, kalau kau memang sudah jatuh ke dalamnya,
Nikmati saja.

                                                                         Fiani R.


Kurasa, cukup empat puisi ini saja dulu, namanya juga preview. :)  Jika kalian sempat membaca, silakan komentari.  Terima kasih.

Keangkuhan Pengetahuan

Ini sekedar catatan kecil tentang kesadaran yang tiba-tiba.
Aku baru saja membaca sebuah blog berbahasa Indonesia yang kupilih secara acak dari daftar blog yang diikuti oleh seorang teman.  Ketika membaca itulah aku tiba-tiba sadar bahwa ada banyak kata bahasa Indonesia yang kutahu artinya, tapi jarang sekali kugunakan lagi dalam tulisan-tulisanku.  Dulu, ketika SMA, dan tahun-tahun pertama berkuliah di jurusan Sastra Inggris UPI, aku masih suka bereksperimen menggunakan spektrum kata yang luas dalam puisi-puisiku.  Entah dengan memanfaatkan bunyi, bentuk, atau makna, aku hampir selalu berusaha memaksimalkan penggunaan kekayaan kosakata bahasa Indonesia.  Tapi sekarang, perbendaharaan kataku seolah menyusut.  

Hal ini mungkin dikarenakan aku sudah lama tidak menulis, lebih tepatnya, tidak menulis dalam bahasa Indonesia.  Mungkin juga disebabkan oleh telah jarangnya aku membaca (tulisan berbahasa Indonesia).  Aku pun tersadar bahwa mungkin aku telah menjadi sombong.  Terlepas dari fakta bahwa kebanyakan tulisan berbahasa Indonesia yang beredar di pasaran (aku berbicara tentang novel-novel 'ala-kadarnya' dan status-status di jejaring sosial) memang kurang nilai mutunya, aku seharusnya tidak boleh serta-merta menihilkan mereka.  Selama beberapa tahun terakhir ini, aku hanya mau membeli (dan membaca) novel-novel karangan nama-nama yang memang sudah kukenal kualitasnya.  Meski banyak yang menyarankan untuk membaca karya penulis-penulis lain (kebanyakan penulis muda), aku tetap bergeming.  Begitu pun dengan novel terjemahan, aku berusaha sebisa mungkin untuk mendapatkan dan membaca versi berbahasa Inggrisnya.  Akibatnya, banyak kata dalam perbendaharaan bahasa Indonesiaku yang tergusur ke alam bawah sadar, dimana butuh perjalanan ekstra untuk menjemputnya kembali ke ujung jari dan menggunakannya ke dalam tulisan.

Dan, itulah kesadaran, kawan.  Menghantammu tiba-tiba dengan sekeping cermin sehingga kau bisa melihat apa yang tadinya kau terima begitu saja.  Dan cermin yang kubaca barusan memantulkan bayangan wajahku yang tersenyum congkak.

Sekali lagi, ini hanya catatan singkat tentang kesadaran yang tiba-tiba.  Kesimpulannya, aku harus lebih sederhana dan menghargai setiap karya, sesuai dengan mutunya.

Trying to Jump-Start My Engine

Kemarin malam, dengan koneksi internet yang tersendat-sendat, aku menemukan kembali blog seorang adik.  Membaca tulisan-tulisannya kini, aku merasakan sebuah kebahagiaan, sebab dia telah dewasa.  Aku tahu bahwa aku tidak banyak berperan dalam hidupnya, tapi tetap saja aku merasa bahagia melihatnya tumbuh menjadi seorang yang luar biasa.  Meski tidak memiliki banyak andil dalam pertumbuhan dan perkembangannya, aku ingin berpura-pura bahwa pada suatu waktu yang lampau, dia adalah anak panah yang pernah singgah sejenak di tali busurku.  Kemudian, aku memberi sedikit tolakan dengan menarik tali busur agar dia meluncur.  Setelah itu, aku kembali duduk diam mengamati.  Dan kini, aku merasa bahagia karena anak panah itu telah menjelma sesuatu yang bukan sekedar saja.

Teringat pada masa lalu, aku pun merefleksi (salah satu hal pahit yang harus dilakukan).  Terkenanglah aku bahwa dulu aku pernah mendefinisikan diri sebagai pemuisi, mengaku sebagai seorang yang mencintai kata-kata.  Dan (ini bagian pahitnya) tersadarlah aku bahwa mungkin aku telah menjadi pendusta.  Sebab, anak panah dulu telah menuliskan kedewasaannya, sementara aku masih tersedak inspirasi tak tercerna.  Sesungguhnya, di blog ini ada begitu banyak draft tulisan yang belum teredit.  Entah karena aku perfeksionis yang belum puas dengan tulisan-tulisan itu, atau justru seorang yang tidak tahu kemampuan sendiri.   Yang manapun itu, aku belum menerbitkan tulisan-tulisan tersebut karena aku merasa mereka masih setengah matang.  Dan aku rasa tidaklah layak aku menyuguhkan sesuatu yang mungkin membuat mual pada sidang pembaca sekalian.

Dengan tulisan (yang mungkin tanpa isi) ini, aku sebenarnya sedang berusaha memantik kembali api yang bisa mematangkan tulisan-tulisan tersebut.  Aku akan perlu menghentikan dulu aliran ide dan merapikan apa-apa yang telah ada.  Merumuskan kerangka, menyusun potongan-potongan ide ke tempatnya, kemudian menghiasnya dengan kata-kata.  Barulah aku bisa sedikit berpuas diri menyajikannya kepada kalian.

Ada banyak ide yang nanti akan kuterbitkan, diantaranya adalah pemikiran-perenunganku tentang konsep pasrah kepada rencana Tuhan, konsep omnia ab uno, omnia nodes arcannes connexa, konsep keseimbangan.  Selain itu ada juga hasil imajinasi-irasional tentang kenapa kita hanya bisa ingat memori setelah berumur 3 tahun, apa yang sebenarnya kita cari (kejar) dalam hidup, dan beberapa hal lain yang kurumuskan dari pengamatanku selama ini.

Jadi, untuk adikku yang telah dewasa: terima kasih, kau sekali lagi menjadi inspirasi dengan caramu sendiri.

About Me

My photo
seorang separuh autis yang memandang dunia dari balik kaca jendelanya. ia duduk diam mengamati,membaca dan menafsir tanda, mencari makna.