Monday, February 25, 2013

Kata-Kata yang Berlari, Hanya Setengah Sampai

Enam buku tulis telah terisi penuh sejak pertama aku memutuskan untuk menuangkan gagasan dan pemikiran-pemikiranku (yang penting maupun yang konyol, yang memperkaya maupun yang sekedar membuat tertawa) dalam bentuk tulisan dan puisi-puisi.  Tapi setelah buku keenam itu, coretan gagasan-gagasanku berceceran dimana-mana.  Di carikan-carikan kertas, di sela-sela catatan kuliah, di WOH (Whisper of the Heart, buku curhat bersama anggota Hima Bahasa Inggris era Pentagon), di mana-mana.  Sebagian terselamatkan dan masih kusimpan.  Sebagian lagi menghilang.  

Sekarang, aku telah beberapa kali membeli buku tulis ketujuh.  Buku tulis dengan kriteria yang sama seperti yang selalu kugunakan: tebalnya lebih dari 100 lembar.  Tapi, baik buku tulis keluaran PT. S*nar D*nia, buku tulis berjudul 'Campus', buku tulis bersampul tebal dengan pola kotak-kotak (kurasa kalian tahu buku mana yang kumaksud), maupun buku tulis berjuluk 'agenda' yang biasa digunakan oleh orang-orang kantoran, tetap tidak bisa benar-benar menjadi buku yang ketujuh.  Kali ini, sebabnya adalah gagasan-gagasanku yang jadi pemalu.  

Aku bisa saja beralasan bahwa aku tak punya ruang atau waktu lagi untuk menulis panjang dan merenung lama.  Tapi itu tidak benar.  Kata-kata yang dulu selalu mengalir bebas sampai semua emosi terwakili sekarang seperti sedang sprint berkelompok.  Mereka berlarian begitu cepat mewakili semua emosi... tapi tak semuanya sampai.  Sebagian berhenti sebelum sampai di ujung jari.  Dan emosi yang diwakili oleh kata-kata yang kelelahan itu pun tak tertuliskan. 

Entahlah... mungkin aku mulai bosan, atau mulai merasa bahwa kata-kata itu takkan kemana-mana.  Mungkin pula karena aku mengutuk diri sendiri dengan menargetkan bahwa kumpulan puisiku berikutnya akan berjudul 'Janin Tak Lahir' (dan sebab nama adalah do'a, puisi-puisi itupun tak sampai lahir ke dunia).  Mungkin juga karena aku telah kehabisan cerita untuk dijadikan pemantik inspirasi.  Apapun alasannya, akhir-akhir ini semangat menulisku seolah api yang membakar spiritus:  menyala terang, tapi cepat padam.  Gagasan-gagasan hasil perenungan mendalam hanya tertulis pengantarnya saja, sebab begitu sampai pada paragraf kelima, aku seperti kehilangan kata-kata.  Kalaupun jadi tulisan panjang, itu cuma kumpulan berbagai gagasan yang saling tumpang tindih tanpa kejelasan mana ujung mana pangkalnya.

Dan beberapa minggu terakhir, ada satu pertanyaan baru yang mengusikku: Adakah penjelasan kenapa aku merasa seolah penyebab hal diatas adalah kombinasi antara kertas dan pena?  Sebab, ketika kata-kata kuketik di komputer (baik offline maupun online), mereka bisa mengalir lancar, berlari dengan santai, dan semua tersampaikan.  Tapi ketika aku memegang pena, mereka berhenti di paragraf ketiga.

Mungkin, aku memang harus berubah dari penulis jadi pengetik... :p

(Ya, kalimat terakhir itu hanya bercanda, sebab toh esensi hasil keduanya sama saja: sesuatu yang bisa kalian baca.)

No comments:

Post a Comment

About Me

My photo
seorang separuh autis yang memandang dunia dari balik kaca jendelanya. ia duduk diam mengamati,membaca dan menafsir tanda, mencari makna.