Beberapa waktu lalu, sebuah ide menemukanku. Berawal dari keterangan bahwa sebelum dikirim ke rahim, ruh bersaksi (bersumpah/berjanji) di depan Tuhannya. Aku percaya ini. Ketika ide tersebut menemukanku, aku tersadar bahwa kesaksian itu adalah salah satu bentuk dialog. Aku rasa, lebih tepatnya aku harap, ketika ruh bersaksi, ada dialog-dialog lain yang terjadi dengan Tuhan. Maka imajinasiku pun mulai menari-nari, berlari-lari mencari apa-apa saja yang tersambung dengan jaring laba-laba yang berpusat di ide ini. Inilah yang kudapat.
Manusia selalu mencari. Sebagian besar mungkin tidak tahu apa yang mereka cari, tapi dorongan itu tetap mereka penuhi: dorongan untuk menemukan--untuk memahami.
Menurutku, manusia sebenarnya berusaha menemukan kembali ilmu yang dulu pernah mereka tahu. Ilmu itu mungkin pengetahuan (sesuatu yang mereka tahu) tentang (sebagian atau segala sesuatu mengenai) semesta, sebab bukankah sebelum lahir mereka bersama Sang Maha Tahu? Aku berpikir-pikir, merasa-rasa, mereka-reka sampai kesadaran membawaku ke satu titik. Makin kurunut, makin aku percaya: sesungguhnya manusia selalu berusaha kembali ke fitrahnya.
Fitrah adalah keadaan awal. Dan keadaan awal manusia adalah penuh ilmu; mengetahui. Atau mungkin lebih tepat jika disebut memahami. Mungkin pengetahuan/pemahaman itu bukan jenis yang terpakai di dunia yang mereka tinggali, oleh sebab itu mereka kemudian menggantinya dengan pengetahuan/pemahaman praktis lain yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup.
Aku menduga bahwa setelah manusia dikeluarkan dari rahim ibunya, ilmu yang dipahaminya dari Sang Maha Tahu masih terbawa, dan manusia sesungguhnya merasakan hal itu. Perlahan-lahan (dalam waktu tiga tahun pertama kehidupannya), pemahaman itu tergeser, tertindih, terganti oleh berbagai pengetahuan yang dipelajarinya dari lingkungan. Sadarkah kau bahwa kau hanya bisa mengingat jelas pengalamanmu setelah kau berusia antara tiga dan empat tahun? Memang, salah satu penjelasan kenapa manusia tidak bisa ingat tiga tahun pertama kehidupannya adalah karena dia belum memiliki kerangka atau konsep untuk memetakan pengalamannya. Setelah otaknya cukup berkembang, barulah dia membuat sebuah konsep untuk memahami pengalaman. Dan mungkin saja yang akan dicarinya sepanjang sisa hidupnya adalah pemenuhan (penyempurnaan) dari kerangka dan konsep awal tersebut.
Tapi aku menduga, yang sebenarnya manusia cari bukanlah penyempurnaan (atau bahkan pembenaran) untuk kerangka yang dipakainya dalam menjalani dan memetakan hidupnya. Yang dicarinya adalah sesuatu untuk mengisi kekosongan (menghapus kerinduan)nya akan ilmu yang samar-samar dia rasakan, meski dia tak ingat lagi. Ilmu yang mengandung pemahaman tentang segala sesuatu, termasuk dirinya sendiri. Ilmu yang dibisikkan oleh Penciptanya dan kemudian hilang dalam tiga tahun pertama hidupnya di dunia. Bukankah ini yang jadi dasar perjalanan manusia: keinginan untuk memahami dirinya sendiri. (Dan jika kita percaya pada omnia ab uno, omnia nodes arcannes connexa--segalanya berasal dari yang satu dan segala sesuatu itu sesungguhnya saling berhubungan, maka ketika manusia ingin memahami dirinya sendiri sesungguhnya dia juga ingin memahami semesta yang berhubungan dengan dirinya.)
Manusia membongkar semesta, mengacak-acak segala ruang, merumuskan berbagai konsep, hanya untuk satu hal: berusaha menemukan bayangan dirinya sendiri dari cermin alam; melihat dimana dia harusnya berdiri untuk benar-benar menjadi; memahami dirinya sendiri, bukan sekedar mengetahui.
(Beda tahu dan paham adalah ini: Mengetahui berkenaan dengan pikiran, yaitu simpanan data pengalaman dan tafsiran indera, sifatnya kuantitatif. Sementara memahami berkaitan dengan perasaan, yaitu setruman impuls yang membuatmu menyadari makna, sifatnya kualitatif. Aku tak ingin sok tahu dengan bilang bahwa pemahaman lebih penting, lebih indah, lebih sempurna, lebih baik dari pengetahuan. Tapi, sekali lagi menurutku, memahami--menyadari makna--lebih punya bobot dari sekedar mengetahui--mengindera tanda.
Orang yang ingin mengetahui seringkali terjebak pada kerangka benar-salah. Memang mereka ingin mencari kebenaran lewat pengetahuan. Namun, yang mereka kejar adalah pemenuhan rasa ingin tahu tentang seperti apa 'bentuk' kebenaran itu. ketika mereka menemukan bentuk yang 'tidak benar', mereka akan menolaknya. Mungkin secara kasar, mengabaikan 'ketidakbenaran' itu untuk kemudian mencari bentuk lain yang 'benar'. Mungkin pula secara halus, membedah 'ketidakbenaran' itu untuk mengidentifikasi kebalikannya, 'kebenaran', yang kemudian akan mereka cari.
Pertanyaannya, apakah 'kebenaran' memang merupakan kebalikan dari 'ketidakbenaran'? Kerangka benar-salah, hitam-putih-abu-abu ini, yang mempertentangkan segala sesuatu, hanya bisa menerima satu bentuk. Mereka yang memakai kerangka pikir ini hanya ingin mencari putih yang benar-benar putih. Kalaupun ada yang mengakui abu-abu, itu lebih sebagai bentuk toleransi--atau kompensasi-- atau bahkan back-up plan, kalau-kalau mereka tidak bertemu putih yang sebenar-benar putih. Tapi, tetap saja mereka mengingkari hitam, sebab hitam adalah kebalikan dari putih. 'Ketidakbenaran' adalah kebalikan dari 'kebenaran',
Mereka yang ingin memahami kebenaran akan lebih condong pada pencarian/perumusan makna kebenaran itu sendiri. Mereka bahkan mungkin tidak peduli pada bentuk. Mereka mengamati esensi. Untuk menghayati esensi putih, mereka tidak mempertentangkannya dengan hitam. Mereka akan menelaah melampaui bentuk permukaan. Hitam akan dimaknai sebagai salah satu kerangka untuk melihat putih. Bagi orang-orang ini, putih bukan lawan hitam. Mereka lebih menghayati putih sebagai gabungan spektrum warna, bukan kebalikan dari satu warna tertentu.
Dan kawan, menurutku itulah beda paham dan tahu.)
No comments:
Post a Comment