Apa yang menyebalkan, kali ini? Kata-kata yang terus mengiang di telinga tapi tak disertai konteks cerita.
Sudah dua atau tiga minggu ini saya tak menulis puisi. Tak apa sebenarnya; saya tak pernah memaksa atau menargetkan penulisan. Saya hanya menulis ketika gagasan itu tiba. Biasanya, ia berupa sepenggal kalimat, sepotong frase, atau sebuah kata. Lalu benak saya akan mencoba merangkainya dengan kata, frase, atau kalimat lain untuk menyampaikan sebuah nuansa suasana (konteks cerita). Yang menyebalkan bagi saya adalah ketika penggalan, potongan, atau buah itu tiba tanpa bisa saya rangkai atau cari pasangan pelengkapnya.
Dalam tiga minggu terakhir ini, setidaknya ada tiga gagasan yang muncul di kepala saya. Yang pertama, tentang topeng-topeng (harfiah maupun figuratif) yang ada dalam kisah Rurouni Kenshin (Samurai X). Saya ingin menulis tentang itu, tapi yang muncul di krpala saya hanya "Himura! Himura! Kyoto membara!" Saya tak bisa mengaitkannya dengan gagasan yang ingin saya tulis. Yang kedua, terinspirasi dari gambar seekor singa betina yang memandangi kupu-kupu yang sedang terbang. Muncul satu bait di benak saya, tapi itu saja. Tak ada lanjutannya. Yang ketiga, sebuah kisah tentang seorang yang pola pikirnya begitu berbeda sehingga tak ada yang mampu memahaminya; dan ia tak punya tempat bercerita. Kalaupun ia menceritakan kisah atau perasaannya, para pendengar akan salah memahami dan menafsirkan apa yang ingin ia katakan.
Ketiga gagasan itu saya biarkan mengendap di bawah sadar sampai nanti muncul sesuatu yang bisa mematangkannya. Barulah akan saya tulis jadi puisi. Sialnya, proses fermentasi kali ini tidak terjadi dalam diam. Seolah saya tidak menutup rapat bejana tempat menyimpan gagasan-gagasan itu, aroma fermentasinya terus menguar dan mengganggu. Tiap hari, saya mendengar suara di kepala saya berteriak, "Himura! Himura! Kyoto membara!" Tapi saya masih tak menemukan bentuk untuk menuliskannya. Sudah saya coba, tapi hasilnya benar-benar tidak memuaskan. Seperti singkong kurang ragi, tapai tak menjadi. Ini yang menyebalkan! Saya tak bisa tenang sebelum suara di kepala saya diam. Tapi ia akan terus berteriak sampai ia diutuhkan. Dan saya tak jua menemukan bentuk yang melengkapinya.
Memparafrase seorang teman, "Andai ada alat untuk merekam hati, tentu tak sesulit ini." Andai emosi bisa keluar tanpa dikeluarkan, tentu hati tak sepenuh dan sesesak ini.
Selamat malam.
Sama. Saya pun sesak.
ReplyDeleteSelamat ngacapruk~ apapun. Semoga nanti lahir menjadi katakata yang diharap.
Selamat malam, bandung.
selamat malam, Seoul (meski disini hari sudah dini)
ReplyDelete