Purnama berwarna tembaga. Itu yang aku lihat tiga hari lalu. Warnanya campuran antara merah dan jingga, dengan komposisi yang sulit ditentukan. Di bawah purnama itu, aku bermain 'bagaimana kalau.' Aku berandai-andai tentang perbedaan makna dalam benak manusia. Tersusunlah sebuah cerita di kepalaku, malam itu. Cerita tanpa rincian, hanya garis besar.
Bagaimana seandainya ada seorang anak yang diperkenalkan pada Purnama oleh Ayahnya. Bagi sang ayah, yang adalah seorang pelaut, Purnama menandakan siklus pasang surut. Makna Purnama baginya selalu berhubungan dengan kegiatan pemancingan di laut lepas. Tentang gelombang pasang, tentang angin kencang, tentang susahnya menangkap ikan. Bukan tentang romantisme remaja seperti dalam novel-novel yang dibaca anaknya. Setiap bulan, selama bertahun-tahun, si Ayah bercerita kepada anaknya di bawah purnama (kecuali jika sedang hujan). Ceritanya beragam, tapi semua berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan yang diyakini oleh si Ayah.
Lalu, ketika si Anak beranjak dewasa, dan membentuk nilainya sendiri, ia memaknai Purnama dengan berbeda. Baginya Purnama bukanlah tentang pasang surut laut, tapi tentang kasih sayang dan kisah-kisah. Purnama dimaknainya sebagai penanda bahwa Ayahnya selalu bisa menyempatkan diri dan meluangkan waktu untuk mengajarinya lewat cerita, setiap bulan tanpa alpa. Itulah sebabnya, ketika ia bertemu dengan seorang wanita yang sangat menginspirasi, wanita itu dijulukinya Purnama. Diantara beragam hal lain yang mempengaruhi dan menentukan pola pikirnya, dua pengalaman yang (dalam pikirannya) diidentikkan dengan purnama ini cukup besar pengaruhnya. Purnama baginya lebih dari sekedar siklus bulan-matahari-bumi. Purnama diartikannya sebagai sebuah pengalaman emosional yang sangat dekat dengan hati, sangat pribadi.
Demikianlah, bertahun-tahun sejak ia remaja sampai ia berkeluarga, si Anak menjalani hidupnya dengan menyelipkan Purnama di celah-celah perjalanannya. Ia meneruskan tradisi duduk di bawah Purnama (kecuali jika hujan) dan merenungi nilai-nilai hidupnya. Pun ketika ia telah memiliki seorang putri. Ia memperkenalkan Purnama pada putrinya dan membagikan kisah-kisahnya tentang Purnama, dan kisah-kisah Ayahnya tentang Purnama. Ia mengajarkan pada putrinya untuk memaknai sendiri Purnama dan pengalamannya.
Gadis kecil itu tumbuh dengan kekaguman terhadap alam. Bukan hanya Purnama, ia juga mengagumi Bintang, Sabit, Hujan, Mendung, Matahari, Senja, Fajar, Debu, Kerikil, dan apapun yang ada di sekitarnya. Suatu saat nanti, ia mungkin akan meneruskan tradisi ayah dan kakeknya bercerita di bawah Purnama, mungkin juga ia malah akan membuat tradisi sendiri atau justru melupakan tradisi itu. Tak ada yang tahu. Lamunanku pun tidak sampai menyelesaikan kisah si Gadis Kecil, sebab istriku memanggil dan menyuruh istirahat, "Sudah tengah malam," katanya.
Di bawah purnama berwarna tembaga itu, aku kembali diingatkan bahwa tiap orang memiliki pemahaman dan pemaknaan berbeda tentang satu hal yang sama. Dan perbedaan itu menjadikan kita tidak bisa (tidak harusnya) menilai orang lain dengan standar nilai kita sendiri. Dan bahwa identitas kita dipengaruhi oleh orangtua (entah kita menyepakati nilai mereka, menentang nilai mereka, atau mengkompromi nilai mereka dengan nilai kita).
Selamat pagi.
No comments:
Post a Comment