Wednesday, April 30, 2014

Hyorin - Falling (English Translation)

As I walk on this unfamiliar path
I see the fallen leaves and stop in place
As I watch TV alone
I force myself to laugh once again
When this winter passes, it will be alright
Like yesterday, it will pass by quickly
Where do I go, where do I go
Until my flowing memories dry up
Just until then, I will look for you
Where do I go, where do I go
I’m falling in love
I can’t escape
I’m falling in love
I’m still in that place
Why did you only take love
And only leave behind a goodbye that I can’t handle?
So I’m still in love with you
When this winter passes, it will be alright
Like yesterday, it will pass by quickly
Where do I go, where do I go
Until my flowing memories dry up
Just until then, I will look for you
Where do I go, where do I go
I’m falling in love
I can’t escape
I’m falling in love
I’m still in that place
Why did you only take love
And only leave behind a goodbye that I can’t handle?
So I’m still in love with you
I don’t wanna cry anymore
What do I have to do?
It is endless, it is endless
I’m falling in love
I can’t escape
I’m falling in love
I’m still in that place
Why did you only take love
And only leave behind a goodbye that I can’t handle?
So I’m still in love with you
(this definitely on my top 3 of Hyorin's song; sorry Lonely didn't make the cut to my top 3)

Eminem (ft. Sia) - Beautiful Pain

[intro]

I can feel the heat rising, everything is on fire
Today is a beautiful reminder of why
We can only get brighter, the further you put it behind you
But right now I'm on the inside (looking out, cause)

[hook]

I'm standing in the flames
It's a beautiful kind of pain
Setting fire to yesterday
Find the light, find the light, find the light

[Verse 1]

Yesterday was a tornado warning, today's like the morning after
Your world is torn in half, you wake in its wake to start
The mourning process and rebuilding, you're still a work in progress
Today's a whole new chapter, it's like an enormous asthma
Thunderstorm has passed you, you weathered it and poked its eyes out
With the thorn bush that you used to smell the roses
Stopped to inhale, can't even tell that your nose is stuffed
So focused on the bright side.
Then you floored the gas pedal and hit the corner fast,
The more asserted, never looking back
May hit the curb but everyday is a new learning curve
As you steer through life, sometimes you might not wanna swerve
But you have to to avert a disaster
Lucky, no permanent damage 'cause they hurt you so bad
It's like they murdered your ass and threw dirt on your casket
But you've returned from the ashes
And that hurt that you have, you just converted to gasoline
And while you're burning the past, standing at inferno and chant

[hook]

I'm standing in the flames
It's a beautiful kind of pain
Setting fire to yesterday
Find the light, find the light, find the light

[Verse 2]

You're so familiarized with what having to swallow this pill is like
It happens all the time, take your heart and steal your life
And it's as though you feel you've died, 'cause you've been killed inside
But yet you're still alive, which means you will survive
Although today you may weep 'cause you're weakened
And everything seems so bleak and hopeless,
The light you're seeking
It begins to seep in, that's the only thing keeping you
From leaping off the motherfreaking deep-end
And I'm pulling for you to push through this feeling
And with a little time that should do the healing
And by tomorrow, you may even feel so good that you're willing
to forgive 'em
Even after all the shit you've been put through, this feeling of resilience is building
And the flames are burning quick as fire would through this building
You're sealed in, but you're fireproof flame retardant, you withstood it
And as you climb up to the roof, you're just chilling
You look down 'cause you're so over 'em, you could put the heel of your foot
Through the ceiling

[Bridge]

As as time passes, things change everyday
But wounds, wounds heal, but the scars still remaining the same
But tomorrow, today's going down in flames
Throw the match, set the past ablaze
So feel the fire beneath your feet as you barely even perspire from the heat
Exhale deep and breathe a sigh of relief
And as you say goodbye to the grief
It's like watching the walls melt in your prison cell
But you've extinguished this living hell
Still a little piece of you dies as you scream

[hook]

[Bridge]

I feel the burn, watch the smoke as I turn
Rising, a phoenix from the flames,
I have learned, from fighting fights that were not mine,
Not with fists, but with wings that I will fly

[hook]

Tuesday, April 29, 2014

Sania Sang Pencinta

pada namaku disulamkan kasih
sebuah doa yang menjadi kutuk
sebab kasih adalah memberi hati

kasih menggenggamkan pisau pada namaku
mengiris-iris hati
untuk bisa kubagi-bagi
tak menyisakan apa-apa untukku menghibur diri

pada namaku dijahitkan sayang
semacam kepedulian yang tertanam sangat dalam
pada nama-nama yang dibawa angin pada mataku

dan sebab sayang begitu dekat dengan pengkhianatan
aku kehilangan percaya
lalu membatukan kepala
berusaha untuk tak lagi peduli

tapi, sayang, pada namaku ada kutuk kasihsayang
aku tak bisa begitu saja mengabaikan begitu nama-nama
dibawa angin pada mataku
aku dipaksa namaku sendiri
untuk mengiris-iris hati, untuk dikhianati
tak menyisakan apa-apa untukku menghibur diri

pada namaku mewujud sebuah takdir
menjadi pecinta yang kehilangan hati

Daftar Putar (Renungan/Ocehan Pagi Hari)

Saya termasuk ke dalam golongan orang-orang yang memiliki sense of music atau auditory intelligence dalam jumlah yang sangat terbatas (euphemism).  Untungnya saya sedikit tertolong dengan kecerdasan berbahasa yang cukup memadai.  Meski saya tidak bisa memahami atau menikmati lagu dari  musiknya (saya tahu mana musik yang enak didengar dan mana yang tidak, tapi saya benar-benar buta nada), saya bisa menikmati lirik yang cerdas.  Demikianlah, penilaian saya mengenai bagus tidaknya suatu lagu seringkali didasarkan pada pemahaman saya akan liriknya, bukan dari kualitas musiknya.

Salah satu nama di dunia permusikan dan perlaguan yang saya senangi adalah Eminem.  Saya pertama mengenal karya Eminem sewaktu SMA.  Salah seorang teman meminta saya menerjemahkan lirik-lirik dari kaset Marshall Mather's LP.  Sejak itu, saya suka Eminem.  Terlepas dari bahasanya yang vulgar dan kasar, saya bisa menikmati kecerdasannya mengolah kata, irama, dan makna.  Ia juga fasih menggunakan berbagai majas dalam lirik-liriknya. Yang paling saya nikmati dari lagu-lagu Eminem adalah caranya mengungkapkan emosi dengan memaksimalkan pemanfaatan kata, seolah-olah batasan tata bahasa ada hanya untuk ditembusnya.

Dari Indonesia, saya sangat senang dengan Iwan Fals, terutama ketika ia masih tergabung dalam Swami bersama Sawung Jabo dan kawan-kawan.  Lirik-lirik Iwan Fals menarik bagi saya karena ada kejujuran di dalamnya.  Sama seperti Eminem, saya juga sangat menikmati penyampaian emosi yang ditonjolkan dalam lagu-lagunya.

Beberapa bulan terakhir, daftar putar yang mengiringi saya berangkat kerja (didengarkan lewat headset dari telepon genggam di dalam angkot) adalah tiga album terakhir Eminem; Recovery, Look at Me Now, dan Marshall Mathers LP 2.  Dan beberapa minggu terakhir, daftar itu saya pangkas menjadi hanya satu album saja, yaitu MMLP2.  Di album ini, terasa sekali kedewasaan Eminem dalam menyampaikan emosinya, jika dibandingkan dengan album-album terdahulu.  Meski masih ada amarah dalam lagu-lagunya, tapi porsinya hanya sedikit.  Saya terutama menikmati permainan  kata-kata  dan makna yang secara cerdas disampaikan olehnya dalam album ini.

Tapi hari ini, pagi ini, daftar putar saya berbeda.  Isinya hanya enam lagu saja.  Dari enam lagu itu, hanya satu yang berasal dari Eminem.

Malam tadi, sepulang kerja, badan saya mengalami kenaikan temperatur.  Setelah mengkonsumsi obat, saya memutuskan untuk istirahat.  Bagi saya yang memang sulit tidur, hampir tidak mungkin memaksakan diri untuk tidur begitu saja.  Akhirnya saya menyusun sebuah daftar putar baru untuk menemani perjalanan saya ke alam mimpi.  Beberapa hari sebelumnya, saya mengunduh tiga buah puisi milik seorang teman yang dibacakannya dengan iringan lagu-lagu (yang terkesan) sendu.  Hari pertama saya mengunduh puisi-puisi tersebut, saya mendengarkan ketiganya berulang-ulang sampai tertidur.  Jadi, semalam saya memutuskan untuk melakukan hal yang sama, dengan harapan saya bisa tertidur.  Saya juga menambahkan dua versi lagu Let It Go (original soundtrack Frozen) ke dalam daftar putar tersebut, versi Idina Menzel yang jadi bagian penting dalam filmnya dan versi Demi Lovato yang adalah penyanyi aslinya.  Meski keduanya menceritakan hal yang sama, ada sejumlah perbedaan dari segi lirik dan musiknya.  Terakhir, saya tambahkan satu lagu dari album MMLP2, Beautiful Pain.  Saya sendiri tidak ingat apa alasan saya memilih lagu ini (mungkin karena lagu ini adalah salah satu yang iramanya tidak terlalu menghentak, selain Headlights dan Stronger than  I Was).

Pagi ini, ketika berangkat kerja, saya sengaja tidak mengganti daftar putar tersebut.  Sepanjang perjalanan selama sekitar 45 menit tersebut, keenam lagu ini terus berulang secara acak.  Separuh perjalanan, saya menyadari sesuatu: daftar putar ini secara tidak sengaja menggambarkan proses moving-on secara umum.  Puisi Tak Harus menceritakan tentang kehilangan, tentang kesadaran dan penerimaan bahwa hal tersebut memang terjadi.  Puisi Deal With menyampaikan titik pemahaman dan penerimaan (kepasrahan akan) keadaan.  Dalam Beautiful Pain, Eminem menceritakan tentang titik balik setelah kehilangan, dimana ia (dan kita) menghapus masa lalu dan bangkit dari keterpurukan. Sementara Let It Go, baik versi Idina Menzel maupun Demi Lovato, adalah kisah tentang seseorang yang telah berhasil maju, meninggalkan masa lalunya.  

Tapi proses tersebut tidak berakhir di sini.  Untuk melengkapi lingkaran tersebut, puisi Ah Lupa menceritakan tentang keinginan untuk mencinta, untuk merasakan debar-debar romantisme yang tidak bisa didapat dari manapun, keinginan untuk mengalami kembali apa yang telah ditinggalkan dalam proses-proses sebelumnya.  Titik ini merupakan akhir sekaligus awal yang baru, jika memang  kemudian ada sebuah pengalaman mencinta lagi.  Demikianlah, prosesnya berulang.  Keinginan mencinta, kegagalan dan kehilangan, pemahaman dan penerimaan, titik balik dan kebangkitan, dan keberhasilan merelakan, untuk kemudian merindukan kembali pengalaman mencinta tersebut.  

Mungkin ini hanya sebuah kebetulan, atau bahkan hanya sekedar produk dari kekurangkerjaan pikiran saya.  Tapi, saya senang karena saya bisa membaca satu pola pada hari ini.  Cukup untuk mengingatkan bahwa otak saya masih sehat.  Terserah kalian ingin menganggap ini hasil dan bahan renungan atau sekedar ocehan sisa demam. :)

Selamat pagi menjelang siang.  


Monday, April 28, 2014

Mengantuk dan Kebosanan

Kenapa (kebanyakan) manusia mengantuk ketika bosan?

Pertanyaan ini muncul di otak saya ketika sedang berusaha memikirkan cara produktif untuk menghabiskan hari ini, sebab saya tidak mau melamun lagi.  Ini hari Senin.  Senin selalu berarti sedikit pengunjung, yang pada gilirannya berarti sedikit kesibukan.  Saya memutuskan untuk menulis tentang kenapa saya (atau kita) mengantuk ketika bosan atau ketika tidak ada pekerjaan.  Setelah membaca-baca sekilas mengenai topik ini (dari berbagai sumber yang disediakan oleh Oom Google, baik yang terpercaya maupun tidak), saya mendapatkan sejumlah informasi.

Jika dirangkum, penyebab kenapa kita mengantuk ketika bosan adalah seperti ini.  Secara psikologis, otak akan memerintahkan tubuh untuk tidur ketika ia mensinyalir bahwa tubuh sedang lelah.  Masalahnya, otak tidak memahami realita.  Ia hanya menafsir tanda-tanda.  Sialnya, tanda-tanda yang harus ditafsir oleh otak untuk kebosanan dan kelelahan adalah (kurang lebih) sama.  Jadi, sewaktu saya datang ke tempat kerja, otak saya secara bersemangat mengantisipasi  (mempersiapkan diri menghadapi) pekerjaan.  Ketika kemudian ternyata tidak ada pekerjaan, selain rutinitas yang tidak pernah diregister oleh otak, antisipasi tersebut tidak akan terwujud.  Secara keseluruhan, otak akan membaca bahwa tubuh tidak bergerak aktif  sebagaimana yang telah diantisipasinya.  Karena otak tidak memahami realita, ia akan mengira bahwa tubuh sedang lelah.  Sebab tanda-tanda tubuh yang lelah sama seperti tanda-tanda yang sedang ia baca: kurang aktif.  

Ketika Anda bosan, postur tubuh akan otomatis merunduk. Ini disebabkan oleh alam bawah sadar Anda yang mengira bahwa dengan merendahkan ekspektasi (yang diterjemahkan secara tidak sadar menjadi merendahkan posisi tubuh), otomatis kesenjangan antara antisipasi dan realita akan terjembatani.  Postur tubuh yang lebih rendah ini (membungkuk, slouched, leuleus) akan menyebabkan berkurangnya pasokan oksigen ke otak--saya malas membaca bagaimana persisnya ini terjadi--yang pada gilirannya akan membuat otak makin percaya bahwa tubuh sedang lelah.

Demikianlah, otak kemudian memerintahkan tubuh untuk tidur dengan memberikan isyarat-isyarat berupa kantuk.

Pandangan lain mengenai hal ini menjelaskan bahwa otak yang merasa kurang tertantang (bosan) akan cenderung lebih mudah menonaktifkan dirinya yang oleh tubuh dipahami sebagai tanda-tanda bahwa tubuh butuh tidur.  Inilah sebabnya ketika Anda mengantuk karena bosan, kemudian berusaha tidur, kantuk Anda seringkali malah hilang.  Sebabnya, ketika Anda berusaha tidur, otak kembali menemukan tantangan, sehingga menjadi aktif dan awas (alert) kembali.

Mudah-mudahan tulisan ini bisa memperkaya.

Terima kasih.

Sunday, April 27, 2014

Pikiranku Hilang

saya sedang mengunggah laporan.  tapi entah kenapa kali ini laporan tersebut agak susah terunggah.  padahal sinyal internetnya lancar-lancar saja.

sambil mengunggah, saya (berusaha) menulis sebuah entri untuk blog ini.  memang saya tidak memiliki konsep mengenai apa yang akan saya tulis sebab hari ini saya sedang lelah.  penyakit batuk dan pilek dalam tubuh saya sedang mencapai puncaknya, menyebabkan badan saya agak hangat.  selain itu, hari ini sangat sibuk, sejak pagi otak saya tak berhenti bekerja.  tadinya saya berniat menuliskan apapun yang terlintas di pikiran saya.  setengah jalan, cara ini berhasil.  saya menemukan sesuatu yang bisa dan ingin saya tulis.  sampai paragraf ketiga, tiba-tiba alur pikiran saya terputus.  saya tidak bisa lagi melanjutkan penulisan topik tersebut.  demikianlah akhirnya saya membuka laman baru untuk menuliskan entri baru yang sama sekali berbeda dari entri yang tadinya ingin saya tulis.

setengah jam sudah berlalu, tapi unggahan sama sekali tidak menunjukkan kemajuan.  saya rasa, setelah mengakhiri tulisan ini saya akan pulang saja.  mungkin besok laporan ini bisa diunggah.  urusan dengan atasan, mungkin bisa saya berikan pemahaman dan mungkin saya bisa mendapat pemakluman.

bukan ingin manja atau mengeluh, tapi hangat badan saya mulai mengarah ke panas yang tidak sehat.  saya harus (dan butuh) mengistirahatkan badan karena badan ini besok akan kembali saya pakai sebagai kendaraan otak untuk bekerja.  otak saya bukan apa-apa kalau badan ini tumbang.

saat ini, jam di sudut kanan bawah layar monitor komputer yang saya sedang saya pakai menunjukkan pukul 19.17 WIB.  saya akan menunggu 13 menit lagi agar lebihnya tepat 30 menit dari pukul 19.  kemudian saya akan pulang. pulang untuk mengistirahatkan badan.  untuk menemui istri dan anak saya.  untuk memanjakan zia.  tadi ia sempat menelepon karena ingin dibacakan cerita.  saya akan berusaha untuk menunda  kelelahan saya karena membacakan cerita sebelum Zia tidur sangat penting ketika saya bekerja.  sebab hanya dalam waktu kurang dari satu jam itulah saya bisa membangun dan memperkuat ikatan saya dengannya.  menunjukkan bahwa saya sayang dia.  membuat dia merasakan bahwa saya memperhatikan dia.

saya ingin mengubah judul entri ini, tapi terlalu malas memikirkan judul baru.  saya rasa judul ini tidak tepat, sebab pikiran saya tidak hilang.  pikiran saya hanya berhenti bergerak ke arah yang tadi saya tuju dan berlari ke arah yang baru.

dan tiba-tiba melintas di pikiran saya bahwa saya ingin bilang saya sayang kamu. itu melintas begitu saja sehingga saya sendiri tak tahu siapa kamu yang dimaksud oleh pikiran saya.

masih ada tujuh menit lagi.  mari kita lihat apa yang bisa saya tulis dalam waktu tujuh menit ini. laporan masih belum terunggah.  sama  sekali.  saya terlalu lelah untuk memikirkan atau mencari apa sebabnya.  bukan ingin menghindar dari tanggung jawab, tapi memang keadaan tidak memungkinkan.  mungkin nanti malam saya usahakan mengunggah dari rumah menggunakan jaringan internet telepon pintar saya, meski saya tidak yakin akan berhasil.  pertama, karena sinyalnya sering putus di sana sementara pengunggahan ini membutuhkan koneksi yang stabil.  kedua karena kuotanya sedikit, sementara besar file laporannya saja mencapai  setengah giga.  ketiga, karena saya mungkin akan langsung tidur setelah membacakan cerita untuk Zia.

satu paragraf diatas saya tulis dalam waktu satu menit.  tanpa berhenti untuk memikirkan kata-katanya.  saya rasa kita bisa (secara tidak resmi) menggunakan paragraf diatas untuk mengukur seberapa cepat saya mampu mengetik (dengan satuan kata per menit).  selama ini saya memang belum pernah mengukur secara tepat berapa kecepatan mengetik saya.  tapi saya punya gambaran kasar, yaitu dua halaman A4 per jam.  ukuran ini saya dapat dari kebiasaan menerjemahkan.  saya sebut gambaran kasar karena jika tidak dipotong waktu untuk memproses terjemahannya di otak saya, waktu pengetikan mungkin  akan lebih cepat.  namun, karena (atau ketika) saya menerjemahkan langsung sambil mengetik, saya biasanya mampu menyelesaikan dua halaman A4 dalam waktu satu jam atau setara dengan kurang lebih 400 kata dalam enam puluh menit.

sudah tepat pukul 19.30. saya akhiri ocehan tanpa arah ini.  terimakasih

sampai jumpa.

saya akan segera berjumpa anak saya.

Saturday, April 26, 2014

Em's So Much Better

Here's another Eminem's song from the album MMLP2 that never failed to put a smile on my face and brighten my day.  Though I have no direct experience with the story Em's telling in this song, this fourth track of the album still is a helluva song for me; catchy beat, nice rhyming, simple yet dark humor, and full of emotion.
If you want to hear it, here is a link to Eminem's So Much Better:

http://www.mp3skull.ch/play.php?file=http://api.soundcloud.com/tracks/117886952/stream?client_id=bcc10d97babdd9960f87d30831e0eb9d&name=Eminem%20-%20So%20Much%20Better

or this one, (just click the first on the list)
http://www.mp3skull.ch/mp3/eminem_so_much_better.html

And here is the lyric (which is spectacular when listened, I especially love the hook):

"So Much Better"

[Intro:]
You fucking groupies
Pick up the goddamn phone

[Verse 1:]

Bitch, where the fuck were you Tuesday?
With who you say?
I wasn't at the studio bitch
Whatcha do? screw Dre?
You went there looking for me?
Boo, that excuse's too lame
Keep playing me, you're gonna end up with a huge goose egg
You fake lying slut you never told me you knew Drake
And Lupe, you want to lose two legs?
You try to flip this on me?
If I spent more time with you
You say "okay yeah, I'm cuckoo, hey?"
Well, screw you
And I’d be the third person who screwed you today
Oh, four; Dre, Drake, Lupe -- ooo touché
You were too two-faced for me
Thought you was my number one, true-blue ace but you ain't
And I can see you and you make that little boo-boo face
Cause I'm hanging up this phone boo
You make my fucking Bluetooth ache
You feeling blue too late, go smurf yourself
You make me wanna smurfin' puke blue Kool Aid
Here's what you say to someone you hate

[Hook:]

My life will be so much better
If you just dropped dead
I was laying in bed last night thinking
And this thought just popped in my head
And I thought, wouldn't shit just be a lot easier
If you dropped dead
I would feel so much better

[Verse 2:]

Think I just relapsed, this bitch pushed me over the brink
Hop on the freeway tryna get some time alone and just think
Then the cops pulled me over but they let me go
Cause I told 'em I'm only driving drunk, cause that bitch drove me to drink
I'm back on my fuck hoes, but a whole new hatred for blondes
But bias? I hate all bitches the same, baby come on
Excuse the pun but bitch is such a broad statement
And I am channeling my anger through every single station it's on
Cause a woman broke my he-art, I say he-art
Cause you ripped it in two pa-arts, and threw it in the garbage
Who do you think you are, bitch
Guess it's time for me to get the dust off and pick myself up off the carpet
But I'll never say the L-word again, I L-L-L-L... Lesbian
Ahh, I hope you hear this song and go into a cardiac arrest
My life would be so much better if you just

[Hook]

My life will be so much better
If you just dropped dead
I was laying in bed last night thinking
And this thought just popped in my head
And I thought, wouldn't shit just be a lot easier
If you dropped dead
I would feel so much better

[Bridge:]

Cause you told me, you love me, forever, bitch, that was a lie
Now I never, wanted someone, to die, so bad in my fucking life
But fuck it, there’s other fish in the sea

[Verse 3:]

And I'mma have a whale of a time
Being a single sailor for the night
Bitch on a scale of, 1 to 10
Shit, I must be the holy grail of, catches
Ho, I got an Oscar attached to my fucking name, de la
I might hit the club, find a chick that's tailor made for me
Say fuck it, kick some shots back, get hammered and nail her
These bitches tryna get attached but they're failing to latch onto the tail
Of my bumper they're scratching at the back of my trailer like I'm itching to get hitched
Yeah, I'm rich as a bitch
But bitches ain't shit, I'd rather leave a bitch in a ditch
Bitch you complain when you listen to this
But you still throw yourself at me
That's what I call pitchin' a bitch
That's why I'm swinging at this chicks on sight
Long as I got a bat and two balls it's foul, but my dick's on strike
So all that love shit is null and void, bitch I'm a droid
I avoid Cupid, stupid, if it wasn't for blowjobs you'd be unemployed
Oi-oi-oi, man oh man, your boy-boy-boy's getting sick of these girls-girls-girls
Oink-oink-oink, you fuckin' pigs, all you're good for is doink-doink-doink
"I got 99 problems and a bitch ain't one"
She's all 99 of 'em; I need a machine gun
I take 'em all out; I hope you hear this song and go into a cardiac arrest
Have a heart attack and just drop dead
And I'mma throw a fucking party after this, cause YES

[Hook]

My life will be so much better
If you just dropped dead
I was laying in bed last night thinking
And this thought just popped in my head
And I thought, wouldn't shit just be a lot easier
If you dropped dead
I would feel so much better

[Outro:]
I'm just playing bitch, you know I love you


Friday, April 25, 2014

Tak Perlu Terbang

: d_b dan Haura

Tak perlu terbang untuk menikmati bintang
sebab terang adalah tipuan
Tak perlu terbang untuk menikmati matahari
sebab hangat ada dari jarak
Tak perlu terbang untuk menggantung mimpi
sebab mimpi punya sayapnya sendiri
Tak perlu terbang untuk bahagia
sebab bahagia ada dalam hati

Tak perlu menangisi sayap yang tak menjadi
sebab kau tak pernah perlu terbang

demi diri

puisi adalah penghiburan. sebuah usaha untuk merumuskan apa-apa yang telah dipelajari agar lebih mudah dipahami.  sementara menulis adalah sebuah perjalanan menelusuri cermin untuk lebih mengenal diri.
aku perlu mengembalikan puisi menjadi penghiburan sebab saat ini ia hanya kumpulan kata untuk mengejawantahkan emosi.  keluarnya luka tidak berarti ada tawa.  aku ingin puisi kembali menjadi sebuah olahraga dimana aku mempermainkan kosakata, merenangi makna, melompati batas-batas bahasa.  seperti itulah puisi yang menjadi penghiburanku.
pun perjalanan menulis ini mulai menghasilkan kelelahan.  aku kehilangan cermin-cermin sepanjang jalan.  tinggal beberapa tersisa.  di depanku memang ada cermin baru, tapi hanya satu-dua.  ketika aku hanya bercermin pada masa lalu, aku tak bisa benar-benar tahu siapa aku saat ini.  itulah yang membuat perjalanan ini melelahkan.
demikian.  perjalanan menulis puisi harus kukembalikan lagi ke tujuannya semula.  sebab aku butuh tawa, butuh penghiburan, sebelum aku jadi gila.

Unfathomable

No method in this madness
No patterns to discern
It's all a big jumbled-up randomness
Puzzle without the picture
Riddles without answers
Crossword without keys

and I'm foolish enough to think there's a reason
or meaning behind all the babble
to think that these are the wings
that took you down before you even flew
to think I can understand you
if I dissect this insane fake clues

This is just another dead-end
For it has no head or tail
Just a mirror of unfathomable you

Kata-Kata yang Tiba Pada Setengah Tiga

Kenangan:
kisah yang tak usai,
usapan pada kepala yang hanya sekali saja,
kata-kata yang disimpan,
selembar foto laut senja,
ketidakmampuan membaca pikiran,
puisi-puisi yang kubakar,
sebuah kolam di tengah taman,
usaha untuk mengubah,
egoisme kanak-kanak,
kekeraskepalaan,
lalu, tiba-tiba, perpisahan.

Kutuliskan kata-kata ini pukul tiga pagi
sebab dulu aku tak pernah sempat melepaskan hati
merelakan kepergian
(dan sebab aku tak mau kau mendatangiku lagi dalam mimpi)

Tentang Pencarianmu


Apa yang kau cari hingga tak hentihenti kau berlari?
Tuhan, makna, bahagia, atau yang kau sebut jati diri?
Lupakah kau pada kataku
atau perjalanan ini membuatmu tuli?
Bukankah telah kuberitahu:
"Tak perlu kau kesana kemari berlarilari
mencaricari.  Yang akan melengkapimu tak ada
di luar sana.  Ia bersemayam di hati.  Hatimu sendiri."

Malam ini kukatakan sekali lagi,
"Pulanglah.  Berhenti berlari.  Berhenti mencari.
Tatap matamu.  Yang kau cari ada di situ.  Dan aku selalu
Bersamamu."

Thursday, April 24, 2014

Tentang Tanyaku, Dulu

Ibu mengajariku berkata
Agar ia tahu yang kumau

Nenek mengajariku bertanya
Agar aku paham maksudnya

Ayah mengajariku diam
Agar aku bisa mencerna

Kau mengajariku mempertanyakan katakata dalam diammu
Agar aku tak salah lagi memahami
Apa yang kutahu tentangmu
?

Cerita Hantu (bagian pertama)

Berikut ini adalah sejumlah cerita mengenai hal-hal yang biasa disebut hantu.  Aku percaya pada kisah-kisah ini karena aku sendiri pernah mengalami langsung beberapa di antaranya.

Kejadian pertama, di daerah tempatku lahir dan tumbuh besar.  Semasa SMP, salah satu momen yang sangat kutunggu adalah musim durian.  Bukan saja karena buah itu adalah salah satu buah favoritku, tapi juga karena aku selalu berkesempatan mendapatkan buah segar yang baru jatuh dari pohonnya.  Di daerahku, adalah praktek yang biasa bagi para remaja untuk menjagai kebun durian milik juragan.  Bagi kalian yang belum tahu, buah durian yang telah matang akan jatuh sendiri dari pohonnya (yang bisa mencapai ketinggian lebih dari 7 meter).  Tugas kami sebagai penjaga kelekak (kebun durian) adalah mengumpulkan buah-buah yang jatuh sepanjang malam untuk kemudian dibawa ke pemilik kebun atau langsung ke pasar keesokan harinya.  Dari sekian banyak buah yang jatuh, kami akan mendapatkan jatah beberapa buah.

Tujuan utama aku dan teman-teman menjaga kelekak bukanlah jatah durian gratis, tapi kesempatan untuk bermalam di luar rumah (yang berarti kami bisa merokok tanpa ketahuan orangtua).  Di daerahku ada semacam pepatah orangtua: "Jika kau mendengar suara 'keresek' dan 'gedebug', segera cari dimana durian itu jatuh.  Jika yang terdengar hanya 'keresek' saja, ada kemungkinan buahnya tersangkut di dahan.  Tapi jika yang terdengar hanya 'gedebug' saja, berhati-hatilah.  Sebab kemungkinan besar itu adalah Hantu Kepala."  Inilah yang aku alami suatu hari.

Malam itu, aku dan tiga orang teman sepermainan menjagai kelekak milik tetangga nenekku.  Kebun ini adalah kebun favorit kami sebab pemiliknya sangat baik.  Kami dipersilakan memakan durian sepuasnya di kelekak dan akan memperoleh bagian dari hasil penjualan keesokan harinya.  Seperti biasa, menjelang tengah malam, kami mulai mengantuk.  Sambil menghirup kopi dan menyesap rokok, Erik, salah satu temanku mulai menceritakan legenda-legenda tentang Hantu Kepala.  Masing-masing dari kami berusaha menyembunyikan rasa jerih, sebab sekali kau kelihatan takut, kau akan menjadi bahan olok-olok sebulan penuh.

Ketika Erik selesai bercerita, Epan, yang paling bengal di antara kami berempat, mulai berbicara keras.  Kuduga, ia ingin menyembunyikan ketakutannya.  Aku mulai merasa tidak nyaman ketika kata-katanya mulai terkesan sombong. "Mana Hantu Kepala, aku sama sekali tak takut," teriaknya lantang.  Aku memperingatkannya untuk tidak bertingkah seperti itu.  Aku meyakini prinsip bahwa mereka tidak akan mengganggu jika tidak diganggu duluan.  Tapi dasar bengal, Epan malah makin lantang berteriak.  "Kalau memang Hantu Kepala itu ada, biar dia datang kesini.  Kutendang dia sampai ke jurang sana."

Baru saja Epan selesai berteriak, kami mendengar suara 'gedebug'.  Kami berempat saling berpandangan.  Ada pertanyaan yang sama di sorot mata kami, pertanyaan yang tak bisa terucap, "Apakah tadi ada suara 'keresek' nya?"

Aku tak merasa mendengar suara buah yang jatuh melewati dedaunan durian.  Tapi aku tak yakin karena tadi aku terlalu sibuk menghentikan teriakan-teriakan Epan.  Ai dan Erik pun berkata  bahwa mereka hanya mendengar suara buah menyentuh tanah saja.  Dengan jantung berdebar kami memandang Epan.  Menyuruhnya mencari durian yang baru saja jatuh itu.  "Biar saja," pikirku, "biar dia tahu rasa kalau memang itu Hantu Kepala."  Aku tahu harusnya aku tak berpikir seperti itu, tapi aku tak bisa mengingkari bahwa aku sedikit takut.

Dengan jumawa, Epan mengambil senternya dan berjalan ke arah suara durian jatuh tadi.  Cukup lama dia pergi, sekitar lima belas menit.  Selama lima belas menit itu, kami bertiga menahan rasa tegang.  Ketika ia kembali, barulah kami bernapas lega karena Epan menenteng sebuah durian di tangan kirinya.  Sesampai di pondok, ia meletakkan durian itu tepat di bawah tangga, sambil berucap, "Nih Hantu Kepala yang kalian takuti.  Kita belah saja, ya?"

Aku mengambil parang di dalam pondok dan menyerahkannya ke Epan.  Tapi, ketika ia akan mengayunkan parang itu, kami berempat serempak berteriak.  Di bawah tangga, sebuah kepala berambut gimbal menyeringai kepada kami.  Taringnya berlumuran ludah.  Dan ia kemudian tertawa seram.

Tanpa banyak bicara kami berlompatan dari pondok dan berlarian pulang ke rumah masing-masing.  Tak satupun dari kami berani menjaga kelekak lagi sampai dua musim durian selanjutnya.  Banyak orang yang tak percaya ketika kuceritakan kisah ini, tapi ini kisah nyata, saudara.


(bagian pertama selesai, akan kuceritakan kisah lainnya di lain waktu)

Closure

A man needs a closure.  He may have moved on, but without closure he will not be free.  One part of him will always be tied to the past (or its residue).  A man can move on without a closure, but he will never be able to let go.  And letting go is a big part of healing process.

A closure can take various forms, but it involves one main feature: a sense of finalization.  One last handshake, one last hug, one last kiss, even just one last smile can be a closure, as long as the man takes and interprets it as a final act of saying goodbye.  Without that sense of finalization, the act of moving on will not change anything.  It may have been years, and the man may have moved on, he may even think that he has finally been able to let go of the past.  However, at even the slightest hint of reappearance of that past, all the feelings will return as if the time never moved at all.  He will be back at square one.  No matter what the circumstances are nowadays, all the feelings he has inside (feelings that he thinks have been forgotten or have been diminished) will resurface with that reappearance.

A man needs a closure because moving on and letting go are two different things.  Without letting go, a man will never be free, will never find serendipity, will never be truly happy.  Once that feeling resurfaces, it will complicate things beyond comprehension.  The man may be wise enough and mature enough  to restrain himself not to follow up the feeling, but he still won't be able to deceive his own heart; that the feeling is still there.  To be truly free, a man needs a closure, whatever form it takes.

Goodbye


Tuesday, April 22, 2014

Tentang Senja dan Sekantung Tanya

Ada tanya menyumbat kerongkongan
Tak tertelan, tak bisa dikeluarkan
Tentang senja yang kau kantongi kemarin dulu
: Untuk apa?  Kenapa matamu melihat jingganya begitu berbeda?
   Apakah kenangkenangan akan sepotong suasana akan membuatmu lebih  
   bahagia?

Aku bertanya sebab aku sudah lupa pada langit
dengan segala cahayanya yang kutinggalkan
Ketika aku memilih menyadari
Bahwa sayap yang ditumbuhkan hanyalah ilusi
Takkan mampu membawaku kepada purnama, bintang, atau matahari
Menyadari bahwa yang kurindu adalah terang itu saja, inspirasi
Yang mungkin hilang jika aku terbang

Saat ini, aku berbaring sambil mengingat rasa tanya yang tersangkut
Memandang awan
Menceritakan kenangkenangan
Mensyukuri bahagia yang diberi bumi
Berdo’a
: Semoga kau tak tercekik tanya.  Semoga kau tahu bahwa bahagia itu ada
  dalam hatimu.

Monday, April 21, 2014

Gaji Katarak Hari Senin (Ocehan untuk Sekedar Menyibukkan Diri)

Orang lain mungkin benci hari Senin karena bagi mereka hari Senin berarti kembali menghadapi setumpuk pekerjaan, padahal libur akhir pekan belum bisa memuaskan dahaga mereka akan waktu bersantai.  Bagi mereka yang masih menempuh jenjang pendidikan, hari Senin berarti kembali menjalankan rutinitas persekolahan atau perkuliahan yang memang cenderung menjenuhkan.  Bagi saya, sejak beberapa bulan terakhir ini, hari Senin pun terbukti bukan hari yang menyenangkan.

Dulu, nama-nama hari tak banyak berarti bagi saya karena pekerjaan saya tidak tergantung pada hari, baik Senin maupun Sabtu dan Minggu.  Sebagai penerjemah lepas, saya bekerja kapan saja ada proyekan.  Sekarang, saya bekerja enam hari dalam seminggu, dengan pilihan hari libur Rabu atau Kamis, tergantung kesepakatan dengan rekan kerja.  Dengan demikian, Sabtu dan Minggu tetap tidak berkonotasi 'liburan' bagi saya.  Namun, lain halnya dengan hari Senin (dan Selasa). Konotasi nama hari Senin (dan Selasa) adalah kejenuhan mutlak, meski dengan alasan yang berbeda dengan alasan-alasan yang saya sebutkan di paragraf pertama.

Dalam tim saya ada empat orang, dua pria dan dua wanita.  Kedua wanita tersebut memiliki tanggung jawab kerja yang berbeda dengan kedua orang pria ini.  Jadwal kerja mereka hanya 5 hari seminggu, dimana mereka diminta untuk tidak masuk pada hari Senin dan Selasa.  Karena kedua wanita tersebut libur, maka kedua pria ini tidak boleh libur pada Senin dan Selasa.  Bukan itu yang jadi masalah.  Lokasi kerja kami adalah di salah satu pusat perbelanjaan khusus elektronik di Bandung.  Percaya atau tidak, setiap Senin dan Selasa, jumlah pengunjung pusat perbelanjaan tersebut sangat sedikit.  Lebih sedikit lagi yang menghampiri booth tempat saya bekerja.  Ditambah lagi fakta bahwa pada hari Senin kami hanya berdua saja.  Ini lah yang memunculkan kejenuhan.

Jika orang lain benci hari Senin karena mereka jenuh menghadapi setumpuk pekerjaan, saya justru tidak suka hari Senin karena saya jenuh ketika tidak ada pengunjung yang mampir untuk bertanya-tanya.  Berdasarkan perjanjian kerja, tanggung jawab saya (selain memimpin tim di lapangan dan menyusun laporan serta berkoordinasi dengan atasan) adalah sebagai salah satu advisor.  Advisor bertugas memberikan informasi, menjawab pertanyaan, dan melayani para konsumen yang datang ke booth kami.  Nah, pada hari Senin, apalagi ketika cuaca di Bandung sedang sangat tidak bersahabat dengan para pejalan, jumlah orang yang datang ke booth teramat sangat sedikit sekali.  Sebagai contoh, hari ini saja baru ada TIGA orang yang berkunjung dan mengajukan pertanyaan.  Pertanyaannya pun tidak terlalu berbobot.  Saya jenuh karena pada hari Senin, saya hanya bengong menghabiskan waktu menanti ada yang sudi berkunjung dan bertanya.  Syukur kalau memang ada yang mampir.  Seringkali, penantian saya sia-sia belaka.

Selain kejenuhan kerja (lebih tepatnya kejenuhan tidak kerja), saya merasa terbebani oleh ketidakmampuan menunaikan tanggung jawab kerja.  Saya merasa terbebani karena ketika tidak ada konsumen, saya takut dituduh makan gaji buta, atau minimalnya gaji setengah buta.  Saya merasa terbebani karena pada hari Senin (dan kadang Selasa), saya lebih banyak tidak bekerja daripada melakukan tanggung jawab kerja.  Ini menjadi beban karena Senin bukan waktu santai, melainkan jadwal kerja.  Saya harap kalian mengerti apa yang saya maksud.

Kesimpulannya, seperti banyak orang lain, saya tidak begitu suka hari Senin.  Bukan karena saya jenuh menghadapi tumpukan pekerjaan melainkan karena saya justru tidak bisa bekerja optimal.  Dan saya tidak mau dituduh makan gaji katarak karena ketidak-optimalan kerja pada hari Senin.

Selamat siang.

Kelelahan Kesendirian (part 2)

: 별 

Aku berfantasi bahwa ia mendatangiku dalam mimpi
membawakan segelas kopi.
lalu memintaku bercerita
mengajakku tertawa
dan menyuruhku menangis.  "Airmata," katanya,
"adalah yang akan menyampaikan dukamu padaku.
Dan do'a akan membawakan rindumu."

Fantasiku begitu nyata
sampai kopiku habis dan dasar gelas menjadi cermin:
kata-kata yang kudengar itu  adalah kata-kataku sendiri.
kesendirian ini membuatku lelah
dan kelelahan ini bukan mimpi.

Maka, kusampaikan airmata padanya:
"Aku butuh pundak
atau telinga untuk dibentak
sebab cerminku tak lagi tersenyum.  Aku tahu kau takkan kembali, tapi,
sebenarnya kau tak pernah pergi dari hati.
Bahkan fantasi tentangmu mampu menguatkanku lagi."

Dan kukirimkan rindu:
"Ayah, aku lelah.  Tapi aku takkan menyerah
aku akan menjadi. Sebab yang benar-benar mengikatkanku padamu tinggal satu.
Dan aku tahu apa itu."

(Puisi ini belum selesai.  Aku belum bisa benar-benar menyampaikan apa yang ingin kusampaikan.  Aku belum benar-benar bisa mengungkapkan emosi yang aku rasakan, sebab emosi itu adalah emosi pinjaman dari seorang teman.  Aku terbitkan tulisan ini hanya untuk berusaha menyemangatinya, mengingatkannya bahwa ada (tinggal) satu cara untuknya menuntaskan kerinduan itu: Menjadi.  Dan bahwa dalam kelelahannya saat ini, dia tak benar-benar sendiri. Jika nanti aku telah mampu benar-benar memahami emosi yang harusnya mendasari puisi ini, dan menemukan kata-kata yang lebih mengena untuk menyampaikannya, aku akan merevisi tulisan ini kembali.  Terima kasih.)

(P.S. 'part 2' dalam judul tulisan ini adalah karena aku pernah membuat puisi berjudul sama, meski ceritanya beda. Dan aku tidak menemukan judul lain yang lebih pantas untuk menjuduli tulisan ini.)

Sunday, April 20, 2014

Malu Menunggu Komentar

Jujur, aku malu pada diri sendiri ketika meminta (bahkan terkesan memohon dan memaksa) beberapa teman untuk membaca dan mengomentari tulisan-tulisanku di blog ini--aku masih belum menemukan padanan kata bahasa Indonesia untuk blog.

Aku malu sebab sejak dulu aku selalu beranggapan bahwa aku menulis demi kepuasan diri, entah untuk sekedar mengeluarkan unek-unek, melepaskan beban pikiran, mengungkapkan gagasan, atau berpuisi.  Menulis bagiku adalah salah satu kegiatan yang bisa mencegahku menjadi gila.  Aku malu karena ketika meminta orang lain membaca dan mengomentari tulisan-tulisanku (dengan kesan memohon dan memaksa), aku seolah-olah membutuhkan stamp of approval dari mereka.  Seolah-olah makna tulisanku, makna gagasanku, dan makna diriku tergantung pada komentar mereka.  Seolah-olah keberadaan (eksistensi) ku berkurang jika mereka tidak memberikan pandangan mereka mengenai tulisan-tulisanku.

Aku malu, sebab aku menyadari bahwa yang mendasariku untuk meminta (dengan kesan memohon dan memaksa) mereka membaca dan mengomentari tulisanku bukan semata-mata menginginkan umpan balik yang bisa kugunakan sebagai bahan untuk memperbaiki diri.  Aku malu karena aku sadar bahwa dalam permintaanku (yang terkesan memohon dan memaksa itu) terselip sejumlah besar keinginan untuk dipuji.

Aku malu sebab kesadaran itu berarti aku tidak tulus lagi.  Memang ketika menulis aku hanya mencurahkan gagasan-gagasanku.  Sampai saat itu aku masih tulus, masih jujur pada diri sendiri.  Tapi ketika aku mulai meminta orang lain (bahkan memohon dan memaksa mereka) mengomentari tulisanku, aku menginjak-injak ketulusan dan kejujuranku sendiri.

Aku malu, sebab aku belum bisa menghilangkan kesan memohon dan memaksa itu dari permintaanku.  Aku malu sebab aku tahu, keberadaan kesan memohon dan memaksa itu akan sangat  mempengaruhi pengalaman membaca dan kejujuran komentar mereka.

Aku malu bukan karena aku meminta umpan balik dari mereka.  Aku malu karena adanya kesan memohon dan memaksa dalam permintaanku.

Selamat malam.


Kompromi

Jam kerja telah berakhir.  Sehabis membereskan semua unit demo dan display, aku dan teman-temanku beranjak.  Mereka menuju eskalator turun untuk kemudian keluar dan (kuduga) menaiki kendaraan umum ke tempat masing-masing.  Aku tak tahu apakah mereka memang naik kendaraan umum atau tidak, atau bahkan pulang atau tidak, sebab aku berpisah dengan mereka di eskalator.  Mereka turun, sementara aku menuju eskalator naik.  Naik ke tempat makan di lantai tiga.  Aku memang tak sabar ingin pulang, ingin bertemu Zia dan Dilla, tapi aku masih harus  mengunggah laporan mingguan.  Laporan ini harus masuk sebelum hari berganti, demikian perjanjianku dengan pihak yang membayarku untuk melakukan ini.  Demikianlah, satu-satunya cara agar perjanjian tersebut terpenuhi adalah dengan naik ke lantai tiga dan mengunggah laporan ini secepatnya.  

Ini adalah contoh kompromi.  Kompromi, jika didefinisikan secara bebas, adalah kegiatan menerima dan menyesuaikan diri dengan pihak lain (atau dengan suatu kondisi).  Semakin besar yang harus diterima, dan semakin banyak yang harus  disesuaikan, semakin sulit pula sebuah kompromi.  Tujuan sebuah kompromi adalah agar pihak-pihak yang terlibat bisa mencapai titik tengah dimana semuanya memperoleh keuntungan (relatif) dan tidak dirugikan (juga relatif).  Relativitas keuntungan dan kerugian  tersebut tergantung pada sejumlah faktor.  Selain tingkat kesulitan penerimaan dan besarnya penyesuaian yang harus dilakukan, relativitas tersebut juga tergantung pada motivasi dan tujuan dasar yang ada pada masing-masing pihak.  Hal ini berlaku untuk semua jenis kompromi (maksudnya untuk semua kompromi, terlepas dari apapun situasinya dan siapapun pihak yang terlibat).

Sebagai contoh, dalam pekerjaan ini aku harus menerima aturan dan jam kerja yang (jika dibandingkan dengan pekerjaan sebagai penerjemah lepas) lebih ketat.  Berkurangnya kebebasan dalam bekerja tersebut aku kompromikan dengan upah yang (jika dibandingkan dengan pekerjaan sebagai penerjemah lepas) lebih lumayan.  Ketika kemudian ada penambahan tanggung jawab kerja, misalnya keharusan untuk menyelesaikan laporan meski jam kerja telah berakhir, maka harus ada kompromi tambahan.  Dalam hal ini, pihak-pihak yang terlibat sepakat dengan penambahan upah kerja.

Sebuah kompromi tidak berdiri sendiri.  Tiap kompromi pasti disertai oleh kesepakatan dan komitmen.  Kesepakatan merupakan hasil akhir sebuah proses kompromi, sementara komitmen merupakan tindak lanjut agar kompromi dan kesepakatan yang telah tercapai bisa dijalankan.  Kedua hal ini sama pentingnya dengan kompromi itu sendiri.  Jika tidak ada kesepakatan, berarti proses kompromi yang dilakukan gagal sebab pihak-pihak yang terlibat tidak bisa mencapai posisi imbang dimana masing-masing bisa memperoleh keuntungan relatif dengan kerugian relatif yang masih bisa ditanggung.  Kalaupun kesepakatan telah tercapai, kesepakatan tersebut tidak akan berguna tanpa komitmen untuk menghargai dan melaksanakan kesepakatan tersebut.  Komitmen merupakan bagian terberat karena, jika kompromi dan kesepakatan (mungkin) bisa tercapai dalam waktu relatif singkat, komitmen harus terus menerus dipegang dan dijalankan.

Sebagai ilustrasi, seorang suami yang berkompromi dan sepakat dengan istrinya (misalnya tentang cara membesarkan anak atau tentang cita rasa masakan di rumah) harus bisa memegang komitmen atas kesepakatan tersebut.  Misalnya, sang suami ingin membesarkan anak dengan pendekatan keras (menghukum anak sejak dini sesuai dengan kesalahannya agar si anak tahu  bahwa ia berbuat salah) sementara sang istri ingin membesarkan anak dengan pendekatan halus (menghindari hukuman sebisa mungkin ketika anak berbuat salah dan menggantinya dengan memberikan penjelasan dan pengarahan).  Kompromi yang dilakukan adalah membahas pro dan kontra kedua pendekatan tersebut  (misalnya, pendekatan keras bisa membuat anak menjadi tidak manja sementara pendekatan halus bisa menghindari trauma emosional pada diri anak).  Mungkin kedua belah pihak mencapai kesepakatan dimana hukuman boleh diberikan ketika anak secara sengaja berbuat kesalahan besar, meski telah diberikan penjelasan dan pengarahan sebelumnya.  Bagian terberat dalam hubungan ini justru pada komitmen kedua belah pihak untuk melaksanakan kesepakatan sebaik mungkin secara terus menerus.

Jadi, meski kompromi, kesepakatan, dan komitmen bukan penentu utama keberhasilan, keberhasilan seseorang akan sangat dipengaruhi oleh kemampuannya berkompromi, mencapai kesepakatan, dan berkomitmen dalam menghargai dan melaksanakan kesepakatan hasil kompromi.

Selamat malam.  

Friday, April 18, 2014

Hole in a Heart

Apa yang bisa lebih pedih dari sebuah hati
yang kehilangan hidupnya?

Sebuah lubang tiba-tiba menganga
menghancurleburjungkirbalikkan dunia
--yang menjadi asing dengan begitu seketika--

Tak ada manusia, apalagi hanya kata-kata,
yang bisa mengutuhkan lagi hati itu
Tak juga waktu

Dan detak jantung menjadi pengingat
betapa satu jiwa memiliki dua nyawa
dan itulah sebenarnya yang kita cari selama ini
sebuah hati untuk menggenapi rongga,
sebuah nyawa yang melengkapi langkah

Tak ada yang lebih pedih dari sebuah hati
yang harus hidup dengan lubang menganga
--kehilangan makna yang selama ini ada--

Mind's a Mess

Mind's a mess.
A maze. 
No escape.
Plotting, planning, and still
Trapped in memories. 
Chained by the past
to the high, thick, hard walls of hopelessness.

Mind's a mess.
Always.

Wednesday, April 16, 2014

Para Cahaya yang Abadi dalam Kata-Kata

Aku temukan kalian hari ini, satu per satu
terselip di antara lembar-lembar dongeng yang kukisahkan tentang kenangan dulu
sebut aku penipu kalau kalian mau, tapi
menatap wajah-wajah itu
aku masih melihat cahaya yang dulu begitu kupuja
cahaya yang membentuk luka jadi kata-kata
menghamili inspirasi dan melahirkan puisi

Maaf, bukan maksudku mengganggu,
hanya sekedar memberi tahu:
puisi ini lahir dari kalian lagi
dari rasa yang tak benar-benar hilang, meski baranya tak lagi terang

Aku temukan kalian hari ini, sebab memang kucari
sekedar ingin tahu apa yang akan kurasa ketika
menatap cahaya itu lagi
--cahaya yang berbeda-beda dengan pelajaran yang sama--
sebut aku berlebihan kalau kalian mau, tapi
aku masih terpesona.

Mungkin akan selamanya
sebab kalian kuabadikan dalam kata-kata

Puisi Jatuh Cinta

:Haura

Puisi adalah cinta yang menjelma kupukupu dalam perutku
tiap kali kau ada.  Mencampuraduk semua rasa.  Membuyarkan
semua kata.  Membuatku mengalami semesta yang keindahannya
begitu sederhana.  Semesta yang membuat semua indera berhenti berfungsi.
Tinggal jantung yang berdetak lebih keras, tak teratur, tak henti.  Dan hati
yang memahami.

Puisi adalah rindu yang menjadi mimpi dalam kepalaku.  Sepanjang
waktu saat kau tak ada.  Memberi warna berbeda pada dunia.  Mendistorsi realita.
Membuatku menyadari makna hidup dimana bahagia sangat sederhana.  Hidup
yang mampu menjadikan  waktu musuh besarku.  Berjalan lambat
menantimu dan berlalu cepat saat bertemu.  Bahagia dalam dimensi ini adalah kau
menyadari bahwa rasaku nyata.

Aku tak peduli lagi pada luka-luka yang mungkin ada.  Sebab masa
depan tak sepenting saat ini.  Saat aku menjadi bidadari: terbang
hanya  dengan kepakan mimpi.

Puisiku adalah rasa untuk kau baca
sebelum tidur.  Sebuah dongeng yang mungkin menjadi gerbang
untukku masuk ke hatimu lewat mimpi.  Puisiku adalah rasa
untukmu.

Tuesday, April 15, 2014

Membacamu

Membacamu hari ini,
aku tahu kenapa kita dulu tak bisa menjadi cerita
sebab kita sama sama mencari sesuatu yang tak kita tahu pasti,
setidaknya saat itu.
--aku tak tahu bagaimana kau, tapi ketika itu aku belum sadar apa yang ku mau--

Membacamu hari ini,
aku sadar bahwa aku pernah benar-benar mengenalmu
meski waktu itu aku tak tahu bahwa yang kukenal adalah benar-benar kau.
--aku masih ingat sorot matamu yang merindukan Ayah, dan ketakutanmu pada keterikatan--

Membacamu hari ini,
aku tersenyum.  Aku dan kau telah banyak berjalan, telah jauh berubah
tapi aku rasa kita --kau dan aku-- tak benar-benar berbeda dari kita
--kau dan aku-- yang tersimpan di kotak memoriku.

Membacamu hari ini, aku tiba-tiba ingin kau membacaku:
kau adalah yang kucari, sampai saat ini.  Tapi aku tahu aku takkan mampu
menggenapimu.  Sebab itu aku membiarkanmu pergi: agar aku pun terlengkapi. Dan kau
akan ada di tiap ceritaku tentang kerinduan (dan ketakutan pada keterikatan).
--kau tahu, sejak dulu aku ingin bilang, rasa itu harusnya didefinisikan sebagai kebebasan--

Menjadi Penulis

Menjadi penulis adalah sebuah status yang tidak bisa didapat dengan mudah.  Apalagi menjadi penulis yang telah terpublikasi (published writer).  Jika kita  percaya perkataan Einstein, yang sering dikutip, bahwa keberhasilan adalah satu persen bakat dan 99 persen kerja keras, maka kita bisa mempercayai pula pepatah lain yang senada namun lebih spesifik: semua orang bisa menulis.  Masalahnya tinggal berapa banyak bakat yang dimiliki.  Semakin sedikit bakat yang dimiliki, semakin keras pula usaha yang harus  dikerjakan.

Bukan bermaksud mengeluh, tapi kurasa bakat menulisku tidak terlalu banyak.  Aku memang punya  banyak ide, banyak inspirasi, tapi ketika sudah berhadapan dengan hal-hal teknis yang sangat mempengaruhi kualitas tulisan, aku jadi serupa anak kucing yang kepalanya masuk ke dalam keresek plastik.  Jujur, kalau ditanya kenapa aku memilih menulis puisi, aku seringkali memberikan jawaban-jawaban yang tidak sepenuhnya benar, meski tak sepenuhnya salah juga.  Misalnya, karena aku senang mempermainkan kata-kata dan mengotak-atik makna.  Ini memang benar, tapi ini bukan alasan utama kenapa aku memilih menulis puisi.  Alasan utamanya adalah karena aku tidak pernah bisa benar-benar menguasai teknik-teknik penceritaan.

Aku telah mencoba, membaca dan memahami berbagai teori penulisan, mempraktekkan apa yang telah aku baca dan pahami, tapi tetap saja, hasilnya masih jauh dari bagus.  Kekuranganku yang paling besar adalah ketidakmampuanku untuk memberikan karakter pada tiap tokoh yang kutulis.  Ketika menulis cerpen, aku masih belum bisa menjadi orang ketiga, menjadi pengarang yang siap mati.  Aku masih menjadi pencerita.  Mengerti kan apa maksudku?  

Penulis yang baik adalah penulis yang kehadirannya tidak terasa di dalam tulisannya.  Di dunia  yang diciptakannya, ia sama sekali tak terlihat, tak terdengar, dan tak terendus keberadaannya.  Dunia itu seolah-olah ada begitu saja untuk dialami oleh para pembaca.  Dunia itu dialami oleh para pembaca lewat pengalaman para tokohnya.  Para tokoh itulah yang bercerita, bukan sang pengarang.  Ia hanya sekedar menuliskan saja.  Suara yang mendeskripsikan dunia itu di kepala para pembaca  adalah suara para  pembaca itu sendiri.  Ketika pembaca membalik halaman terakhir dan meletakkan bacaannya, sambil menghembuskan napas, barulah mereka sadar bahwa dunia itu diciptakan oleh seorang pengarang.  Penulis  yang baik berada di luar semesta yang diciptakannya.

Aku belum bisa seperti itu.  Jika kalian kebetulan pernah membaca cerpen-cerpen yang ku tulis, keberadaanku dalam tulisan-tulisan itu sangat terasa.  Sebab selalu aku lah yang bercerita; si A begini karena ini, si B melakukan itu karena anu, dst.  Kepuasan mengalami menjadi sangat berkurang karena pembaca tidak benar-benar mengalami semesta  yang kuciptakan, melainkan hanya sekedar diberitahu saja.  Bukan salah pembaca, tapi salahku yang belum bisa bercerita tanpa memberi tahu.  Kuharap kalian mengerti maksudku.

Sebelum bisa menjadi penulis terpublikasi, aku harus terlebih dahulu menjadi penulis yang baik.  Dan itu berarti bekerja lebih keras lagi.  Sebab kepenulisan bagiku bukanlah sebuah hobi, melainkan sebuah aspirasi, sebuah tujuan yang (meski seringkali kusembunyikan dari dunia) teramat sangat ingin kucapai. (Penggunaan 'sangat' di kalimat terakhir adalah untuk menegaskan seberapa besar keinginanku itu.)

Tulisan ini akan kututup dengan pertanyaan: ada yang bisa mengajariku bagaimana bercerita tanpa memberitahu?  Jika ada, tolong ajari aku.

Terima kasih.

Mengenang Rasa yang Tak Usai

Lelaki itu duduk memandang cermin;
mempertanyakan diri pada refleksi.

Rasa-rasa yang mengakar diingat oleh tanah
rasa yang tak sempat tumbuh, rasa yang mati muda,
dan rasa yang serupa anak panah: melesat lewat tiba-tiba
menghunjam untuk langsung pergi lagi, tak pernah lama singgah.

Rasa-rasa itu diingat oleh tanah untuk kemudian dijadikan kenang
atau bahan cerita kepada batu, angin, samudera
sebagai pelajaran bahwa rasa-rasa tak pergi kemana-mana
bagaimanapun mereka mencoba menghilangkannya.

Rasa-rasa yang mengakar tetap di tempatnya,
menunggu
menanti Bintang atau Purnama atau Senja atau Pelangi
memunculkan kembali hangat yang pernah ada
pengingat bahwa mereka pernah mengakar di dalam tanah,
meski yang sekarang ditumbuhkan telah sangat berbeda.

Lelaki itu duduk memandang cermin;
mengenang kisah yang tak usai.

Monday, April 14, 2014

Eminem - Stronger than I Was

Aku ingin menulis sesuatu, tapi (seperti biasa) kata-kata yang berlari hanya setengah sampai.  Sejak dua jam yang lalu, sudah ada tiga draft dengan tiga ide berbeda. Ketiganya belum ku publish karena memang tulisannya belum selesai.  Berhenti di paragraf ketiga.

Demikianlah.  Kuputuskan untuk menuliskan (lebih tepatnya menyalin) lirik lagu Stronger than I Was dari album terbaru Eminem.  Untuk apa?  Tak untuk apa-apa, aku hanya senang dengan keseluruhan kesan yang kudapat dari lagu itu.  Dan aku selalu suka permainan kata-kata dan penyampaian emosi Mr. Mathers.

STRONGER THAN I WAS

[Verse 1]
You used to say that I'd never be
Nothing without you and I'd believe
I'm shot in the lungs, I gasp, I can't breathe
Just lay here with me, baby, hold me please
And I'd beg and I'd plead, drop to knees
And I'd cry and I'd scream, "Baby, please don't leave"
Snatch the keys from your hand, I would squeeze
And you'd laugh, and you'd tease, you're just fucking with me
And you must hate me
Why do you date me, if you say I make you sick?
And you've had enough of me
I smother you, I'm 'bout to jump off the edge

[Hook]
But you won't break me, you'll just make me stronger than I was
Before I met you, I bet you I'll be just fine without you
And if I stumble, I won't crumble, I'll get back up and uhh
But I'mma still be humble when I scream "Fuck you"
Cause I'm stronger than I was

[Verse 2]
A beautiful face is all that you have
Cause on the inside you're ugly and mad
But you're all that I love, I grasp, you can't leave
Please stay here with me, baby hold me please
And I'd beg and I plead, drop to knees
And I'd cry and I'd scream, baby, please don't leave
But you left and you took everything I had left
And left nothing, nothing for me
So please don't wake me from this dream, baby
We're still together in my head
And you're still in love with me
'til I woke up to discover that that dream was dead

But you won't break me, you'll just make me stronger than I was
Before I met you, I bet you I'll be just fine without you
And if I stumble, I won't crumble, I'll get back up and uhh
But I'mma still be humble when I scream "Fuck you"
Cause I'm stronger than I was
 
[Verse 3]
You walked out, I almost died, it was almost a homicide
That you caused cause I was so traumatized
Felt like I was in for a long bus ride
I'd rather die than you not be by my side
Can't count how many times I vomited, cried
Go to my room, turn the radio on and hide
Thought we were Bonnie and Clyde, nah
On the inside you were Jekyll and Hyde
I, felt like my, whole relationship with you was a lie
It was you and I, why did I think it was ride or die?
Cause if you could've took my life you would've
 It's like you put a, knife through my chest
And pushed it right through to the other side
Of my back and stuck a spike too, shoulda
Put up more of a fight, but I couldn't
At the time, no one could hurt me like you could've
Take you back now, what's the likelihood of that?
Bite me bitch, chew on a nineteen footer
Cause this morning I finally stood up
Held my chin up, finally showed a sign
Of life in me for the, first time since you left me
And left me with nothing but shattered dreams
And the life we coulda, had and we could've been
But I'm breaking out of this slump I'm in
Pulling myself out of the dumps once again
I'm getting up once and for all, fuck this shit
I'ma be late for the pity party
But you're never gonna beat me to the fucking punch again
Took it on the chin like a champ
So don't lump me in with the chump-ions
I'm done being your punching bag
It was the November 31st today
Would've been our anniversary
Two years but you left on the 1st of May
I wrote it on a calendar, was gonna call
But couldn't think of the words to say
But they came to me just now
So I put 'em in a verse to lay

[Bridge]
And I thank you cause you made me a better person than I was
But I hate you cause you drained me, I gave you all, you gave me none
But if you blame me, you're crazy and after all is said and done
I'm still angry, yeah, I may be, I may never trust someone  

But you won't break me, you'll just make me stronger than I was
Before I met you, I bet you I'll be just fine without you
And if I stumble, I won't crumble, I'll get back up and uhh
But I'mma still be humble when I scream "Fuck you"
Cause I'm stronger than I was

Sunday, April 13, 2014

Menunggu Hujan Reda

Saya sedang duduk di foodcourt lantai tiga Istana BEC Bandung.  Apa yang saya lakukan disini saat ini?  Saya sedang mengunggah laporan mingguan yang berukuran sangat besar sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan di rumah.  (Sekedar penjelasan bagi yang membutuhkan, di sini saya menggunakan jaringan internet super cepat dengan akun wifi gratis sementara di rumah saya menggunakan modem super lambat dengan kuota terbatas.)

Sambil menunggu proses upload selesai, seperti biasa saya berselancar di dunia maya.  Tadinya saya ingin mengunduh sejumlah tontonan, tapi beberapa pertimbangan membuat saya urung melakukannya.  (Untuk mereka yang penasaran, pertimbangan pertama adalah bahwa episode terbaru dari beberapa serial yang saya ikuti--Games of Thrones, Running Man, Bones, The Big Bang Theory--baru akan tayang malam ini, yang berarti bahwa link unduhannya baru akan ada esok hari; pertimbangan kedua, harddisk eksternal saya sudah hampir penuh--hanya tersisa 20 gb yang saya alokasikan untuk episode-episode baru serial-serial yang saya ikuti diatas--sehingga mengunduh film terasa percuma; pertimbangan ketiga, meski ada sejumlah film yang ingin saya tonton, film-film tersebut masih relatif 'baru' sehingga versi bluray-nya belum beredar di internet.)  Saya juga tadinya berniat mengunduh sejumlah e-book, tapi setelah mencari di berbagai situs selama setengah jam, saya tidak menemukan judul yang cukup menarik.  Demikianlah, akhirnya saya memutuskan untuk menuliskan sesuatu di sini.

Beberapa waktu lalu, saya memanjakan diri dengan membeli sejumlah buku karya Dee (Dewi Lestari, salah satu penulis favorit saya), diantaranya adalah Filosofi Kopi, Madre, dan Rectoverso.  Sebenarnya saya sudah pernah membaca buku-buku tersebut, namun kesukaan saya dengan cara penulisan dan pemikiran Dee membuat saya merasa bahwa saya perlu membeli buku-buku tersebut untuk menambah koleksi saya.

Membaca Dee bagi saya adalah seperti melihat cermin.  Dia selalu berbicara (menulis) tentang pencarian, pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai manusia dan kemanusiaannya, dan evolusi.  Terlepas dari apa yang ditulisnya, saya menyenangi buku-buku Dee karena tiap kali selesai membaca tulisannnya, ada sensasi tertentu yang jarang saya dapatkan dari tulisan-tulisan lain.  Jika dari tulisan lain saya mendapatkan hiburan, dari tulisan Dee saya mendapatkan hiburan dan pertanyaan.  Tiap selesai membaca tulisan Dee, saya selalu tertegun mempertanyakan diri saya sendiri.

Misalnya dalam Filosofi Kopi, Dee menyampaikan (atau lebih tepatnya saya menerima) konsep tentang kebahagiaan.  Jika dirangkum kurang lebih seperti ini: bahagia itu berasal dari dalam diri, ketika kau lupa pada apa yang sebenarnya kau cari, kau tak akan menemui bahagia sejauh apapun kau berlari atau sebanyak dan sebesar apapun pencapaianmu.

Setelah membaca cerita pendek tersebut, saya terpaksa menanyai diri sendiri: "Apa sebenarnya yang kau cari?  Apa definisi bahagiamu?" Ternyata jawabannnya belum berubah dari yang dulu saya yakini: "Aku mencari bahagia dan bahagiaku adalah ketika aku bisa memunculkan kebahagiaan pada diri orang-orang yang kupedulikan."  Saat ini, orang-orang yang ada dalam daftar tersebut memang terbilang sedikit; orangtua,  istri dan anak saya, dan teman-teman dekat (yang sudah saya anggap saudara).  Kesadaran akan hal ini membawa saya ke pertanyaan lain: "Kenapa daftarmu berisi tak sampai dua puluh orang?"  Agak sulit bagi saya untuk menjawab--atau mengelak--dari pertanyaan ini.

Awalnya saya mencoba berargumen bahwa (mengutip Ayah saya) tidak mungkin saya bisa menyenangkan semua orang karena tiap orang memiliki pemikiran dan penafsiran masing-masing.  Tapi saya segera sadar bahwa itu hanya alasan saja.  Jawaban sebenarnya adalah karena saya sudah menjadi seorang yang skeptis terhadap dunia.

Saya sendiri lupa sejak kapan saya seperti ini, tapi karena sikap adalah akumulasi pengalaman dan penafsiran, pertanyaan 'sejak kapan' tidaklah relevan.  Apapun penyebab dan sumbernya, sikap skeptis saya   ternyata sudah kronis.  Saya tidak lagi mempedulikan dunia di luar dunia kecil saya (Dilla, Zia, kedua orangtua, dan sahabat-sahabat terdekat itu).  Yang berarti bagi saya hanya semesta kecil itu saja.  Sisanya hanya background noise yang tak terlalu saya pedulikan karena saya selalu beranggapan bahwa mereka tidak terlalu berpengaruh pada hidup saya.

Namun, kegiatan saya beberapa bulan terakhir ini (yang membuat saya harus banyak bersosialisasi dan membuka diri terhadap dunia di luar zona nyaman saya) menghadirkan sebuah kesadaran baru.  Selama ini saya membodohi diri dengan beranggapan bahwa dunia di luar sana tak berarti banyak bagi diri saya sendiri. Dan tak ada makhluk yang lebih malang daripada mereka yang membodohi diri sendiri.

Saya harus berubah; harus mengubah pola pikir, menggeser sudut pandang.

Memang, saat saya mengetik kalimat-kalimat ini, saya masih sama skeptisnya dengan diri saya beberapa bulan lalu.  Meski demikian, saya perlahan-lahan telah mulai kembali mempertanyakan segala sesuatu.  Sebab perbedaan skeptis dan kritis adalah pada pertanyaan yang diajukan. Mereka yang kritis akan bertanya, mencari tahu, sebelum menerima atau menolak, sementara mereka yang skeptis akan langsung menerima atau menolak, atau sekedar bertahan di zona abu-abu ketidakpedulian, tanpa mempertanyakan.

Sekedar info saja, saya semasa SMA pernah meyakinkan diri sendiri bahwa saya harus bisa selalu (atau paling tidak sesering mungkin) bersikap kritis.  Berbagai pengalaman dan penafsiran yang muncul setelah masa itu lah yang membuat saya lupa pada keyakinan tersebut.

Ah, laporan telah selesai terunggah dengan sempurna.  Hujan di luar pun sudah reda.  Sudah saatnya saya mengemas notebook ini dan mengembalikannya ke tempat penyimpanan (ini inventaris dari tempat kerja yang tak boleh saya bawa-bawa).  Sekarang saya akan pulang dan bermain dengan Zia, mungkin membacakannya cerita dan mengajarinya bertanya.

Maaf jika tulisan saya kali ini tidak memperkaya kalian.

Sampai jumpa.

About Me

My photo
seorang separuh autis yang memandang dunia dari balik kaca jendelanya. ia duduk diam mengamati,membaca dan menafsir tanda, mencari makna.