Saya termasuk ke dalam golongan orang-orang yang memiliki sense of music atau auditory intelligence dalam jumlah yang sangat terbatas (euphemism). Untungnya saya sedikit tertolong dengan kecerdasan berbahasa yang cukup memadai. Meski saya tidak bisa memahami atau menikmati lagu dari musiknya (saya tahu mana musik yang enak didengar dan mana yang tidak, tapi saya benar-benar buta nada), saya bisa menikmati lirik yang cerdas. Demikianlah, penilaian saya mengenai bagus tidaknya suatu lagu seringkali didasarkan pada pemahaman saya akan liriknya, bukan dari kualitas musiknya.
Salah satu nama di dunia permusikan dan perlaguan yang saya senangi adalah Eminem. Saya pertama mengenal karya Eminem sewaktu SMA. Salah seorang teman meminta saya menerjemahkan lirik-lirik dari kaset Marshall Mather's LP. Sejak itu, saya suka Eminem. Terlepas dari bahasanya yang vulgar dan kasar, saya bisa menikmati kecerdasannya mengolah kata, irama, dan makna. Ia juga fasih menggunakan berbagai majas dalam lirik-liriknya. Yang paling saya nikmati dari lagu-lagu Eminem adalah caranya mengungkapkan emosi dengan memaksimalkan pemanfaatan kata, seolah-olah batasan tata bahasa ada hanya untuk ditembusnya.
Dari Indonesia, saya sangat senang dengan Iwan Fals, terutama ketika ia masih tergabung dalam Swami bersama Sawung Jabo dan kawan-kawan. Lirik-lirik Iwan Fals menarik bagi saya karena ada kejujuran di dalamnya. Sama seperti Eminem, saya juga sangat menikmati penyampaian emosi yang ditonjolkan dalam lagu-lagunya.
Beberapa bulan terakhir, daftar putar yang mengiringi saya berangkat kerja (didengarkan lewat headset dari telepon genggam di dalam angkot) adalah tiga album terakhir Eminem; Recovery, Look at Me Now, dan Marshall Mathers LP 2. Dan beberapa minggu terakhir, daftar itu saya pangkas menjadi hanya satu album saja, yaitu MMLP2. Di album ini, terasa sekali kedewasaan Eminem dalam menyampaikan emosinya, jika dibandingkan dengan album-album terdahulu. Meski masih ada amarah dalam lagu-lagunya, tapi porsinya hanya sedikit. Saya terutama menikmati permainan kata-kata dan makna yang secara cerdas disampaikan olehnya dalam album ini.
Tapi hari ini, pagi ini, daftar putar saya berbeda. Isinya hanya enam lagu saja. Dari enam lagu itu, hanya satu yang berasal dari Eminem.
Malam tadi, sepulang kerja, badan saya mengalami kenaikan temperatur. Setelah mengkonsumsi obat, saya memutuskan untuk istirahat. Bagi saya yang memang sulit tidur, hampir tidak mungkin memaksakan diri untuk tidur begitu saja. Akhirnya saya menyusun sebuah daftar putar baru untuk menemani perjalanan saya ke alam mimpi. Beberapa hari sebelumnya, saya mengunduh tiga buah puisi milik seorang teman yang dibacakannya dengan iringan lagu-lagu (yang terkesan) sendu. Hari pertama saya mengunduh puisi-puisi tersebut, saya mendengarkan ketiganya berulang-ulang sampai tertidur. Jadi, semalam saya memutuskan untuk melakukan hal yang sama, dengan harapan saya bisa tertidur. Saya juga menambahkan dua versi lagu Let It Go (original soundtrack Frozen) ke dalam daftar putar tersebut, versi Idina Menzel yang jadi bagian penting dalam filmnya dan versi Demi Lovato yang adalah penyanyi aslinya. Meski keduanya menceritakan hal yang sama, ada sejumlah perbedaan dari segi lirik dan musiknya. Terakhir, saya tambahkan satu lagu dari album MMLP2, Beautiful Pain. Saya sendiri tidak ingat apa alasan saya memilih lagu ini (mungkin karena lagu ini adalah salah satu yang iramanya tidak terlalu menghentak, selain Headlights dan Stronger than I Was).
Pagi ini, ketika berangkat kerja, saya sengaja tidak mengganti daftar putar tersebut. Sepanjang perjalanan selama sekitar 45 menit tersebut, keenam lagu ini terus berulang secara acak. Separuh perjalanan, saya menyadari sesuatu: daftar putar ini secara tidak sengaja menggambarkan proses moving-on secara umum. Puisi Tak Harus menceritakan tentang kehilangan, tentang kesadaran dan penerimaan bahwa hal tersebut memang terjadi. Puisi Deal With menyampaikan titik pemahaman dan penerimaan (kepasrahan akan) keadaan. Dalam Beautiful Pain, Eminem menceritakan tentang titik balik setelah kehilangan, dimana ia (dan kita) menghapus masa lalu dan bangkit dari keterpurukan. Sementara Let It Go, baik versi Idina Menzel maupun Demi Lovato, adalah kisah tentang seseorang yang telah berhasil maju, meninggalkan masa lalunya.
Tapi proses tersebut tidak berakhir di sini. Untuk melengkapi lingkaran tersebut, puisi Ah Lupa menceritakan tentang keinginan untuk mencinta, untuk merasakan debar-debar romantisme yang tidak bisa didapat dari manapun, keinginan untuk mengalami kembali apa yang telah ditinggalkan dalam proses-proses sebelumnya. Titik ini merupakan akhir sekaligus awal yang baru, jika memang kemudian ada sebuah pengalaman mencinta lagi. Demikianlah, prosesnya berulang. Keinginan mencinta, kegagalan dan kehilangan, pemahaman dan penerimaan, titik balik dan kebangkitan, dan keberhasilan merelakan, untuk kemudian merindukan kembali pengalaman mencinta tersebut.
Mungkin ini hanya sebuah kebetulan, atau bahkan hanya sekedar produk dari kekurangkerjaan pikiran saya. Tapi, saya senang karena saya bisa membaca satu pola pada hari ini. Cukup untuk mengingatkan bahwa otak saya masih sehat. Terserah kalian ingin menganggap ini hasil dan bahan renungan atau sekedar ocehan sisa demam. :)
Selamat pagi menjelang siang.
No comments:
Post a Comment