Pagi ini, aku membuka mata bersamaan dengan Zia. Melihat mata mungil tajamnya tersenyum sebuah rasa pun muncul di solar plexus, yaitu campuran antara bahagia, senang, gemas, dan ingin tertawa. Aku pun tersenyum bersamanya. Ketika itulah aku teringat sejumlah nama dan sejumlah kata yang kuanggap bermakna. Secara spesifik, aku teringat puisiku yang berjudul Garis Darah.
Puisi itu kutulis sekitar tahun 2009 (atau 2010, aku lupa yang mana) dan awalnya kujuduli Anak Panah. Dalam puisi itu, aku menyampaikan posisi dan sudut pandangku dalam berhubungan dengan orang-orang yang kuanggap berharga. (Orang-orang yang kumaksud disini adalah mereka yang telah rela membagi masalahnya untuk kudengarkan, dan mereka yang telah mau kubuat sedikit lebih senang.) Baris pertama puisi itu, "Aku hanya merentang busur," kira-kira mengandung makna bahwa aku hanya membantu memberikan sedikit dorongan kepada mereka untuk terbang. Selanjutnya, "Anak panah itu biar terbang bersama angin."
Aku benar-benar tidak mengharapkan apa-apa dari mereka selain sekelumit cerita ketika mereka sejenak berhenti berlari. Sebab aku adalah pencerita. Pembaca. Yang kucari dan kubisa hanya kata-kata. (Kata-kata adalah bentuk ekspresi yang kupilih, sama seperti mereka memilih cahaya, gerak, bentuk, warna, atau nada untuk mengungkapkan diri.) Pernah suatu ketika, seseorang yang aku 'bantu' (maaf jika kata itu terkesan congkak) tak pernah menoleh lagi setelah berlari. Jujur, aku sama sekali tak sakit hati meskipun dia menghilangkanku dari cerita hidupnya. Sebab bagiku, setelah gandewa itu kulepas, dan mereka melesat, tugasku selesai.
Awal tahun ini, puisi itu kemudian kuganti judulnya menjadi Garis Darah. Sebab ternyata pada Zia aku juga memposisikan diri sama seperti pada para 'anak panah' itu. Aku hanya mempersiapkan dia untuk melesat sendiri. Untuk menjadi. Dia mungkin 'menjadi helai-helai keentahan/atau mencuri bulan.' Dia mungkin 'membunuh kijang/atau membujuk hujan.' Dan aku akan duduk diam disini mengamati. Aku bukan tak peduli, aku hanya takkan mengintervensi larinya jika memang dia telah siap berlari. Sekali lagi, aku percaya bahwa tugasku hanya mempersiapkannya untuk berlari. 'Jika suatu hari dia ingin kembali/Aku akan ada disini.' Aku akan berterima kasih jika mereka kembali membawa kisah, sedih ataupun bahagia, tapi aku takkan memaksa, apalagi sampai sakit hati karena mereka lupa.
Intinya, meski puisi itu ditulis untuk nama-nama yang (sebagian pernah, sebagian masih) ada dalam ceritaku, karena Zia-lah aku mengubah judulnya. Sebab, dari mereka aku belajar banyak. Kata-kataku adalah cermin. Dari apa yang kusampaikan pada mereka, aku melihat dan membaca diriku sendiri.
Selamat pagi.
selamat siang (saat ini sedang siang)!
ReplyDeletesebagai salah satu nama dalam cerita itu saya merasa sangat terhormat sekali. menyenangkan rasanya memiliki saudara yang mau mendengar keluh-kesah atau sekedar luapan emosi baik itu senang maupun sedih. buat saya semua orang memang memiliki kebebasan untuk menentukan sendiri pilihan hidupnya dan memiliki orang yang akan selalu mendorong dari belakang adalah hal yang harus disyukuri. such support will always make my life easier. doumo arigatou gozaimasu, oniichan! :D
Alm. nenekku percaya bahwa ketika kita memberi pada orang lain, sesungguhnya kita sedang memberi pada diri sendiri. Dan aku mendasarkan (sebagian) prinsip hidupku pada nasehat-nasehat beliau. :)
ReplyDeleteSuch support is always available whenever it is needed. (Dan aku tidak tahu bahasa Jepang untuk terimakasih kembali, dik.) :D