Saturday, April 23, 2016

Purnama Malam Tadi

purnama malam tadi serupa gadis lugu
bercadar awan tipis, tersenyum malu-malu
entah siapa yang ia goda, entah siapa saja yang terpesona
selain para pemuda jatuh cinta

di antara desau angin,
aku dengar anjing menggonggong
serigala melolong;
burung hantu diam-diam membuka mata lebar-lebar
sementara separuh isi dunia lelap dalam lupa
mungkin itu isyarat rindu malu-malu yang hanya dipahami pemiliknya

disini, aku menulis surat cinta tanpa tahu bagaimana menyampaikannya
kecuali dengan duduk dan bercerita sampai bintang terkantuk dan angin ngamuk
bersegera mengantar fajar untuk mengusir rindu usilku ke bawah bantal
agar mimpi jadi puisi tentang purnama malam tadi.

Thursday, April 21, 2016

Jangan Dulu Mati

Kawan, kau ingat segelas kopi dan obrolan
Yang kau belikan untukku pada perpisahan itu?
Kau bilang, semesta punya rencana, dan kita
Tak boleh mati percuma.
Jadi, malam ini kuminta, jangan dulu mati.

Luka-luka pada kakimu yang tak henti berlari sejak dulu
Mungkin tak akan sembuh.
Liang-liang pada hatiku yang tak henti mencari sejak dulu
Mungkin tak akan utuh.
Tapi pencarian-pelarian kita adalah jatah peran dari semesta
Jadi, jangan dulu mati.

Aku tak tahu apa rasanya tak bisa lagi melangkah
Ketika makna hidup kau susun dari jejak,
Sebagaimana kau tak tahu rasanya mencinta dengan hati yang tak sampai separuh
Sementara cinta adalah nyawa.
Tapi, lukamu dan hampaku adalah sama, sebenarnya
Bukti bahwa kita sedang perang, sendiri-sendiri, melawan kematian tak bermakna
Jadi, jangan dulu mati.

Langit menyalakan matahari, lalu bintang dan purnama
Untuk jadi petunjuk jalan agar kita tak lupa mengemas luka dan menutup kekosongan
Lalu beranjak pulang,
Menemui ia yang jadi alasan kenapa kita masih ada.
Jadi, jangan dulu mati, kawan.
Jangan berhenti berjuang.
Aku masih berhutang segelas kopi dan sebuah obrolan
Pada pertemuan.


Kutulis untuk mereka yang merasa sendirian dan kelelahan dalam perjalanan; kau tak benar-benar sendiri, kawan.

Sunday, April 17, 2016

Facepainting (Kekasih Pelukis)

Jangan menangis, bukankah kau tahu aku pelukis?
Lihat cerminmu, kau tak lagi abu-abu. Tersenyumlah.

Bibir pucatmu kuberi merah paling cerah
Pipimu bersemu hijau-biru
Lalu mata itu, bukankah warnanya senada dengan ungu sepatumu?

Jangan menangis, tersenyumlah
Aku membuat cinta buta melihat warna-warni indah
Hanya untukmu, hanya padamu
Bersyukurlah.

Jangan menangis, kau harusnya bangga jadi kanvasku
Berapa banyak pelukis sepertiku yang kau tahu?
Yang fasih menggunakan meja dan tinju
Mewarnaimu.

Saturday, April 16, 2016

Daftar Putar

Ini akan jadi malam yang sama seperti malam-malam saya yang lain.  Malam tanpa tidur.  Tapi, setidaknya malam ini saya punya alasan bagus: menyelesaikan pekerjaan sebelum tenggat waktu berakhir.  Selama karir saya sebagai penerjemah, salah satu hal yang paling mempersulit pekerjaan adalah mengatasi kejenuhan.  Terlepas dari masalah teknis seperti tulisan yang kurang baik tata bahasanya (yang membuat saya harus ekstra berpikir untuk menemukan makna kalimatnya), istilah-istilah teknis yang belum saya kuasai (yang membutuhkan waktu dan kesabaran sedikit lebih banyak untuk mencari padanannya lewat berbagai sumber), dan klien yang menganggap penerjemah adalah Sangkuriang (mampu menyelesaikan pekerjaan dalam semalam), yang paling menghambat saya menyelesaikan sebuah terjemahan adalah kejenuhan.

Dalam kondisi prima, ketika otak dan badan saya bekerja sama dengan baik, saya mampu menyelesaikan sekitar 2-3 halaman terjemahan per jam.  Dalam kondisi ideal, ini berarti saya bisa menyelesaikan sampai 20-25 halaman per hari (dengan asumsi saya mampu bekerja 8-10 jam sehari).  Sayangnya, kondisi ini tidak setiap hari terjadi.  Sama seperti pada profesi lainnya, kejenuhan pasti akan menimpa setiap pekerja.  Bagi saya, yang setiap hari duduk di depan komputer selama berjam-jam, kejenuhan itu lebih cepat datang.

Salah satu trik saya untuk mengatasi kejenuhan adalah dengan menyetel daftar putar ketika bekerja.  Sementara otak dan tangan saya sibuk menerjemahkan dan mengetik, suara-suara di latar belakang itu menyediakan semacam pengalihan (distraction) agar pikiran saya tidak terlalu lelah karena fokus berlebihan.  Kecuali saya telah benar-benar jenuh, trik ini hampir selalu berhasil.

Saat ini, daftar putar yang menemani saya bekerja berisi lima album terakhir Eminem, album OST Ada Apa dengan Cinta dari Melly Goeslaw, album Rectoverso dari Dewi Lestari, dan dua album pertama Avril Lavigne. 

Eminem pasti masuk daftar putar saya sebab kelincahannya menyampaikan emosi lewat permainan kata dan irama sangat menginspirasi.  Album OST AADC saya masukkan ke daftar putar kali ini sebenarnya hanya karena saya baru menonton ulang filmnya, yang adalah salah satu film yang sangat mempengaruhi saya ketika remaja.  Album Rectoverso sebenarnya kurang cocok untuk saya pakai mengiringi bekerja, entah karena apa.  Tapi, saya terlalu malas untuk menghapusnya dari daftar putar ini.  Dan album Let Go dan Under My Skin Avril termasuk album favorit saya.  Mendengarkan lagu-lagu dalam dua album ini, dan lagu-lagu Eminem, selalu bisa membangkitkan semangat saya. Paling tidak, ketika otak saya lelah menerjemahkan, saya bisa ikut berteriak-teriak (dalam hati) mengikuti mereka bernyanyi.

Demikian, tulisan ini saya buat tanpa tujuan apa-apa; hanya sekedar karena saya butuh istirahat sebentar sebelum melanjutkan pekerjaan.  Dan saya ingin menulis sesuatu yang tak membutuhkan pemikiran panjang atau perenungan mendalam, sebab energi saya harus disimpan untuk menyelesaikan 50 halaman dalam 36 jam.

Selamat malam.

Friday, April 15, 2016

Surat untuk Entah Siapa

Teruntuk kamu,

Akhirnya akan seperti ini.  Kita menjadi tua.  
Tahun-tahun yang kita tandai dengan sobekan kalender akan memberitahu bahwa mimpi-mimpi masa muda tak bisa menjelma semua.  Aku masih perokok, masih minum kopi tujuh cangkir sehari.  Aku masih sering duduk di bawah langit tengah bulan untuk berusaha menikmati purnama, kecuali jika hujan, tanpa bisa mengingat wajah yang dulu membuatku mengawali kebiasaan ini.  Apakah kau sudah menyadari hal yang sama: Betapa waktu bisa membuat segalanya, cepat atau lambat, jadi tak penting pada akhirnya?

Aku menulis ini sambil duduk di beranda, dengan semangkuk bubur kacang di sebelah asbak dan cangkir kopi di atas meja kecil yang kubuat sendiri dari sisa-sisa rak buku yang hancur setelah ditabrak anakku dengan mobil mainannya.  Aku membayangkan suara yang kudengar dari dalam adalah suaramu; sibuk memasukkan semua yang diberi hari ke dalam kotak memori, untuk nanti dipilah, dipilih, dan dikonversi menjadi cerita pengantar tidur yang akan kau selipkan di kepala anakmu.  Tapi, suara yang kubayangkan adalah suaramu itu adalah suara pengisap debu.  Aku bahkan sudah lupa seperti apa suaramu sebenarnya.

Rumahku kecil, tapi halamannya luas.  Di halaman itu kami--aku, istri, dan anakku--menanam alpukat, jambu biji, lidah buaya, jeruk nipis, dan entah apa lagi.  Aku pernah mencoba menanam manggis (bukankah itu buah favoritmu?  Atau bukan?), tapi tak pernah tumbuh.  Di cabang pohon mangga, aku membuat sebuah rumah pohon sebagai markas untuk semua petualangan.  Di bawahnya, kugantung ayunan.  Tapi hujan kota ini tak pernah membiarkan kami berlama-lama bermain.

Aku ingat kotamu panas.  Rumahmu pasti rumah besar dengan banyak ruang tempat udara bisa keluar masuk dengan leluasa.  Di teras ada kursi kesayanganmu, yang sudah berkali-kali diperbaiki dan tak mau kau bagi dengan siapapun; termasuk suamimu.  Kursi dari kayu jati beralaskan bantal duduk yang setiap hari kau bersihkan dari debu.  Beberapa meter dari teras itu, ada pagar setinggi dada orang dewasa, untuk menghalangi orang-orang masuk seenaknya sekaligus memberimu kesempatan untuk melihat mereka berlalu-lalang; mengamati manusia.  Setidaknya, itu yang kubayangkan.  Aku sendiri tak yakin bayangan itu didasarkan pada pengetahuanku tentangmu atau tentang orang lain.  Mungkin ia cuma pengulangan adegan sebuah serial tv yang dulu sangat kusukai.

Sebenarnya, aku menulis surat ini hanya untuk menyampaikan satu hal: waktu telah berhasil memodifikasi segala sesuatu di kepalaku. Bukankah ini lucu?  Pada akhirnya semua pengalaman, semua cerita, semua adegan, semua episode hidup yang dulu kuanggap sangat bermakna atau sangat hebat atau sangat luar biasa berubah menjadi lembar-lembar yang terabaikan.  Rincian-rincian mengabur, meninggalkan sebuah kesadaran di tataran paling mendasar.  Dari semua pengalaman itu, tak lagi penting siapa tokohnya, bagaimana alur sebenarnya, atau siapa yang pergi, siapa yang ditinggalkan.  Yang tersisa hanya kerangka kisah untuk kita isi sendiri sampai jadi dongeng untuk mengajari anak-anak sesuatu tentang hidup.  Bahkan rasa paling kuat akan tak terasa lagi residunya pada titik ini.  Sebab akhirnya akan seperti ini, kita menjadi tua, sendiri-sendiri.

Salam,

Aku

Wednesday, April 13, 2016

Normal, Norma, dan Kau

Hafshah Zi, ketika kutulis ini, usiamu baru empat tahun lebih sedikit.  Yang akan kusampaikan disini tentu belum bisa kau pahami.  Tapi, nanti, jika aku ternyata tak sempat mendiskusikan ini denganmu, kuharap kau menemukan tulisan ini.

Akan ada masa dalam hidupmu dimana kau mempertanyakan segala sesuatu tentang dirimu.  Akan ada saat dimana kau mungkin merasa berbeda dari teman-temanmu, dan perasaan itu akan membebanimu.  Jika itu terjadi, aku ingin memberitahumu ini:

Wajar jika kau ingin merasa (atau dianggap) normal.  Tapi, kau harus ingat, normal itu sendiri bisa didefinisikan bermacam-macam.  Normal itu berkaitan dengan norma (coba periksa KBBI atau Mirriam Webster's Dictionary).  Segala sesuatu yang mengikuti norma adalah normal.  Segala sesuatu yang menyalahi norma adalah abnormal.  Pertanyaannya, aturan macam apa yang harus diikuti?

Pada masa kakekmu remaja, pria berambut sebahu, berkumis, mengenakan kemeja dengan dua kancing atas terbuka, kacamata yang hampir jadi kacapipi, dan celana cutbray adalah normal.  Pria yang tak berani memegang tangan wanita adalah wajar, normal. Itu norma yang berlaku ketika itu.  Pada masa itu, gotong royong dan saling bantu adalah normal.  Tapi norma itu makin lama makin terkikis, Hafsah Zi.

Pada masa ketika aku dan bundamu remaja, wanita perokok adalah tidak normal, para penyuka sesama jenis tidaklah normal.  Ada aturan sosial tidak tertulis tentang itu.  Ada norma sosial yang harus dipatuhi agar seseorang bisa dianggap normal oleh lingkungan sosialnya.  Saat kutulis ini, norma sosial telah bergeser berkali-kali.  Para penyuka sesama jenis, wanita yang merokok di tempat umum, pasangan remaja yang bertingkah laku seperti orang yang telah menikah tidak lagi dianggap abnormal oleh sebagian orang (yang jumlahnya makin banyak).  Mungkin ketika kau remaja nanti, semua yang aku anggap normal justru malah jadi abnormal, dan segala yang kuanggap tidak normal malah jadi sesuatu yang wajar.  Norma sosial dibentuk dan diubah oleh lingkungan sosial yang menjalaninya, Hafsah Zi.

Tak ada salahnya kau mengikuti norma sosial yang berlaku di lingkunganmu.  Tapi, aku ingin mengingatkan bahwa norma sosial terbentuk oleh kesepakatan bersama.  Masalah utama demokrasi (dengan sistem suara terbanyak) adalah: kadangkala suara terbanyak bukanlah suara yang paling benar.  Jadi, kita kembali ke pertanyaan tadi, norma seperti apa yang harus kau ikuti?

Saranku, jangan lihat normanya, tapi lihat nilai yang terkandung dalam aturan itu.  Tak usahlah kau memaksakan diri menjadi normal, kalau untuk itu kau harus merusak dirimu.  Lalu, bagaimana kita bisa tahu nilai yang terkandung itu baik atau tidak?  Kau nanti mungkin menyadari bahwa apa yang kau anggap baik, yang kau yakini benar, ternyata tidak seperti itu.  Apa yang harus kita percaya jika ternyata pikiran kita sendiri bisa menipu, bisa keliru?  Jawabanku, percayalah pada sesuatu yang tak mungkin keliru.  Percayalah pada Tuhanmu.

Kurasa, saran terbaik yang bisa kuberi untukmu tentang hal ini adalah: Pelajari norma-norma agama dan definisikan 'normal' mu berdasarkan norma itu. Tapi jangan terjebak pada norma hasil 'interpretasi', sebab seperti kukatakan tadi, pikiran manusia bisa keliru.  Percayalah, ini sangat sulit, Hafshah Zi.  Kau harus mahir berpikir kritis.  Kau harus ahli menganalisis.  Kau harus paham apa yang kau pertanyakan itu.  Mudah-mudahan aku masih sempat mengajarimu semua ini.

Sekali lagi, jika normal berarti mengikuti norma yang entah disepakati oleh siapa saja, norma yang masih kau pertanyakan kebenaran dan kebaikannya, lebih baik kau berbeda saja, lebih baik kau dianggap tidak normal.  Meski itu berarti kau akan sulit berfungsi dengan baik di lingkungan sosialmu, tak apa.  Yakinlah bahwa ada lingkungan lain yang sepikiran denganmu.  Kalau tak ada, mungkin kau bisa membentuk sendiri lingkungan baru.

Menjadi normal adalah mengikuti norma.  Kau hanya perlu ingat bahwa kau tak harus mengikuti norma yang diikuti oleh orang lain, kecuali jika norma itu tak bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsipmu.

Hafshah Zi, mari kita berdoa, semoga aku masih punya waktu untuk mengajari dan membimbingmu,

Aku sayang kau, selalu.

Hujan Akhir Pekan

Kotaku diguyur hujan akhir pekan
Para pelancong berjatuhan dari mendung yang jenuh
Menggenangi jalan jalan dan selokan
Membawa sampah dan serapah ke permukaan.

Para pelancong itu menguap satu-satu
Dari tempat kerja mereka yang panas; sepanjang minggu
Terbawa oleh entah angin apa ke atas kotaku
Untuk tumpah di hari Sabtu.

Mereka menggenangi pusat-pusat belanja, kafe-kafe, dan kamar-kamar yang lalu menaikkan harga;
Membanjiri jalan-jalan menuju tempat wisata;
Mengalir tak putus ke segala arah;
Menciptakan dingin dan malas di ruang-ruang pribadi kami.

Hujan akhir pekan adalah hujan
Yang menghilangkan kehangatan
Kotaku tenggelam sebelum malam.


Puisi

Puisi adalah pemberontakan terhadap segala apa yang mengekang.
Puisi adalah pelarian impian.
Puisi adalah wajah untuk segala yang indah.
Puisi adalah wadah untuk semua jadah.
Puisi adalah apa yang kau pertanyakan pada dini hari tadi
Yang kau senyumi siang ini, yang kau tangisi malam nanti.
Puisi adalah yang kau tinggalkan kemarin, yang kau lupakan hari ini, yang kau temukan lagi nanti.
Puisi adalah bayangmu dalam cermin;
Sendiri, terperangkap di pintu lemari.

Mari Pulang

Mari pulang, sayang
Aku harus menutup jendela dan tirai-tirai
Sebab petang sudah hampir hilang

Ibu bilang, segala iblis dan siluman
Keluar petang hari,
Tepat ketika siang-malam berganti

Mari pulang, jangan pedulikan hujan
Aku harus mengunci pintu sebelum masuk segala hantu
Ke rumah atau hatiku

Sudah cukup ada kau yang memenuhi mimpi
Mencekik dari kolong ranjang atau dari balik lemari

Kopi Februari

Kalau nanti Februari terasa sepi,
pesanlah secangkir kopi di warung itu
bawa ke meja mana saja, lalu tunggulah disana
mungkin satu-satu mereka akan tiba
untuk menyelamatimu, menyelamatkanmu
seperti dulu.

Kalau nanti Februari telah habis
dan kau masih merasa ingin menangis, pulang saja
lalu tunggu aku
jerang air matamu dan seduhlah kopi
aku akan singgah ke kamarmu membawa segelas susu
siapa tahu bisa membantu
seperti dulu.

Ini saya tulis pada akhir Februari; mengenang mereka yang telah lama tidak duduk bersama untuk mengobrol di antara kopi.

About Me

My photo
seorang separuh autis yang memandang dunia dari balik kaca jendelanya. ia duduk diam mengamati,membaca dan menafsir tanda, mencari makna.