Thursday, April 24, 2014

Cerita Hantu (bagian pertama)

Berikut ini adalah sejumlah cerita mengenai hal-hal yang biasa disebut hantu.  Aku percaya pada kisah-kisah ini karena aku sendiri pernah mengalami langsung beberapa di antaranya.

Kejadian pertama, di daerah tempatku lahir dan tumbuh besar.  Semasa SMP, salah satu momen yang sangat kutunggu adalah musim durian.  Bukan saja karena buah itu adalah salah satu buah favoritku, tapi juga karena aku selalu berkesempatan mendapatkan buah segar yang baru jatuh dari pohonnya.  Di daerahku, adalah praktek yang biasa bagi para remaja untuk menjagai kebun durian milik juragan.  Bagi kalian yang belum tahu, buah durian yang telah matang akan jatuh sendiri dari pohonnya (yang bisa mencapai ketinggian lebih dari 7 meter).  Tugas kami sebagai penjaga kelekak (kebun durian) adalah mengumpulkan buah-buah yang jatuh sepanjang malam untuk kemudian dibawa ke pemilik kebun atau langsung ke pasar keesokan harinya.  Dari sekian banyak buah yang jatuh, kami akan mendapatkan jatah beberapa buah.

Tujuan utama aku dan teman-teman menjaga kelekak bukanlah jatah durian gratis, tapi kesempatan untuk bermalam di luar rumah (yang berarti kami bisa merokok tanpa ketahuan orangtua).  Di daerahku ada semacam pepatah orangtua: "Jika kau mendengar suara 'keresek' dan 'gedebug', segera cari dimana durian itu jatuh.  Jika yang terdengar hanya 'keresek' saja, ada kemungkinan buahnya tersangkut di dahan.  Tapi jika yang terdengar hanya 'gedebug' saja, berhati-hatilah.  Sebab kemungkinan besar itu adalah Hantu Kepala."  Inilah yang aku alami suatu hari.

Malam itu, aku dan tiga orang teman sepermainan menjagai kelekak milik tetangga nenekku.  Kebun ini adalah kebun favorit kami sebab pemiliknya sangat baik.  Kami dipersilakan memakan durian sepuasnya di kelekak dan akan memperoleh bagian dari hasil penjualan keesokan harinya.  Seperti biasa, menjelang tengah malam, kami mulai mengantuk.  Sambil menghirup kopi dan menyesap rokok, Erik, salah satu temanku mulai menceritakan legenda-legenda tentang Hantu Kepala.  Masing-masing dari kami berusaha menyembunyikan rasa jerih, sebab sekali kau kelihatan takut, kau akan menjadi bahan olok-olok sebulan penuh.

Ketika Erik selesai bercerita, Epan, yang paling bengal di antara kami berempat, mulai berbicara keras.  Kuduga, ia ingin menyembunyikan ketakutannya.  Aku mulai merasa tidak nyaman ketika kata-katanya mulai terkesan sombong. "Mana Hantu Kepala, aku sama sekali tak takut," teriaknya lantang.  Aku memperingatkannya untuk tidak bertingkah seperti itu.  Aku meyakini prinsip bahwa mereka tidak akan mengganggu jika tidak diganggu duluan.  Tapi dasar bengal, Epan malah makin lantang berteriak.  "Kalau memang Hantu Kepala itu ada, biar dia datang kesini.  Kutendang dia sampai ke jurang sana."

Baru saja Epan selesai berteriak, kami mendengar suara 'gedebug'.  Kami berempat saling berpandangan.  Ada pertanyaan yang sama di sorot mata kami, pertanyaan yang tak bisa terucap, "Apakah tadi ada suara 'keresek' nya?"

Aku tak merasa mendengar suara buah yang jatuh melewati dedaunan durian.  Tapi aku tak yakin karena tadi aku terlalu sibuk menghentikan teriakan-teriakan Epan.  Ai dan Erik pun berkata  bahwa mereka hanya mendengar suara buah menyentuh tanah saja.  Dengan jantung berdebar kami memandang Epan.  Menyuruhnya mencari durian yang baru saja jatuh itu.  "Biar saja," pikirku, "biar dia tahu rasa kalau memang itu Hantu Kepala."  Aku tahu harusnya aku tak berpikir seperti itu, tapi aku tak bisa mengingkari bahwa aku sedikit takut.

Dengan jumawa, Epan mengambil senternya dan berjalan ke arah suara durian jatuh tadi.  Cukup lama dia pergi, sekitar lima belas menit.  Selama lima belas menit itu, kami bertiga menahan rasa tegang.  Ketika ia kembali, barulah kami bernapas lega karena Epan menenteng sebuah durian di tangan kirinya.  Sesampai di pondok, ia meletakkan durian itu tepat di bawah tangga, sambil berucap, "Nih Hantu Kepala yang kalian takuti.  Kita belah saja, ya?"

Aku mengambil parang di dalam pondok dan menyerahkannya ke Epan.  Tapi, ketika ia akan mengayunkan parang itu, kami berempat serempak berteriak.  Di bawah tangga, sebuah kepala berambut gimbal menyeringai kepada kami.  Taringnya berlumuran ludah.  Dan ia kemudian tertawa seram.

Tanpa banyak bicara kami berlompatan dari pondok dan berlarian pulang ke rumah masing-masing.  Tak satupun dari kami berani menjaga kelekak lagi sampai dua musim durian selanjutnya.  Banyak orang yang tak percaya ketika kuceritakan kisah ini, tapi ini kisah nyata, saudara.


(bagian pertama selesai, akan kuceritakan kisah lainnya di lain waktu)

No comments:

Post a Comment

About Me

My photo
seorang separuh autis yang memandang dunia dari balik kaca jendelanya. ia duduk diam mengamati,membaca dan menafsir tanda, mencari makna.