Menjadi penulis adalah sebuah status yang tidak bisa didapat dengan mudah. Apalagi menjadi penulis yang telah terpublikasi (published writer). Jika kita percaya perkataan Einstein, yang sering dikutip, bahwa keberhasilan adalah satu persen bakat dan 99 persen kerja keras, maka kita bisa mempercayai pula pepatah lain yang senada namun lebih spesifik: semua orang bisa menulis. Masalahnya tinggal berapa banyak bakat yang dimiliki. Semakin sedikit bakat yang dimiliki, semakin keras pula usaha yang harus dikerjakan.
Bukan bermaksud mengeluh, tapi kurasa bakat menulisku tidak terlalu banyak. Aku memang punya banyak ide, banyak inspirasi, tapi ketika sudah berhadapan dengan hal-hal teknis yang sangat mempengaruhi kualitas tulisan, aku jadi serupa anak kucing yang kepalanya masuk ke dalam keresek plastik. Jujur, kalau ditanya kenapa aku memilih menulis puisi, aku seringkali memberikan jawaban-jawaban yang tidak sepenuhnya benar, meski tak sepenuhnya salah juga. Misalnya, karena aku senang mempermainkan kata-kata dan mengotak-atik makna. Ini memang benar, tapi ini bukan alasan utama kenapa aku memilih menulis puisi. Alasan utamanya adalah karena aku tidak pernah bisa benar-benar menguasai teknik-teknik penceritaan.
Aku telah mencoba, membaca dan memahami berbagai teori penulisan, mempraktekkan apa yang telah aku baca dan pahami, tapi tetap saja, hasilnya masih jauh dari bagus. Kekuranganku yang paling besar adalah ketidakmampuanku untuk memberikan karakter pada tiap tokoh yang kutulis. Ketika menulis cerpen, aku masih belum bisa menjadi orang ketiga, menjadi pengarang yang siap mati. Aku masih menjadi pencerita. Mengerti kan apa maksudku?
Penulis yang baik adalah penulis yang kehadirannya tidak terasa di dalam tulisannya. Di dunia yang diciptakannya, ia sama sekali tak terlihat, tak terdengar, dan tak terendus keberadaannya. Dunia itu seolah-olah ada begitu saja untuk dialami oleh para pembaca. Dunia itu dialami oleh para pembaca lewat pengalaman para tokohnya. Para tokoh itulah yang bercerita, bukan sang pengarang. Ia hanya sekedar menuliskan saja. Suara yang mendeskripsikan dunia itu di kepala para pembaca adalah suara para pembaca itu sendiri. Ketika pembaca membalik halaman terakhir dan meletakkan bacaannya, sambil menghembuskan napas, barulah mereka sadar bahwa dunia itu diciptakan oleh seorang pengarang. Penulis yang baik berada di luar semesta yang diciptakannya.
Aku belum bisa seperti itu. Jika kalian kebetulan pernah membaca cerpen-cerpen yang ku tulis, keberadaanku dalam tulisan-tulisan itu sangat terasa. Sebab selalu aku lah yang bercerita; si A begini karena ini, si B melakukan itu karena anu, dst. Kepuasan mengalami menjadi sangat berkurang karena pembaca tidak benar-benar mengalami semesta yang kuciptakan, melainkan hanya sekedar diberitahu saja. Bukan salah pembaca, tapi salahku yang belum bisa bercerita tanpa memberi tahu. Kuharap kalian mengerti maksudku.
Sebelum bisa menjadi penulis terpublikasi, aku harus terlebih dahulu menjadi penulis yang baik. Dan itu berarti bekerja lebih keras lagi. Sebab kepenulisan bagiku bukanlah sebuah hobi, melainkan sebuah aspirasi, sebuah tujuan yang (meski seringkali kusembunyikan dari dunia) teramat sangat ingin kucapai. (Penggunaan 'sangat' di kalimat terakhir adalah untuk menegaskan seberapa besar keinginanku itu.)
Tulisan ini akan kututup dengan pertanyaan: ada yang bisa mengajariku bagaimana bercerita tanpa memberitahu? Jika ada, tolong ajari aku.
Terima kasih.
No comments:
Post a Comment