Sunday, April 20, 2014

Kompromi

Jam kerja telah berakhir.  Sehabis membereskan semua unit demo dan display, aku dan teman-temanku beranjak.  Mereka menuju eskalator turun untuk kemudian keluar dan (kuduga) menaiki kendaraan umum ke tempat masing-masing.  Aku tak tahu apakah mereka memang naik kendaraan umum atau tidak, atau bahkan pulang atau tidak, sebab aku berpisah dengan mereka di eskalator.  Mereka turun, sementara aku menuju eskalator naik.  Naik ke tempat makan di lantai tiga.  Aku memang tak sabar ingin pulang, ingin bertemu Zia dan Dilla, tapi aku masih harus  mengunggah laporan mingguan.  Laporan ini harus masuk sebelum hari berganti, demikian perjanjianku dengan pihak yang membayarku untuk melakukan ini.  Demikianlah, satu-satunya cara agar perjanjian tersebut terpenuhi adalah dengan naik ke lantai tiga dan mengunggah laporan ini secepatnya.  

Ini adalah contoh kompromi.  Kompromi, jika didefinisikan secara bebas, adalah kegiatan menerima dan menyesuaikan diri dengan pihak lain (atau dengan suatu kondisi).  Semakin besar yang harus diterima, dan semakin banyak yang harus  disesuaikan, semakin sulit pula sebuah kompromi.  Tujuan sebuah kompromi adalah agar pihak-pihak yang terlibat bisa mencapai titik tengah dimana semuanya memperoleh keuntungan (relatif) dan tidak dirugikan (juga relatif).  Relativitas keuntungan dan kerugian  tersebut tergantung pada sejumlah faktor.  Selain tingkat kesulitan penerimaan dan besarnya penyesuaian yang harus dilakukan, relativitas tersebut juga tergantung pada motivasi dan tujuan dasar yang ada pada masing-masing pihak.  Hal ini berlaku untuk semua jenis kompromi (maksudnya untuk semua kompromi, terlepas dari apapun situasinya dan siapapun pihak yang terlibat).

Sebagai contoh, dalam pekerjaan ini aku harus menerima aturan dan jam kerja yang (jika dibandingkan dengan pekerjaan sebagai penerjemah lepas) lebih ketat.  Berkurangnya kebebasan dalam bekerja tersebut aku kompromikan dengan upah yang (jika dibandingkan dengan pekerjaan sebagai penerjemah lepas) lebih lumayan.  Ketika kemudian ada penambahan tanggung jawab kerja, misalnya keharusan untuk menyelesaikan laporan meski jam kerja telah berakhir, maka harus ada kompromi tambahan.  Dalam hal ini, pihak-pihak yang terlibat sepakat dengan penambahan upah kerja.

Sebuah kompromi tidak berdiri sendiri.  Tiap kompromi pasti disertai oleh kesepakatan dan komitmen.  Kesepakatan merupakan hasil akhir sebuah proses kompromi, sementara komitmen merupakan tindak lanjut agar kompromi dan kesepakatan yang telah tercapai bisa dijalankan.  Kedua hal ini sama pentingnya dengan kompromi itu sendiri.  Jika tidak ada kesepakatan, berarti proses kompromi yang dilakukan gagal sebab pihak-pihak yang terlibat tidak bisa mencapai posisi imbang dimana masing-masing bisa memperoleh keuntungan relatif dengan kerugian relatif yang masih bisa ditanggung.  Kalaupun kesepakatan telah tercapai, kesepakatan tersebut tidak akan berguna tanpa komitmen untuk menghargai dan melaksanakan kesepakatan tersebut.  Komitmen merupakan bagian terberat karena, jika kompromi dan kesepakatan (mungkin) bisa tercapai dalam waktu relatif singkat, komitmen harus terus menerus dipegang dan dijalankan.

Sebagai ilustrasi, seorang suami yang berkompromi dan sepakat dengan istrinya (misalnya tentang cara membesarkan anak atau tentang cita rasa masakan di rumah) harus bisa memegang komitmen atas kesepakatan tersebut.  Misalnya, sang suami ingin membesarkan anak dengan pendekatan keras (menghukum anak sejak dini sesuai dengan kesalahannya agar si anak tahu  bahwa ia berbuat salah) sementara sang istri ingin membesarkan anak dengan pendekatan halus (menghindari hukuman sebisa mungkin ketika anak berbuat salah dan menggantinya dengan memberikan penjelasan dan pengarahan).  Kompromi yang dilakukan adalah membahas pro dan kontra kedua pendekatan tersebut  (misalnya, pendekatan keras bisa membuat anak menjadi tidak manja sementara pendekatan halus bisa menghindari trauma emosional pada diri anak).  Mungkin kedua belah pihak mencapai kesepakatan dimana hukuman boleh diberikan ketika anak secara sengaja berbuat kesalahan besar, meski telah diberikan penjelasan dan pengarahan sebelumnya.  Bagian terberat dalam hubungan ini justru pada komitmen kedua belah pihak untuk melaksanakan kesepakatan sebaik mungkin secara terus menerus.

Jadi, meski kompromi, kesepakatan, dan komitmen bukan penentu utama keberhasilan, keberhasilan seseorang akan sangat dipengaruhi oleh kemampuannya berkompromi, mencapai kesepakatan, dan berkomitmen dalam menghargai dan melaksanakan kesepakatan hasil kompromi.

Selamat malam.  

No comments:

Post a Comment

About Me

My photo
seorang separuh autis yang memandang dunia dari balik kaca jendelanya. ia duduk diam mengamati,membaca dan menafsir tanda, mencari makna.