Monday, April 21, 2014

Kelelahan Kesendirian (part 2)

: 별 

Aku berfantasi bahwa ia mendatangiku dalam mimpi
membawakan segelas kopi.
lalu memintaku bercerita
mengajakku tertawa
dan menyuruhku menangis.  "Airmata," katanya,
"adalah yang akan menyampaikan dukamu padaku.
Dan do'a akan membawakan rindumu."

Fantasiku begitu nyata
sampai kopiku habis dan dasar gelas menjadi cermin:
kata-kata yang kudengar itu  adalah kata-kataku sendiri.
kesendirian ini membuatku lelah
dan kelelahan ini bukan mimpi.

Maka, kusampaikan airmata padanya:
"Aku butuh pundak
atau telinga untuk dibentak
sebab cerminku tak lagi tersenyum.  Aku tahu kau takkan kembali, tapi,
sebenarnya kau tak pernah pergi dari hati.
Bahkan fantasi tentangmu mampu menguatkanku lagi."

Dan kukirimkan rindu:
"Ayah, aku lelah.  Tapi aku takkan menyerah
aku akan menjadi. Sebab yang benar-benar mengikatkanku padamu tinggal satu.
Dan aku tahu apa itu."

(Puisi ini belum selesai.  Aku belum bisa benar-benar menyampaikan apa yang ingin kusampaikan.  Aku belum benar-benar bisa mengungkapkan emosi yang aku rasakan, sebab emosi itu adalah emosi pinjaman dari seorang teman.  Aku terbitkan tulisan ini hanya untuk berusaha menyemangatinya, mengingatkannya bahwa ada (tinggal) satu cara untuknya menuntaskan kerinduan itu: Menjadi.  Dan bahwa dalam kelelahannya saat ini, dia tak benar-benar sendiri. Jika nanti aku telah mampu benar-benar memahami emosi yang harusnya mendasari puisi ini, dan menemukan kata-kata yang lebih mengena untuk menyampaikannya, aku akan merevisi tulisan ini kembali.  Terima kasih.)

(P.S. 'part 2' dalam judul tulisan ini adalah karena aku pernah membuat puisi berjudul sama, meski ceritanya beda. Dan aku tidak menemukan judul lain yang lebih pantas untuk menjuduli tulisan ini.)

4 comments:

  1. Menjadi adalah rangkaian proses yang tak akan pernah berujung, namun bercabang. Hingga 'aku akan menjadi' sebenarnya selalu melahirkan banyak tanya, setidaknya untuk saya, seperti itu.

    Atau mungkin hanya Ayah yang bisa menjelaskan apa itu 'menjadi'? -

    Ya, kita tidak benar-benar sendiri. Setidaknya masih ada secangkir kopi dan sebuah cermin, meski mungkin usang.

    ReplyDelete
  2. Proses itulah yg nanti akan diperhitungkan, bukan?

    Sebagai ayah, aku berharap anakku bisa menjadi salah satu dari tiga yang mengikutiku ke alam baka. Sebagai anak, aku berusaha memberikan apa yang bisa kuberi untuk orangtuaku.

    Dan cermin takkan menipu. Otak kitalah yang kadang salah menafsirkan apa yang dipantulkannya.

    ReplyDelete
  3. mungkin bukan salah, tapi belum mampu menafsirkan.

    ReplyDelete

About Me

My photo
seorang separuh autis yang memandang dunia dari balik kaca jendelanya. ia duduk diam mengamati,membaca dan menafsir tanda, mencari makna.