Sunday, May 4, 2014

Celetukan di Smoking Room

Saya baru kembali dari smoking room.  Di tempat-tempat macam inilah seringkali saya menemukan cermin.  Kali ini, yang menjadi cermin adalah celetukan seorang kenalan.  Saya sebenarnya tidak akrab dengan orang ini, saya bahkan tidak tahu namanya.  Saya hanya tahu bahwa ia bekerja di salah satu toko komputer di BEC, sama seperti ia tahu bahwa saya bekerja di booth Intel.

Saya sedang merokok sambil berusaha mengajak sejumlah orang mengobrol via bbm.  Tak seorangpun dari yang saya ajak tersebut membalas sapaan saya.  Ketika saya menutup flip cover telepon genggam saya, kenalan yang duduk di sebelah saya berujar, "Wah, Garuda euy."  Ia mengomentari stiker Garuda Pancasila yang saya tempelkan di bagian depan flip cover saya.  Saya hanya tersenyum sebab bingung harus mengomentari apa.  Kemudian, ia bertanya kepada saya dan teman di sebelahnya, "Sila keempat, ingat ga?"

Temannya menjawab, "Ketuhanan yang Maha Esa."

"Itu sila pertama.  Itu sih gampang.  Ayo, sila keempat." Ujar kenalan tadi dengan nada bertanya agak memaksa.

"Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan..." jawab saya, sengaja menggantungkan jawabannya, karena saya berasumsi bahwa sedikit pancingan tersebut akan mampu memicu ingatan mereka.

"Iya itu," sambut kenalan tadi, "maklum saya lupa, sudah lama.  Sudah sejak jaman sekolah."

Saya paham maksudnya, terakhir ia bertemu dengan Pancasila adalah belasan tahun lalu ketika ia masih bersekolah.  Saya tersenyum lagi.  Rokok saya sudah selesai, jadi saya berpamitan dengan kedua orang tersebut untuk kembali ke booth tempat saya bekerja.

Dalam perjalanan beberapa menit menuju booth, satu hal sempat terlintas di benak saya.  Pancasila awalnya diniatkan sebagai nilai-nilai yang bisa dijadikan acuan.  Sementara, dari komentar kenalan tadi, saya berasumsi (mudah-mudahan asumsi ini tidak dalam kategori berprasangka buruk) bahwa sikap kolektif bangsa Indonesia yang memperlakukan Pancasila hanya sebagai hapalan di sekolah atau bagian dari ritual upacara pengibaran bendera masih berakar di masyarakat.  Melihat kondisi ekonomi, sosial, politik, dan keagamaan bangsa ini, saya kira tidak berlebihan jika saya berasumsi demikian.  Sebab saya yakin bahwa jika kelima nilai yang terkandung dalam Pancasila memang dipegang dan diterapkan dalam masyarakat (dengan diselaraskan dengan nilai moral apapun yang dianut oleh masing-masing individu), kondisi Indonesia tidak akan separah ini.

Sila pertama, misalnya, awalnya diniatkan sebagai nilai utama yang bisa mendasari keempat sila setelahnya.  Ketuhanan yang Maha Esa adalah sebuah nilai luhur yang mencakup dan merangkum semuanya.  Bahkan meskipun kita mengabaikan sila kedua sampai kelima dan hanya menerapkan sila pertama ini, itu sudah cukup untuk memperbaiki kehidupan.  Pengamalan sila Ketuhanan yang Maha Esa berarti kita meyakini keberadaan Tuhan yang Satu dan mengimaninya.  Keyakinan  dan  iman ini akan terwujud dalam bentuk pelaksanaan nilai-nilai keagamaan sesuai yang kita anut.  Dan, karena ajaran semua agama adalah untuk melaksanakan perintah Tuhannya (yang mencakup semua hal termasuk praktek kehidupan kita), maka pemahaman dan pengamalan sila pertama Pancasila berarti menanamkan, memahami, dan menjalankan perintah Tuhan kita dalam keseharian kita sebagai seorang manusia dan warga negara Indonesia.  Ketika kita meyakini suatu agama atau keyakinan, dan menjalankan perintah Tuhan sesuai agama dan keyakinan kita dengan baik dan benar, niscaya tidaklah akan muncul masalah-masalah besar dalam praktek kenegaraaan dan kemasyarakatan.  

Selain itu, agama dan keyakinan terhadap Tuhan yang Maha Esa bersifat sangat pribadi dan individual.  Ini berarti, pengamalan sila pertama Pancasila akan bermula di level paling dasar, yaitu level individu, pada diri kita sendiri.  Tak usahlah kita mencampuri urusan keyakinan orang lain, terapkan saja dulu sila pertama ini dalam kehidupan kita.  Jika tiap individu rakyat Indonesia mau dan mampu melaksanakannya, niscaya akan tercipta tatanan masyarakat yang sangat optimal demi perkembangan bangsa, apapun agama yang dianut oleh tiap individu tersebut.  Pemahaman mengenai sifat pribadi agama dan keyakinan akan membuat kita mampu menoleransi agama dan keyakinan orang lain.  Jika kita paham bahwa urusan agama adalah urusan antara seorang pribadi dengan Tuhannya, maka kita akan sadar bahwa tak ada hak kita untuk memaksakan agama dan keyakinan kita kepada orang lain.  Kita bisa mengajarkan, mengajak, berdiskusi, mencontohkan, tapi tidak bisa memaksakan.  Inilah yang disebut toleransi, menerima bahwa perbedaan itu  ada dan tidak menjadikannya alasan perpecahan.  Meski demikian, toleransi ini jangan disalahartikan sebagai sikap skeptis, apatis, atau ketidakpedulian.  Toleransi justru muncul dari pengetahuan,  pemahaman, dan penerimaan.

Demikianlah, bahkan pemahaman tentang dan pengamalan sila pertama saja sudah menjamin akan muncul keselarasan dan kedamaian kehidupan berbangsa dan bernegara, apalagi jika kita mampu memahami  dan mengamalkan keempat sila lainnya.  Ketika Pancasila, yang dirancang dan ditujukan sebagai dasar negara, direduksi menjadi sebuah hapalan untuk ditampilkan pada upacara pengibaran bendera, maka mubazirlah ia.

No comments:

Post a Comment

About Me

My photo
seorang separuh autis yang memandang dunia dari balik kaca jendelanya. ia duduk diam mengamati,membaca dan menafsir tanda, mencari makna.