Nama Femia Yamaniastuti (jamaniastoeti.blogspot.com) bagi saya selalu identik dengan pentas teater. Bukan apa-apa, adik saya satu ini memang mengaktifkan diri menggeluti dunia keteateran sejak pertama saya mengenalnya bertahun-tahun lalu. Ketika ia masih berstatus mahasiswa, ia terlibat aktif di UPT Teater Lakon (mudah-mudahan saya tak salah menulis nama, sebab saya tak yakin nama organisasi tersebut berubah atau tidak), sebuah organisasi teater di lingkungan Universitas Pendidikan Indonesia. Di Teater Lakon, ia setidaknya aktif selama tiga tahun. Tahun pertama, sebagai anggota baru, ia terlibat dalam pementasan di tingkat kampus sebagai pemain. Tahun kedua, ia terlibat sebagai salah satu tim produksi (kalau saya tak salah, ia saat itu menjadi penata kostum). Tahun ketiga, ia menjadi sutradara.
Sebagai kakak, saya merasa wajib mendukung dan mengapresiasi usahanya untuk menjadi bermakna. Sebab itulah saya selalu menyempatkan diri menonton pementasan yang melibatkan dirinya (sejauh saya bisa melakukannya). Karena ia selalu berbaik hati menyediakan free-pass bagi saya, dan karena waktu itu saya memang berdomisili di kampus, maka saya tak pernah melewatkan undangannya untuk menonton pementasan. Secara pribadi, saya menyenangi sastra dan seni, tapi saya tidak bisa menyebut diri sebagai penggemar seni teater. Saya hadir dalam pertunjukan-pertunjukan tersebut semata-mata untuk menonton Mia, menunjukkan bahwa saya mendukungnya (dan jika saya ternyata mendapatkan suguhan tontonan yang memperkaya dan bisa dinikmati, itu saya anggap sebagai bonus). Meski demikian, ketika ia ada di panggung, saya tidak melihatnya sebagai Mia, tapi sebagai salah satu bagian dari sebuah gambar besar berupa pertunjukan teater tersebut. Dengan demikian, saya bisa fokus pada jalan cerita dan pementasan tersebut secara keseluruhan dan kedatangan saya tidak menjadi sia-sia.
Saya masih menyimpan beberapa potongan tiket pertunjukan Mia, beberapa lainnya hilang entah kemana. Nyonya-Nyonya, adalah pertunjukan yang disutradarainya pada tahun 2010. Kemudian ada Umang-Umang, sebuah pertunjukan kolosal yang sangat mengesankan. Yang lainnya, saya lupa judulnya. Beberapa sangat bisa saya nikmati, beberapa biasa saja. Tapi saya tetap ada di sana untuk mendukung Mia.
Mia dulu sempat saya juluki wanita dengan seribu wajah. Bukan topeng, tapi wajah. Sebab ketika ia mengubah gayanya sedikit saja, apalagi ketika ia ada di panggung pementasan, auranya akan berubah. Saya tak bisa menjelaskan apa yang saya maksud dengan lebih rinci, tapi auranya memang berubah. Ia seolah menjadi seorang lain yang hanya saya kenal samar-samar. Tapi bukan itu yang paling saya kagumi dari Mia, melainkan kekeraskepalaannya (jika kata ini terkesan negatif, Anda bisa mengubahnya menjadi 'dedikasi'). Ia salah satu makhluk yang saya ketahui memiliki keinginan kuat dan tak takut untuk mewujudkan keinginan tersebut. Bisa dibilang hampir tak ada yang mampu menyurutkan semangatnya ketika ia telah memutuskan sesuatu. Bahkan, demi kecintaan pada dunia yang dipilihnya itu, kuliahnya sempat sedikit terganggu. Tapi tak lama, karena sekarang ia telah menyandang tiga huruf di belakang namanya.
Setelah lepas dari Teater Lakon, Mia bergabung dengan Mainteater (mudah-mudahan saya tak salah tulis). Dunia teater dan pementasan sepertinya telah dijadikannya darah yang mengaliri nadi. Ia bahkan sempat hijrah ke Bone selama beberapa bulan untuk sebuah proyek pementasan. Sepulangnya dari Bone, ia kembali tidak hanya membawa kisah mengenai dunia teater dan perjuangannya, tapi juga membawa sebuah kisah cinta (yang tak akan saya bahas disini karena tidak relevan). Beberapa tahun terakhir ini, saya jarang sekali bertemu Mia. Bahkan kami sempat putus komunikasi selama beberapa lama. Tapi saya tetap menganggapnya adik. Ia adalah salah satu Mahmoud yang paling sibuk. Yang bisa menyaingi kesibukannya hanya Black. Bahkan, sekembalinya ia dari Bone, hanya dua kali saya bertemu Mia, pada sebuah pertemuan mendadak di sebuah warung kopi dan pada acara mensyukuri hari lahir Zia (dibandingkan dengan frekuensi pertemuan saya dengan para Mahmoud lainnya, ini sangat sedikit sekali). Setelah kembali dari Bone, saya kira ia akan beristirahat sejenak dari kegiatannya berteater. Namun ternyata tidak demikian. Ia langsung terlibat dalam sebuah proyek pementasan naskah Cakar Monyet (yang sempat saya tonton juga). Setelah mementaskan Cakar Monyet di Jakarta, ia kembali terlibat dalam penggarapan sejumlah pementasan.
Ada banyak hal yang saya pelajari dari perjalanan Mia. Salah satunya, untuk sebuah pementasan berdurasi satu sampai dua jam, dibutuhkan latihan berbulan-bulan. Ini selalu mengingatkan saya bahwa kita tak bisa menilai sesuatu dari apa yang kita lihat saja, tanpa mengetahui latar belakang atau apa yang ada dibaliknya. Kita tak boleh serta-merta meremehkan seseorang atau sesuatu hanya berdasarkan apa yang kita lihat atau dengar. Mungkin saja di balik apa yang kita lihat atau dengar selama beberapa saat itu telah ada usaha dan perjuangan sangat keras atau sebuah proses yang sangat panjang. Intinya, saya jadi selalu teringatkan untuk tidak menilai segala sesuatu dari hasil, melainkan dari prosesnya.
Demikianlah, menonton Mia bagi saya berarti mengingatkan diri untuk duduk diam menikmati pertunjukan. Penonton tidak berhak protes atas tontonan yang disajikan (di atas panggung maupun dalam kehidupan), sebab penonton bukan pemain. Kalaupun seorang penonton tidak puas atas apa yang ditontonnya, ia tidak berhak menghakimi pemain, sebab ia tak merasakan apa yang dirasakan oleh pemain tersebut. Mudah-mudahan kalian mengerti maksud saya.
Siang tadi, saya menerima sebuah undangan lagi dari Mia untuk menonton pementasan naskah berjudul Reformasi yang digarap oleh Teater Tarian Mahesa (semoga saya tak salah tulis) pada tanggal 21 Mei 2014 pukul 19.30 di kebun seni (pelataran kebun binatang Bandung). Apapun pertunjukannya, menonton Mia akan selalu menyenangkan sebab, selain kesempatan untuk bertemu muka dan saling sapa, selalu ada yang bisa saya pelajari dari tontonan tersebut, bahkan meski Mia hanya terlibat di belakang panggung.
Selamat sore.
No comments:
Post a Comment