Beberapa waktu lalu saya mendengar dua pertanyaan yang diajukan oleh dua orang berbeda. Terlepas dari kepada siapa pertanyaan itu diajukan (sebenarnya lebih ditujukan kepada semesta, saya rasa), saya merasa tertarik untuk memikirkan jawabannya.
1. Dari mana romantisme itu seharusnya bermula?
Saya berusaha merumuskan jawaban untuk pertanyaan ini, meski saya masih belum bisa mengatakan bahwa saya berhasil menemukannya. Ini adalah salah satu fenomena yang sulit dijelaskan, hanya bisa dialami.
Dari apa yang saya baca, (for references to what i read, just google the key words 'what happens when we fall in love') pada dasarnya kita jatuh cinta untuk meneruskan kelangsungan keberadaan kita. Singkatnya, proses terpesona, jatuh cinta, dan mencintai adalah bagian dari rantai reproduksi manusia yang memiliki tujuan akhir untuk mempertahankan kelangsungan hidup spesiesnya.
Meski demikian, manusia adalah makhluk yang berpikir dan memerlukan konseptualisasi untuk memahami pengalamannya. Maka, proses yang sejatinya bersifat teknis praktis dan biologis tersebut perlu diberikan sentuhan romantisasi agar bermakna lebih dari sekedar bagian pengalaman reproduksi. Inilah yang melahirkan konsep 'jatuh cinta', 'romantisme', 'hubungan romantis', 'hubungan bermakna', dan sebagainya.
Ketika muncul pertanyaan dari mana romantisme itu seharusnya berawal, maka kita perlu menelusuri proses ini (baik dengan bumbu romantisme maupun tidak) sampai ke awalnya. Ada tiga proses atau tahap yang umumnya dialami ketika seseorang jatuh cinta; ketertarikan (attraction), keterikatan (attachment), dan komitmen (commitment). Masing-masing tahap ini memiliki level keterlibatan emosi dengan tingkat kedalaman berbeda-beda. Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu mengamati proses ini di level yang paling awal, yaitu ketertarikan.
Kenapa kita tertarik (suka) pada seseorang lebih dari orang lainnya? Apa sebenarnya yang membuat kita 'suka'? Jawabannya, menurut para ahli psikologi dan ahli perilaku serta ahli hormon, berada pada tataran bawah sadar pikiran kita. Pengalaman dan proses pertumbuhkembangan kita baik secara fisik maupun emosional pada akhirnya akan memunculkan sebuah peta atau kerangka (template) mengenai pasangan ideal. Kerangka ini, dan proses pembentukannya, mungkin kita sadari mungkin juga tidak, tapi ia ada. Sebagian besar psikolog sepakat bahwa kita mendasari pembentukan kerangka ideal partner ini pada figur orangtua atau sosok dominan yang dekat dengan kita pada masa kecil. Mereka menyederhanakan faktor-faktor pembentuk ini menjadi tiga unsur utama: penampilan (appearance), kepribadian (personality), dan hormon (lebih spesifik lagi, hormon feromon).
Mengenai penampilan, para peneliti menemukan bahwa kita cenderung tertarik pada orang yang penampilannya mengingatkan kita pada orangtua kita (atau sosok dominan masa kecil) atau bahkan pada diri kita sendiri. Secara bawah sadar, ketika kita melihat seseorang di kerumunan orang, kita secara otomatis menganalisis fitur-fitur penampilannya dan membandingkan dengan fitur-fitur yang kita akrabi (entah dari orangtua, sosok dominan, maupun dari diri kita sendiri). Semakin banyak fitur yang kita kenali, akan semakin tertarik pula kita kepada orang tersebut.
Hal yang sama juga berlaku untuk kepribadian (personality). Semakin banyak sifat (termasuk didalamnya sense of humor, kesukaan dan ketidaksukaan, selera musik, dsb) yang kita akrabi, semakin cocok orang tersebut dengan template yang kita miliki, dan akan semakin menarik pula ia bagi kita.
Faktor ketiga yang bersifat hormonal, mempengaruhi kerangka pasangan ideal kita dengan cara yang sedikit berbeda. Meski masih ada sejumlah perdebatan mengenai keterlibatan feromon dalam proses 'jatuh cinta', tapi saya rasa ini perlu disebutkan disini. Feromon (pheromone) adalah hormon yang secara literal berarti pembawa ketertarikan (excitement carrier, dari bahasa Yunani pherein dan hormone). Zat ini merupakan semacam sidik bau (bayangkan sidik jari tapi berupa aroma) yang membantu hewan dan manusia menentukan mana individu yang paling cocok untuk dijadikan pasangan berdasarkan perbedaan tingkat dan jenis kekebalan tubuhnya. Individu yang memiliki sistem imun tubuh yang cukup berbeda dengan sistem imun tubuh kita akan lebih menarik. Hal ini merupakan salah satu rancangan alam untuk memastikan bahwa suatu spesies memiliki kemungkinan besar untuk memperoleh keturunan yang sehat, karena sistem imun kedua orangtuanya cukup beragam. Feromon tidak berbau, tapi organ penciuman kebanyakan hewan dan manusia (meski tidak semua) memiliki veromonasal organ, yaitu organ di dalam hidung yang mampu mendeteksi feromon.
Ketiga hal inilah yang mempengaruhi ketertarikan kita pada seseorang. Ketertarikan ini kemudian akan memunculkan keterikatan (attachment) jika ditindaklanjuti, yang pada gilirannya akan berkembang menjadi sebuah hubungan berkomitmen (commitment) ketika kedua individu yang terlibat memutuskan demikian.
Kembali ke tujuan semula. Untuk menjawab pertanyaan darimana romantisme seharusnya bermula, kita perlu mendefinisikan dulu kata 'romantisme'. Jika Anda mendefinisikan kata 'romantisme' pada pertanyaan ini sebagai hubungan yang didasari cinta antara dua individu manusia, maka pemaparan saya diatas bisa menjawab pertanyaan ini. Romantisme itu bermula dari kerangka mengenai pasangan ideal yang tersimpan di alam bawah sadar pikiran manusia dan dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang bertujuan untuk memastikan keberlangsungan hidup spesies manusia. Jika Anda mendefinisikan 'romantisme' sebagai sesuatu yang lain, maka maaf, penjabaran dan pendekatan yang saya gunakan dalam tulisan ini tidak bisa memberi jawaban untuk Anda.
2. Kenapa kita tidak bisa memilih pada siapa kita jatuh cinta?
Ini juga pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab. Berdasarkan pada pemaparan saya untuk pertanyaan pertama, pada dasarnya kitalah yang memilih kepada siapa kita jatuh cinta. Hanya saja, kita memang tidak bisa mengendalikan atau menentukan pilihan tersebut. Bingung? Paradoksal memang, tapi biar saya jelaskan. Sederhananya, konsep kendali adalah konsep yang berada pada tataran sadar, yaitu kemampuan otak dan tubuh untuk menentukan arah suatu objek yang berada diluar dirinya. Memiliki kendali berarti memiliki kemampuan untuk menentukan arah objek tersebut.
Dengan kerangka pemahaman bahwa jatuh cinta merupakan bagian dari rangkaian proses reproduksi manusia, maka sejatinya yang memilih kepada siapa kita jatuh cinta memang adalah diri kita sendiri, berdasarkan template bawah sadar yang kita miliki (seperti yang saya paparkan di atas). Tahap ketertarikan kemudian akan berevolusi menjadi keterikatan ketika emosi yang terlibat semakin besar dan dalam. Pada tahap keterikatan ini (attachment) yang menjadi pemeran utama masih diri kita sendiri, dalam artian bahwa terlepas dari apakah objek ketertarikan kita balas menyukai kita juga atau tidak, emosi kita telah tumbuh ke level yang lebih dalam, yaitu level dimana kita merasa (kebahagiaan) kita terikat pada objek tersebut. Jika ada respon dan kesepakatan dengan objek rasa suka kita, maka tahap keterikatan mungkin bisa berkembang ke level selanjutnya, yaitu komitmen.
Kenapa kemudian muncul anggapan bahwa kita tidak bisa memilih kepada siapa kita jatuh cinta, saya rasa jawabannya adalah jelas. Kita memilih berdasarkan kerangka bawah sadar, dan kerangka tersebut terbentuk diluar kendali kita. Kerangka ini muncul dan berubah berdasarkan rangkaian pengalaman yang terinternalisasi oleh pikiran bawah sadar kita sejak kecil hingga seterusnya. Karena bukan pikiran sadar kita yang membentuk kerangka ini, maka kesan yang muncul di pikiran sadar adalah kita tidak memiliki kemampuan untuk menentukan kepada siapa kita jatuh cinta. Ini sebenarnya hanya salah satu ilusi pikiran. Jika kita mau bercermin dan merefleksi, niscaya kita akan sadar bahwa kita tidak perlu seratus persen mempercayai apa yang dikatakan oleh pikiran sadar kita dan lebih meyakini serta menerima apa yang ditawarkan oleh alam bawah sadar kita. Kita yang memilih pada siapa kita jatuh cinta, meski memang bukan kita yang mengendalikan pilihan tersebut.
Saya rasa, pemaparan ini bisa sekaligus menjawab (menjelaskan) kemunculan konsep 'jodoh di tangan Tuhan'. Intinya, alam bekerja sedemikian rupa untuk membentuk suatu kerangka bagi diri kita guna menentukan pilihan kepada siapa kita akan jatuh cinta (bahasa teknisnya: siapa yang paling cocok untuk dijadikan pasangan dalam meneruskan kelangsungan hidup manusia), dan karena alam selalu bekerja dalam kerangka yang lebih besar dari satu individu manusia, kita tidak selalu bisa memahami dan menyadari kekuatan yang menggerakkan kita atau tujuan pergerakan tersebut.
Demikianlah usaha saya untuk menjawab dua pertanyaan yang saya dengar diajukan (mungkin kepada semesta), dengan harapan mudah-mudahan apa yang saya sampaikan tidak terdistorsi oleh cara penyampaian yang membingungkan.
Sebagai penutup, jangan menganggap apa yang Anda baca disini sebagai kebenaran (atau bahkan sebagian benar) karena hidup tidak bisa dikondensasi lewat satu kerangka saja. Lihatlah tulisan ini sebagai sebuah cermin, dimana jawaban yang saya tawarkan bisa terpantul sebagai pertanyaan di pikiran Anda. Terima kasih.
Selamat siang.
No comments:
Post a Comment