Sunday, May 4, 2014

Over Coffee

Tadi malam, saya dan beberapa teman memutuskan (mendadak) untuk berkumpul dan mengobrol di salah satu warung kopi di daerah purnawarman Bandung.  Meski tak semua bisa datang, (yang ada hanya Arun, Tew, Agerin, Dilla, dan saya), pertemuan tadi malam sangat menyenangkan.  Seperti biasa, obrolan kami tak pernah terstruktur, tapi justru dari ketidakterstrukturan itulah muncul berbagai bahan pemikiran dan suasana menyenangkan.

Salah satu yang kami obrolkan semalam adalah bahan penelitian mengenai bahasa (linguistik).  Saya mengusulkan tentang pertumbuhkembangan bahasa, terutama bahasa tulis, mulai dari gambar gua purba sampai emoticon yang dilahirkan oleh teknologi.  Banyak yang bisa diamati dari fenomena perkembangan bahasa ini; proses dan circumstances kelahirannya, survival dan kematian sejumlah unsurnya, dampaknya terhadap bahasa formal baku yang terstruktur, dan lain lain.  Yang terutama menarik bagi saya adalah analisis kualitatif mengenai persepsi berbagai generasi terhadap bahasa-bahasa baru tersebut.  Maksudnya, saya dibesarkan dalam generasi bahasa terstruktur. Bahasa 'teknologi' (yaitu bahasa yang muncul dari pembatasan dan pembebasan yang diberikan oleh teknologi dan berbagai device komunikasi) baru masuk ke kehidupan saya setelah bahasa terstruktur saya (yaitu bahasa Indonesia dan Inggris formal dan informal) telah terbentuk.  Bagi saya, bahasa baru ini merupakan bahasa pelengkap yang bersifat kontekstual.  Artinya, saya hanya menggunakan bahasa teknologi ketika saya memang harus menggunakannya.  Misalnya berbagai jargon yang lahir dan tumbuh di dunia maya, seperti  LOL, BRB, dsb, hanya saya gunakan ketika berinteraksi di dunia maya.

Lain halnya dengan generasi setelah saya.  Mereka yang tumbuh bersamaan dengan bahasa teknologi tersebut cenderung memandang bahasa baru ini sebagai bagian integral dari khazanah bahasa mereka.  Dengan demikian, spektrum pemanfaatan dan penggunaan bahasa baru tersebut lebih luas dibandingkan dengan saya.  Ini saya simpulkan dari interaksi dengan sejumlah murid SMU yang sempat saya ajar beberapa tahun lalu.  Saya rasa, akan sangat menarik mengamati dampak kemunculan, perkembangan, dan keberadaan bahasa baru (yang tak bisa dilepaskan dari kemajuan teknologi komunikasi) terhadap bahasa terstruktur pada dua generasi tersebut.

Terlepas dari seperti apa penelitiannya, saya pikir ide ini cukup pantas untuk dikejar dalam format tesis.

Bahan obrolan lain yang sempat muncul adalah mengenai closure, moving on, dan letting go dalam konteks perasaan.  Mengenai hal ini pernah saya tuliskan juga di blog ini.  Dan ketika kami bahas semalam, ada satu kesimpulan yang muncul, yaitu bahwa proses merelakan harus melibatkan penerimaan.  Termasuk didalamnya kesadaran bahwa meski luka telah sembuh, bekasnya akan terus ada.  Tanpa kesadaran dan penerimaan tersebut, proses merelakan tidak akan terjadi.  Kesadaran akan adanya bekas luka akan berarti kita tidak akan berusaha menutupi atau mencari penggantinya.  Sudut pandang ini akan sangat bermanfaat dalam membangun hubungan yang lebih sehat nantinya. Kesadaran dan penerimaan ini akan berarti bahwa tidak akan ada penyangkalan, dalam bentuk apapun.  Bahkan, mendeklarasikan bahwa diri dan hati kita telah sembuh bisa jadi merupakan salah satu bentuk penyangkalan, ketika kita masih tidak menerima bahwa hati itu pernah terluka, dan bahwa di dalam hati itu masih ada bekasnya.  Obrolan mengenai hal ini kami tutup dengan sebuah kalimat , "wounds heal but the scars will remain.  And men wear their scars proudly."

Demikianlah, obrolan kami mengalir.  Obrolan serius, bercanda, serius dicampur canda, canda dengan maksud serius, semuanya kami nikmati, termasuk obrolan mengenai tafsir mimpi, live music yang selalu lupa lirik, pengamat bahasa yang gatal telinga, penyeleksian pasangan hidup, kecongkakan versus ignorance, analisis psikologis, perlunya cuci otak karena otak sudah kotor, dan masih banyak lagi.  Bagi saya, obrolan warung kopi seperti ini, yaitu obrolan tak terstruktur dan tanpa kerangka yang dilakukan tanpa keinginan untuk memaksakan pendapat sambil minum kopi, memang selalu menghasilkan banyak hal yang bisa dipikirkan, dari yang paling sepele sampai paling kompleks.  Dan obrolan warung kopi, dengan orang-orang yang tepat, bisa menjadi semacam senam otak untuk mencegah saya menjadi gila dan kehilangan pikiran sehat ketika rutinitas mengakumulasi kelelahan dalam benak.  Suasana seperti semalam lah yang selalu saya nantikan dan saya butuhkan, suasana yang dihasilkan bukan dari tempat, tapi dari interaksi dengan teman mengobrol.  Pertemuan semalam ditutup dengan bersama-sama mengapresiasi dua pengunjung yang nge-jam di panggung live music warung kopi tersebut.  Dua pengunjung yang, meskipun hanya nge-jam empat lagu, jauh lebih keren daripada penyanyi live yang mengiringi obrolan kami selama berjam-jam.  Dua pengunjung yang membuat kami dengan sukarela memberikan standing ovation sebelum pulang.

Selamat siang.

No comments:

Post a Comment

About Me

My photo
seorang separuh autis yang memandang dunia dari balik kaca jendelanya. ia duduk diam mengamati,membaca dan menafsir tanda, mencari makna.