The truth is out there. Saya percaya itu. Jangan terburu-buru menganggap saya meyakini bahwa ada sesuatu di luar sana yang bersifat non-manusiawi atau non-bumi. Meski dalam batas-batas tertentu saya memang meyakini hal tersebut, tulisan ini tidak ditujukan untuk membahas tentang hal-hal yang bisa menjadi ide cerita serial X-Files. Pemahaman saya mengenai kalimat tersebut sedikit lebih luas.
Saya meyakini bahwa kebenaran memang ada di luar sana, dengan penekanan pada kata Kebenaran dan Di Luar Sana. Artinya, apa-apa yang ada dalam diri saya bukanlah Kebenaran. Benak manusia adalah semacam katana bersisi ganda. Ia digunakan untuk mencerna dan menyerap ilmu seluas-luasnya sekaligus membatasi pencernaandan penyerapan ilmu tersebut sesempit-sempitnya. Kebenaran sejati memang ada di luar sana. Tentang ini tak usah diragukan lagi. Namun, kita harus menyadari bahwa sebagai manusia, kita tidak akan bisa benar-benar mengetahui dan/atau memahami kesejatian kebenaran tersebut.
Manusia memahami berdasarkan hasil dari proses penalaran dan penafsiran yang dilakukan di dalam dirinya. Proses penalaran dan penafsiran itu sendiri hanya bisa dilakukan dalam kerangka tertentu, yaitu kerangka yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai proses penalaran dan penafsiran sebelumnya. Tumpukan pengalaman manusia, sejak ia bayi sampai mati, akan membentuk sebuah kerangka dasar atau kerangka umum yang akan digunakannya untuk menafsirkan dan menginternalisasi pengalaman baru. Hasil internalisasi ini kemudian akan memperkokoh atau memperlemah kerangka dasar tersebut. Semakin banyak pengalaman, akan semakin kokoh atau lemah pula kerangka yang digunakan manusia untuk menafsirkan. Intinya, ini adalah sebuah proses berkesinambungan yang tak pernah putus, kerangka dasar pemikiran akan mempengaruhi hasil penafsiran tanda (pengalaman) dan hasil penafsiran akan mempengaruhi pula kerangka tersebut.
Ketika manusia bertemu dengan kebenaran yang sejati, yang berada di luar dirinya, akan terjadi proses filterisasi. Kerangka pikirnya akan berusaha mencerna dan menafsirkan kebenaran tersebut. Proses menafsirkan itulah yang, mau tak mau, pasti mendistorsi keutuhan kebenaran. Dengan demikian, hasil penafsiran yang diinternalisasi ke dalam diri manusia hanyalah sebagian dari kebenaran, dan bukan kebenaran yang utuh dan sejati. The truth is out there, because what we understand and internalize is just a portion or a version of it, at best.
Semoga kalian paham apa yang ingin aku sampaikan. Terima kasih
Selamat sore.
Manusia memahami berdasarkan hasil dari proses penalaran dan penafsiran yang dilakukan di dalam dirinya. Proses penalaran dan penafsiran itu sendiri hanya bisa dilakukan dalam kerangka tertentu, yaitu kerangka yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai proses penalaran dan penafsiran sebelumnya. Tumpukan pengalaman manusia, sejak ia bayi sampai mati, akan membentuk sebuah kerangka dasar atau kerangka umum yang akan digunakannya untuk menafsirkan dan menginternalisasi pengalaman baru. Hasil internalisasi ini kemudian akan memperkokoh atau memperlemah kerangka dasar tersebut. Semakin banyak pengalaman, akan semakin kokoh atau lemah pula kerangka yang digunakan manusia untuk menafsirkan. Intinya, ini adalah sebuah proses berkesinambungan yang tak pernah putus, kerangka dasar pemikiran akan mempengaruhi hasil penafsiran tanda (pengalaman) dan hasil penafsiran akan mempengaruhi pula kerangka tersebut.
Ketika manusia bertemu dengan kebenaran yang sejati, yang berada di luar dirinya, akan terjadi proses filterisasi. Kerangka pikirnya akan berusaha mencerna dan menafsirkan kebenaran tersebut. Proses menafsirkan itulah yang, mau tak mau, pasti mendistorsi keutuhan kebenaran. Dengan demikian, hasil penafsiran yang diinternalisasi ke dalam diri manusia hanyalah sebagian dari kebenaran, dan bukan kebenaran yang utuh dan sejati. The truth is out there, because what we understand and internalize is just a portion or a version of it, at best.
Semoga kalian paham apa yang ingin aku sampaikan. Terima kasih
Selamat sore.
No comments:
Post a Comment