Friday, May 9, 2014

Obrolan Angkot (part 2): pria yang memilih diburu

Selamat pagi.

Hari ini saya akan menuliskan lanjutan obrolan angkot yang telah tertunda sekian lama.  Pagi ini, saya duduk di bangku penumpang sebelah sopir.  Tidak benar-benar tepat di sebelah sopir, karena ada seorang pria berusia sekitar awal tiga puluhan di antara kami. 15 menit perjalanan setelah saya duduk disebelahnya, pria tersebut sedang tidur.  Saya rasa ia sedang kelelahan, sebab saya juga sering tidur di angkot, terutama ketika tubuh saya sedang sangat lelah.  Ketika ia terbangun, saya melihat dari spion samping kiri, matanya merah.  Merah dan berkaca-kaca.

Ia melihat saya melihatnya dan berusaha memulai percakapan di antara kami dengan berkata, "Jadi orang Islam ujiannya berat ya, Mas."

Saya tersenyum canggung.  Bukan hanya karena pernyataannya yang sulit ditimpali, tapi lebih karena saya tidak pernah merasa nyaman membicarakan hal yang bersifat teramat sangat pribadi dengan orang yang tidak saya kenal dekat.  Yang terlintas di pikiran saya adalah "Pemilihan topik yang aneh untuk sebuah obrolan ringan."  Untuk menutupi kekurangsopanan saya dan untuk mendorongnya terus bercerita, saya bertanya, "Maaf, mas, gimana?"

"Jadi orang Islam itu ujiannya berat.  Saya sekarang sedang diburu.  Mau dibunuh," ujarnya.

Pikiran skeptis saya kembali beraksi, semacam sistem pertahanan diri otomatis, "Agama, buronan, akan dibunuh?  Teroris?"

Tapi pikiran kritis saya menimpali, "Ini bisa jadi bahan menarik."

Saya menatap matanya yang merah dan berkaca-kaca.  Saya sadar bahwa ia sedang butuh teman untuk mendengarkan ceritanya.  Saya sudah cukup sering mendengarkan cerita orang untuk tahu bahwa ia butuh melepaskan beban yang menyesakkan.  Dan kebetulan kapasitas saya memadai untuk membantunya: sebagai pendengar.  Saya diam, tapi menunjukkan ekspresi bahwa saya siap mendengar ceritanya.

Ia melanjutkan, "Saya sedang dicari oleh keluarga.  Mau dibunuh.  Mereka tidak setuju saya masuk Islam."

"Sampai segitunya, Mas?" ujar saya.

"Iya, saya dari Manado.  Masuk Islam di Salman ITB.  Saya dapat kabar dari adik saya, dua orang, yang kuliah di sini.  Kata mereka, 'Jangan terlalu vokal di Bandung, Bang, abang mau dibunuh.'  Bahkan di rumah, keluarga besar saya sudah memasang karangan bunga di depan rumah.  Di Manado, itu menandakan ada anggota keluarga yang meninggal.  Mereka bukan hanya menganggap saya sudah mati, tapi mereka benar-benar mencari saya untuk dibuat benar-benar mati."

Otak saya berhenti berputar, atau justru berputar lebih cepat, berusaha mencerna ucapannya dan betapa besar makna ucapan tersebut terhadap kehidupannya.  Saya tak bisa berkata-kata selama beberapa menit.  Mungkin ia menganggap kediaman saya sebagai tanda bahwa saya tidak berminat lagi mendengarkannya.  Ia pun diam selama beberapa menit.  Beberapa kali saya berusaha bicara, namun saya tak menemukan kalimat yang cukup tepat untuk mengungkapkan apa yang ingin saya ungkapkan; bahwa saya ikut berduka atas kesulitannya, bahwa saya sungguh berharap ia tak sampai ditemukan oleh keluarganya, dan bahwa saya masih terganggu oleh kalimat pembukanya tadi.  Akhirnya, saya berkata, "Terus, sekarang Mas gimana?"

"Iya, kemarin saya cerita ke Ustadz di Salman.  Beliau menyarankan saya untuk ke pesantren saja.  Segala biaya beliau yang tanggung.  Makanya sekarang saya mau ke Salman."

Dugaan saya benar, ia hanya butuh teman cerita untuk mengeluarkan beban pikirannya.  Saya ingin menanyakan sejumlah hal dan memberinya semangat, namun angkot yang kami tumpangi telah sampai ke tempat dimana saya harus turun.  Saya permisi, mengharapkan ia berhasil, dan turun.  Saya jelas tak tahu dan mungkin takkan pernah tahu kelanjutan cerita pria ini.  Tapi ada banyak hal yang bisa saya pikirkan dari cermin yang ia sodorkan.

Pertama, mengenai kalimat pembukanya, "Jadi orang Islam ujiannya berat."  Yang terutama mengganggu saya dari kalimat ini adalah frase 'jadi orang Islam'.  Saya tahu maksudnya berkata demikian adalah karena masalahnya (ujian yang ia hadapi) muncul setelah dan karena ia memilih jadi orang Islam.  Namun saya tetap merasa tidak bisa menyetujuinya seratus persen.  Menurut saya, jadi  orang manapun, agama apapun, kita akan tetap menghadapi ujian.  Cara ia mengucapkan kalimat ini memberikan kesan bahwa seolah-olah sumber masalah ini adalah agama.  Padahal menurut saya, agama disini hanya pemicu.  Ini adalah masalah keluarga yang berakar pada ketidakmampuan menerima pandangan orang lain dan egoisme kelompok yang merasa dikhianati oleh pilihan salah satu anggota kelompoknya.  Mungkin pria ini tidak bermaksud menyalahkan Islam (atau agama keluarganya) atas ujian yang ia hadapi, tapi saya khawatir ia telah melakukannya secara tidak sadar.  Saya tak sampai hati mengungkapkan pemikiran ini padanya sebab saya tahu pengungkapan itu hanya akan menambah beban pikirannya.  Atau saya yang berpikiran terlalu negatif.

Kedua, mengenai pilihan dan konsekuensi.  Saya selalu kagum pada orang yang memilih dan berani (terlepas dari ia sanggup atau tidak) menghadapi konsekuensi dari pilihannya  tersebut.  Seremeh apapun pilihan, dan sekecil apapun konsekuensi, ketika ia berani memutuskan untuk menghadapi konsekuensi tersebut maka, menurut saya, ia adalah termasuk orang yang hebat.  Tak semua orang memiliki keberanian untuk dengan jantan menghadapi hasil dari apa yang ia tuai.  Banyak orang yang justru menghindar ketika konsekuensi menghampirinya, terutama jika konsekuensi tersebut dinilai 'sulit' dan menyulitkan.  Pria ini secara sadar mengetahui konsekuensi dari pilihannya dan tetap memilih pilihan tersebut.  Bukankah ini sesuatu yang hebat?  Saya bicara terlepas dari apakah pilihannya benar atau tidak (mungkin sebagian orang di luar sana justru menganggap pilihannya salah dan tidak bijak).  Saya bicara tentang keberaniannya memilih meski ia tahu konsekuensi apa yang akan dihadapinya.

Ketiga, mengenai pentingnya memiliki teman.  Ketika ia sudah tidak sanggup lagi menahan atau menanggung bebannya, pria ini sampai bercerita kepada  seseorang yang sama sekali tidak ia kenal, hanya untuk melepaskan sesak yang ia rasakan.  Jika saya melakukan apa yang dilakukannya, maka berarti masalah dan beban saya benar-benar menyesakkan.  Saya tidak pernah bisa menceritakan hal-hal yang bersifat teramat sangat pribadi pada orang-orang  yang tidak saya kenal dekat, apalagi pada orang yang tidak saya kenal sama sekali.  Ini membuat saya berempati kepada pria ini.  Berapa besarkah beban yang dimunculkan oleh keluarganya, hingga ia sampai bercerita kepada orang asing?  Keluarga yang harusnya menjadi pendukung utama tingkah laku seseorang justru menjadi tempat terakhir yang ingin disinggahinya, bahkan untuk sekedar bercerita.  Saya tak tahu apakah ini benar atau tidak, tapi saya rasa fenomena ini makin marak.  Fenomena dimana yang paling jauh dari seseorang, secara emosional, (saya tidak bicara tentang remaja yang memang pemikirannya masih labil dan rebellious) justru adalah keluarganya sendiri.  Betapa malangnya mereka yang mengalami hal demikian.

Ada sejumlah hal lain yang muncul di otak saya dari pengalaman tadi pagi, tapi saya rasa takkan saya tuliskan disini saat ini.  Mereka masih perlu saya olah lagi di benak saya.

Terima kasih

P.S. saya teramat ingin sekali membuat sebuah cerita pendek dari kisah ini, sekedar untuk memberikan akhir yang bahagia pada tokoh utamanya.... andai saja saya bisa.

No comments:

Post a Comment

About Me

My photo
seorang separuh autis yang memandang dunia dari balik kaca jendelanya. ia duduk diam mengamati,membaca dan menafsir tanda, mencari makna.