Tuesday, May 6, 2014

Kura-Kuraku, Kurasa (bagian pertama)

Aku memelihara kura-kura.  Jika ditanya kenapa aku memelihara kura-kura, aku biasa menjawab, "Karena aku ingin punya hewan peliharaan."  Jika kemudian ditanya lagi, "Kenapa kura-kura?", aku punya sejumlah jawaban standar yang biasa kuberikan.  Pertama, memelihara kura-kura tidak terlalu rumit.  Kura-kura tak berkeliaran kemana-mana karena ia kuletakkan dalam kontainer (semacam tupperware besar) berisi air.  Aku hanya perlu menguras tempatnya (mengganti air) dan memberi makan (mencemplungkan berbagai bahan makanannya begitu saja, mulai dari makanan ikan yang dibeli sampai bangkai kecoa dan serangga besar lainnya) sekali sehari.  Aku hanya perlu memandikannya (menyikat tempurung dan kontainernya) seminggu sekali.  Intinya, alasan pertamaku untuk memelihara kura-kura adalah karena proses pemeliharaannya praktis dan sedikit sekali berkemungkinan mengganggu pihak-pihak lain.

Kedua, kenangan masa lalu.  Pada kemarau panjang pertama yang kualami, aku masih bersekolah di tingkat dasar, kelas lima.  Kemarau tersebut terjadi tepat ketika liburan kenaikan kelas tahun 1995.  Salah satu dampak kemarau panjang tersebut adalah keharusan untuk menggali sumur baru.  Di keluarga (alm.) pamanku, tempat aku selalu menghabiskan liburan sekolah, penggalian sumur ini dilakukan di kebun keluarga.  Pada masa itu, kami memiliki sebuah kebun yang cukup luas yang kami tanami kacang tanah, ubi, dan jagung.  Aku tidak ingat rincian proses penggalian sumur baru tersebut.  Yang aku ingat hanya sejumlah kejadian yang memang menonjol.  Pertama, aku ingat kekesalan para sepupuku yang bertugas menggali sumur.  Meski sudah digali sangat dalam, airnya masih belum ada juga.  Ketika akhirnya airnya mulai muncul, air tanah tersebut ternyata payau.  Kedua, pada hari ketiga penggalian, kami menemukan lima ekor kura-kura air tawar (di daerahku dikenal dengan julukan kura-kura bakau atau kura-kura sungai, sejenis dengan yang dikenal sebagai kura-kura Brazil di Bandung).  Demikianlah, aku memiliki peliharaan pertama berupa seekor kura-kura.  Tak lama, (alm) pamanku memutuskan untuk melepaskan kelima ekor kura-kura tersebut kembali ke alam.  Salah satu alasannya adalah karena aku masih terlalu kecil (terlalu kekanak-kanakan maksudnya) untuk mempertanggungjawabkan pemeliharaanku.  Agar aku tidak merasa dizholimi, maka kelima kura-kura tersebut harus dilepaskan semua.  Meski ketika itu aku hanya sempat memelihara kura-kura selama seminggu, kenangannya terus terbawa sampai aku dewasa.

Ketiga, aku senang kura-kura karena alasan filosofis.  Mereka makhluk damai yang tidak pernah mencari masalah dengan makhluk-makhluk lainnya.  Bahkan ketika diserang pun, mereka memilih untuk bertahan dalam cangkangnya.  Bagi sebagian orang, ini mungkin  dianggap kepengecutan.  Bagiku, ini semacam kebijaksanaan.

Setelah kura-kura pertamaku dilepaskan kembali ke alam, aku tak pernah bertemu kura-kura lagi.  Sampai aku kuliah di Bandung.  Pada 2006, pacarku waktu itu (yang sekarang jadi istriku) membelikanku dua ekor kura-kura Brazil sebagai hadiah ulang tahun.  (Ia memahami kerinduanku pada kura-kura tapi masih belum terlalu memahami bahwa aku tidak terbiasa dengan konsep perayaan ulang tahun, termasuk pemberian hadiah).  Kami tak tahu apakah kura-kura tersebut sepasang (jantan dan betina) atau satu jenis, penjualnya pun tak tahu.  Pada masa itu, aku masih tinggal di kampus, di sebuah ruangan yang menjadi sekretariat organisasi Himpunan Mahasiswa jurusanku.  Kedua kura-kura itu pun ikut tinggal bersamaku.   Keduanya aku namai, masing-masing, 'Abang' dan 'Ade'.  

Pada malam keenam aku memelihara 'Abang' dan 'Ade', terjadi tragedi.  Kedua kura-kura tersebut aku letakkan di dalam boks kecil (semacam boks tupperware berukuran kecil) dan kusimpan di atas dispenser air minum.  Boks plastik tersebut sengaja tidak kututup, entah karena alasan apa.  Aku yang biasa tidur pukul tiga pagi, pada malam itu terlelap sebelum tengah malam.  Menjelang dini hari, sekitar pukul satu, aku terbangun oleh sebuah suara keras.  Suara benda jatuh di kakiku.  Kulihat, di lantai sudah tergeletak boks yang tadinya kuletakkan di atas dispenser.  Kerikil-kerikil kecil yang menjadi penghias dan alas dalam boks tersebut berserakan.  Tak kulihat jejak kura-kuraku.  Emosi pertama yang kurasakan adalah panik.  Setelah menenangkan diri, kubongkar semua lemari dan tumpukan arsip untuk menemukan kedua kura-kuraku.  'Ade' kutemukan di bawah rak tivi, dengan cangkang retak dan leher terkoyak. Ia telah mati.  Entah mati kehabisan darah atau mati karena isi tubuhnya tersedot, sebab cangkangnya kosong melompong.  Hanya tersisa kepala yang masih melekat di sisa lehernya.  

Melihat kondisi 'Ade' yang mengenaskan itu, aku tak sanggup menahan emosi.  Aku tersedu.  Menyalahkan diriku sendiri.  Beberapa menit aku hanya mampu tergugu.  Setelah emosiku reda, dan logika  mulai memasuki benakku, aku berusaha menenangkan diri, berusaha mencari penyebab kejadian ini.  Aku tak perlu menduga, aku tahu luka-luka itu pasti akibat gigitan tikus.  Selama aku tinggal di sana, belum pernah sekalipun aku menemukan tikus dalam ruangan ini.  Malam itu, kura-kuraku jadi korban sekaligus bukti bahwa ada tikus yang harus kuenyahkan.  

Masih dengan sisa tangis, aku berusaha menyusun prioritas langkah.  'Ade' telah kutemukan, tapi 'Abang' masih belum ketahuan nasibnya.  Aku sudah bersiap untuk yang terburuk; ia dibawa ke sarang tikus sialan itu dan dimakan disana, dan aku takkan menemukannya lagi.  Saat ini, yang paling penting adalah menemukannya.  Pembalasan dendam bisa kulakukan nanti, setelah 'Abang' jelas nasibnya.  Dengan lebih teliti, kubongkar semua sudut. Kusenteri semua tempat gelap di bawah lemari arsip.  Akhirnya 'Abang' kutemukan di dalam lemari pakaianku.  Di rak terbawah, bersembunyi di sela baju.  Untungnya ia masih hidup.  Aku bersyukur tak henti.  Meski cangkangnya retak-retak bekas gigitan, tapi ia masih hidup.  Kubersihkan  luka-luka di kepalanya, dan kukembalikan ia ke boksnya.  Boks itu kututup dan kusimpan di rak teratas lemari bajuku.  Tempat yang kurasa takkan bisa dijangkau oleh tikus sialan itu.  

Setelah itu, aku mengurusi 'Ade'.  Kubersihkan bekas darahnya, kukeringkan dengan kapas, kututupi ia dengan kain dan tisu, dan kusimpan.  Esok ia akan kumakamkan.  Aku menelepon pacarku, mengabarkan kejadian ini.  Ia menenangkanku dan berjanji akan ke kampus pagi-pagi untuk menemaniku menguburkan 'Ade'.  Kemudian ia memintaku tidur kembali, sebab saat itu sudah pukul setengah tiga pagi.  Aku tak berniat tidur sedikit pun.  Aku akan berjaga kalau-kalau tikus pembunuh itu berani kembali.  Kalau ia muncul, akan kuakhiri hidupnya saat itu juga.  Namun, entah karena beban emosional yang terlalu berat, entah memang aku sedang sial, aku tertidur juga akhirnya.

Pukul enam pagi, pacarku datang membangunkanku.  Aku segera menunjukkan cangkang kosong 'Ade' kepadanya.  Lalu mengambil boks berisi 'Abang' dari dalam lemari.  Saat itulah aku tersadar, 'Abang' juga menjadi korban.  Lututku tiba-tiba lemas melihat kepalanya terkulai.  Aku terjatuh ke lantai sambil memegang cangkangnya yang terbelah di bagian perut.  Aku berteriak dan menangis sesenggukan.  Tak kupedulikan apapun lagi.  Hatiku hancur.  Perihnya bahkan lebih sakit daripada ditinggalkan kekasih.  Selama setengah jam, aku tak bisa melakukan apa-apa kecuali menangis dan menyesali diri.  Aku tak bisa berhenti menyalahkan diri sendiri.  Tadi malam ia masih hidup, masih bisa diobati, masih bisa dipulihkan.  Kalau saja aku tak tertidur.  Kalau saja ia tak kusimpan di lemari.  Kalau saja ia kupeluk dan kujaga sampai pagi.  Beribu kalau saja menyerangku.  Pacarku berusaha menenangkanku diantara isaknya.  Akhirnya aku bisa tenang.  Kesedihanku aku telan.  Kedua kura-kuraku kubersihkan kembali dan kubungkus dengan tisu dan kain.  Lalu kumasukkan kedalam sebuah kotak kertas.  Kotak itu kemudian kukuburkan di belakang gedung tempatku tinggal tersebut.  Tak ada yang tahu tentang hal ini, hanya aku dan pacarku.  Terlalu perih bagiku untuk menceritakannya kepada teman-temanku.  Sampai pada tahun 2008, ketika aku sudah tinggal di kosan sendiri, gedung itu kebakaran dan kemudian dibangun menjadi lapangan parkir kampus.  Kuburan kura-kuraku hilang tanpa jejak.


bersambung

No comments:

Post a Comment

About Me

My photo
seorang separuh autis yang memandang dunia dari balik kaca jendelanya. ia duduk diam mengamati,membaca dan menafsir tanda, mencari makna.